Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (15)

Sanggau, Hakka, Dayak, Fujian, novel, sejarah, Kwee Seng Ong, Tiongkok, Xiamen, Fuzhou, Marco Polo, Sanggau, Kalimantan Barat, Pontianak, Columbus

 

Ilustrasi by: AI.

4

 Misteri Gua

"Pasap Nyulor, Timol Tongolapm[1]"

 Kwee Seng Ong, Lim Khok Seng, dan Macan Gaikng melangkah perlahan. Langkah mereka seakan berirama, selaras dengan desau angin yang merambat di antara dedaunan rimbun hutan Borneo yang perawan. 

Baca sekuel kisah sebelumnya Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (14)

Kaki-kaki mereka menapaki tanah lembab, sangatlah licin meski itu adalah jalan baru disebabkan oleh lumut serta air liur dari akar-akar tua yang mencuat seperti tangan-tangan gaib, siap menghalangi. 

Jalan yang mereka tapaki ini hanyalah setapak saja, penuh dengan duri dan ilalang tajam, dipenuhi semak duri-duri perdu, lebih kecil dari jejak kaki kancil. Tidak ada jejak manusia lain. Hanya ada bayang-bayang pepohonan tinggi yang saling berbisik, membentuk lorong gelap yang menyembunyikan dunia lain di baliknya. 

Lim Khok Seng, yang di masa tuanya kelak di kemudian hari dijuluki “sang tabib tua dengan jubah lusuh yang berkibar tertiup angin” berhenti sejenak. 

Mata tuanya menatap tajam ke depan, seolah-olah mengukur kegelapan yang memanjang seperti jurang tanpa dasar. "Tempat ini... aroma kematian," gumamnya, nyaris tak terdengar. 

Macan Gaikng, seorang pemuda bertubuh kekar dengan sabetan pedang pada bahu yang belum sepenuhnya sembuh, hanya terkekeh. "Aroma kematian atau tidak, kaki harus terus melangkah, Lim Khok Seng. Jika tidak, nyawa kita sendiri akan terdampar di sini." Senyum sinisnya menyiratkan keberanian yang hampir menyerupai keangkuhan. 

Kwee Seng Ong, yang berjalan paling depan, adalah yang paling pendiam. Tubuhnya kurus, nyaris tertutupi oleh mantel panjang yang lusuh. Namun, langkahnya tak pernah goyah. Ia membawa sebatang tongkat kayu yang ujungnya tergores seperti bekas bertempur. 

Dari balik kerah mantelnya, sepasang mata yang tajam menelusuri setiap bayangan yang bergerak di kejauhan. 

Baca Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (9)

"Tunggu!" Kwee Seng Ong berkata, suaranya rendah namun memerintah. Tongkatnya terangkat, menunjuk ke sebatang pohon tua yang akarnya mencuat seperti ular raksasa. "Kita tidak sendiri."

Hening. Hanya ada desiran angin dan suara binatang malam yang berbunyi tak karuan. Lim Khok Seng merapatkan genggamannya pada bungkusan obat-obatan yang diselipkan di pinggang, sementara Macan Gaikng meraba gagang golok besar yang tergantung di punggungnya. 

Dari kegelapan, muncul sepasang mata merah yang menyala, diikuti oleh suara geraman rendah. Bayangan besar mulai bergerak, muncul dari celah di antara pohon-pohon. 

Makhluk itu menyerupai harimau, namun lebih besar dari apa pun yang pernah mereka lihat. Bulunya hitam legam dengan garis-garis keperakan yang bersinar samar, seperti pantulan cahaya bulan. 

Macan Gaikng tersenyum lebar, menghunus goloknya. "Akhirnya, kita bertemu dengan penjaga hutan ini." 

Namun, Kwee Seng Ong hanya diam. Ia menancapkan tongkatnya ke tanah dan menarik napas panjang, menghadap makhluk itu dengan tenang, seperti seorang hakim yang memutuskan nasib. 

Lim Khok Seng merapatkan diri di belakangnya, berbisik pelan, "Kwee Seng Ong, kau tahu apa yang sedang kau hadapi?" 

"Aku tahu," jawab Kwee Seng Ong, suaranya dingin. "Inilah ujian pertama. Bukan hanya nyawa yang dipertaruhkan, tapi kehormatan kita sebagai orang yang berani menginjakkan kaki di tempat ini." 

Langit mulai mendung, seolah menyerap keberanian mereka. Dan langkah-langkah mereka, kecil namun pasti, terus menggema di tengah keheningan yang mencekam. 

Ada rupa secelah gua yang betul-betul aneh di hadapan mereka. 

Gua itu dalam bahasa setempat disebut "Pasap nyulor, timol tongolapm". Menandai bahwa selama ini gua ini tersembunyi dalam kedalaman bumi, namun kini terbuka di hadapan mereka, mengungkapkan misteri yang jauh lebih besar dari yang bisa mereka bayangkan. 

Suara bisikan semakin terdengar jelas, seperti seruan dari dunia lain, dari lapisan bumi yang paling dalam. Suara itu seperti angin malam yang berbisik, tapi lebih penuh kekuatan, lebih berat, seolah mengandung ratusan tahun pengetahuan yang hilang. 

"Kami telah ada sebelum dunia ini dijadikan." 

Bisikan itu kembali terdengar, menggema dalam ruang sempit gua. Setiap patah kata seolah menggetarkan tulang-belulang mereka, membawa getaran yang tak terungkapkan oleh kata-kata manusia. Tanah di bawah kaki mereka bergetar dengan lembut, namun semakin lama semakin kuat. Gua ini seperti makhluk hidup, bergerak dan merespons kehadiran mereka, menyambut atau mengancam mereka, tak ada yang pasti. 

"Mengapa kalian datang mengganggu kententeraman kami?" Suara itu bertanya, tak ada keinginan untuk berdamai. Hanya kebingungan dan kemarahan yang terpendam begitu lama. Gua ini, tempat yang tak ada satu pun pernah ada makhluk berakal budi[2] bisa menembusnya tanpa pengorbanan besar, seperti menyatakan bahwa ia tidak membutuhkan siapa pun. 

Macan Gaikng menarik napas dalam-dalam. Lalu menghadap gua yang gelap, matanya menyipit seolah menatap ke dalam dunia yang tersembunyi. “Pasap nyulor, timol tongolamp”—kata-kata itu kembali melintas di pikirannya, menggelitik ingatannya yang jauh tertanam dalam sejarah kehidupannya. 

Gua ini bukan hanya tempat yang harus ditembus dengan kekuatan fisik, tapi lebih dari itu—ia harus menghadapi dirinya sendiri. 

Baca rang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (2)

"Kami datang untuk mencari kebenaran," jawab Macan Gaikng, suaranya tegas, namun dalam hatinya, ia merasakan sesuatu yang lebih besar, lebih dalam, lebih menakutkan dari sekadar ujian fisik. 

Kwee Seng Ong menatapnya, matanya penuh keraguan. "Macan," katanya pelan, "Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Apa yang kita hadapi?" 

Keringat dingin mulai mengalir di tengkuknya, meskipun udara di dalam gua terasa sejuk. Ketegangan di sekitar mereka seperti semakin menebal, menggulung mereka dalam kabut misterius yang sulit ditembus.

(Bersambung)


[1] Ungkapan "Pasap nyulor, timol tongolapm" dalam bahasa Dayak Jangkang mengandung filosofi yang mendalam, menggambarkan keteguhan dan semangat yang tidak pernah putus atau menyerah. Secara harfiah, ungkapan ini berarti "Dipangkas tumbuh tunas, ditenggelamkan muncul ke permukaan. 

Peribahasa ini memberi pesan bahwa dalam menghadapi rintangan atau kesulitan, kita tidak boleh menyerah. Keteguhan, kekuatan, dan semangat yang tak putus akan selalu membawa kita untuk bangkit kembali, terlepas dari seberapa besar hambatan atau tekanan yang dihadapi. Ini adalah filosofi tentang ketahanan mental dan spiritual, serta sikap pantang menyerah yang sangat dihargai dalam banyak budaya, termasuk budaya Dayak. 

Ungkapan ini mengajak kita untuk terus berjuang dan berkembang meskipun dihadapkan pada berbagai kesulitan, dengan keyakinan bahwa setiap tantangan yang kita hadapi hanya akan memperkuat kita dan membuat kita lebih tangguh.

 

[2] Konsep "manusia sebagai hewan yang rasional" (animal rationale) pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles, seorang filsuf Yunani kuno, dalam karya-karyanya seperti Nicomachean Ethics dan Politics. Istilah ini merujuk pada pandangannya bahwa manusia adalah makhluk hidup (animal) yang memiliki kemampuan berpikir rasional (rationale), yang membedakannya dari hewan lainnya. 

Aristoteles menyatakan bahwa rasio atau kemampuan berpikir yang rasional adalah ciri khas manusia yang paling menonjol dan membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya. Dalam filsafatnya, manusia dianggap sebagai makhluk yang memiliki kebebasan moral dan dapat menentukan tindakan berdasarkan pertimbangan rasional. Aristoteles menganggap bahwa dengan akal budi, manusia bisa meraih kebahagiaan yang sesungguhnya (eudaimonia) dan hidup secara bermoral dalam masyarakat. 

Secara lebih luas, "animal rationale" menekankan perbedaan antara manusia dengan makhluk lain berdasarkan kapasitas berpikir dan pengambilan keputusan rasional, serta kemampuan untuk memahami konsep-konsep seperti kebaikan, keadilan, dan tujuan hidup. Aristoteles menganggap bahwa dalam kehidupan manusia, rasio digunakan untuk mengatur emosi dan tindakan, serta untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik secara rasional. 

Filosof lain, seperti René Descartes, juga menganggap manusia sebagai "animal rationale," namun dengan pandangan yang berbeda. Descartes, dalam karya Meditations on First Philosophy (1641), lebih mengarah pada pemisahan antara tubuh dan pikiran (dualism), di mana manusia dianggap sebagai makhluk yang memiliki pikiran rasional (res cogitans) yang berbeda dengan tubuh materialnya (res extensa). Bagi Descartes, manusia memiliki kemampuan berpikir dan meragukan eksistensinya, yang merupakan dasar bagi konsep "Cogito, ergo sum" ("Saya berpikir, maka saya ada"). 

Jadi, meskipun Aristoteles memperkenalkan ide dasar bahwa manusia adalah "animal rationale", pandangan ini kemudian berkembang dan diperluas oleh para filsuf setelahnya dengan pendekatan yang lebih beragam.


LihatTutupKomentar