Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (16)

Sanggau, Hakka, Dayak, Fujian, novel, sejarah, Kwee Seng Ong, Tiongkok, Xiamen, Fuzhou, Marco Polo, Sanggau, Kalimantan Barat, Pontianak, Columbus

 

Ilustrasi by AI.

Macan Gaikng menatap sahabatnya dengan tajam. "Gua ini tidak hanya menguji kekuatan tubuh kita, Seng Ong. Ini adalah ujian batin yang jauh lebih dalam, lebih kompleks. "Pasap nyulor, timol tongolamp"—hanya mereka yang memahami esensi hidup yang dapat melaluinya. Aku satu-satunya yang tahu jalan ini." 

Suaranya seperti seorang guru yang berbicara pada muridnya, namun ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebijaksanaan dalam kata-katanya. Sesuatu yang seolah memancarkan energi luar biasa.

 Baca Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (15)

Lim Khok Seng, yang biasanya lebih rasional dan mengandalkan kecerdikannya, merasakan sesuatu yang lebih besar dari sekadar teka-teki intelektual. Sesuatu yang lebih dalam, yang menantang jiwanya. "Jadi, ini bukan sekadar teka-teki biasa?" tanyanya dengan suara rendah. "Ini lebih dari itu, ya?" 

Macan Gaikng mengangguk perlahan, matanya berbinar. "Benar. Aku telah dilahirkan dua kali. Kehidupan pertama adalah kehidupan seorang pendekar, kehidupan yang penuh dengan kekerasan dan pertarungan tanpa akhir. Tapi kehidupan kedua, yang datang setelah aku melalui sebuah perjalanan batin yang panjang dan sulit, mengajarkanku bahwa kekuatan sejati bukan hanya terletak pada pedang atau tangan kosong. Kekuatan sejati datang dari pemahaman yang lebih dalam tentang hidup, tentang dunia, dan terutama tentang diri kita sendiri." 

Suara bisikan itu kembali terdengar, semakin keras, semakin mendalam, seperti angin yang menggulung di dalam gua. 

"Macan Gaikng, apakah kamu siap? Siapa yang benar-benar dapat menyelesaikan ujian ini? Karena bagi mereka yang tidak memahami esensi kehidupan, gua ini akan menjadi liang kubur abadi." 

Macan Gaikng merasakan setiap kata itu menggetarkan jantungnya. Ia menarik napas panjang, menenangkan pikirannya. "Aku telah siap. Karena ujian ini bukan hanya untuk tubuhku, tetapi untuk jiwa dan hatiku. Aku telah belajar bahwa setiap pertarungan bukan hanya tentang menang atau kalah, tetapi tentang bagaimana kita berdamai dengan diri kita sendiri." 

Tiba-tiba, gua itu bergemuruh lagi, keras sekali, seperti petir yang menyambar dari langit gelap. Tanah di bawah kaki mereka bergetar semakin kuat, lalu sebuah jalan sempit muncul di hadapan mereka, membelah kegelapan yang menakutkan. Jalan itu berkelok-kelok, seperti ular besar yang siap menelan mereka. Setiap langkah yang mereka ambil semakin memperdalam ketegangan dalam hati mereka. 

“Apa artinya, sebenarnya?” tanya Macan Gaikng, matanya tajam mengawasi bayangan di sekitar mereka. “Kalau gua ini baru terbuka, siapa yang membuatnya tersembunyi sejak awal?” 

Lim Khok Seng tidak menjawab. Ia hanya melirik Kwee Seng Ong yang masih berdiri di depan mereka, tenang seperti batu karang di tengah badai. Tongkat kayunya ditancapkan ke tanah, dan matanya menatap ke dalam kegelapan gua, seakan bisa menembus ribuan lapisan waktu yang berputar dalam kesunyian itu. 

“Gua ini tidak dibuat oleh tangan manusia,” kata Kwee Seng Ong akhirnya, suaranya pelan namun sarat makna. “Ini adalah gerbang. Bukan hanya gerbang menuju kedalaman bumi, tetapi menuju pengetahuan yang tak seharusnya dimiliki oleh manusia biasa.” 

Sebuah bisikan, samar namun mendalam, kembali terdengar. Kali ini lebih jelas, seperti suara gabungan dari banyak jiwa yang berbicara sekaligus. “Kami telah ada sebelum dunia ini dijadikan….” 

Kwee Seng Ong memejamkan mata. Napasnya teratur meski ada kilatan ketegangan di wajahnya. “Mereka tahu kita di sini,” ujarnya pendek. 

“Siapa mereka?” Macan Gaikng bertanya, goloknya siap terhunus. Namun, sebelum ada yang menjawab, suara itu kembali terdengar, menggema dari kedalaman gua. 

“Kami adalah penjaga. Kami adalah saksi. Kami adalah ingatan yang tidak mati.” 

Udara menjadi semakin berat. Bayangan gelap yang tadinya hanya diam di tepi pandangan, kini bergerak. Dari lorong gua, perlahan muncul sosok-sosok kabur. Mereka tampak seperti manusia, namun tubuh mereka berpendar, bersinar redup layaknya cahaya kunang-kunang yang melayang di malam kelam. 

rang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (2)

Lim Khok Seng tersentak mundur, keringat dingin mulai membasahi dahinya. “Ini... ini adalah arwah penjaga! Mereka yang pernah menginjakkan kaki di tempat ini, tetapi tidak pernah kembali....” 

“Bukan!” Kwee Seng Ong memotong, suaranya tegas. “Mereka lebih tua dari itu. Mereka adalah ingatan bumi, personifikasi dari pengetahuan yang terkubur selama berabad-abad. Dan mereka hanya akan membiarkan kita lewat jika kita layak.” 

“Lalu, bagaimana caranya membuktikan kita layak?” Macan Gaikng bertanya, nadanya penuh tantangan. 

Kwee Seng Ong menatap ke arah sosok-sosok bercahaya itu, matanya bertemu dengan tatapan mereka yang tak bersumber dari bola mata, tetapi dari sesuatu yang lebih dalam, lebih purba. 

“Kita tidak bertarung dengan kekuatan, tetapi dengan niat. Jika kita datang dengan keserakahan, mereka akan menelan kita hidup-hidup. Tapi jika kita datang dengan keberanian dan hati yang jernih, mereka mungkin memberikan jalan.” 

Di antara desau angin dan suara bisikan itu, terdengar langkah-langkah kecil yang menggema. Bayangan di dalam gua bergerak, perlahan tetapi pasti. Setiap langkah terasa seolah membawa beban dunia. 

“Ayo, kita masuk,” Kwee Seng Ong akhirnya berkata, suaranya terdengar seperti keputusan akhir. 

Langkah mereka berlanjut, memasuki kegelapan gua yang tak berujung. 

Namun, di dalam hati masing-masing, mereka tahu bahwa perjalanan ini bukan hanya menantang nyawa, tetapi juga jiwa mereka. Misteri yang menunggu di ujung gua ini bukan sekadar rahasia bumi, tetapi sesuatu yang bisa mengubah takdir mereka untuk selamanya. 

Macan Gaikng melangkah pertama, penuh keyakinan, diikuti oleh Kwee Seng Ong dan Lim Khok Seng. Ketiganya menyusuri jalan sempit yang semakin berliku, semakin menantang, dikelilingi oleh dinding-dinding batu yang terukir dengan simbol-simbol kuno yang seolah hidup, seolah menyaksikan mereka, mengukur keberanian dan ketulusan mereka. 

Mereka memasuki sebuah ruang besar yang penuh dengan bayang-bayang, di tengah-tengah ruang itu, sebuah cahaya terang muncul, seperti matahari yang terperangkap di dalam gua yang gelap. 

Cahaya itu memancar pada batu besar yang terukir tulisan kuno yang hanya bisa dimengerti oleh Macan Gaikng. Adapun tulisan itu berbunyi:

"Hanya mereka yang telah mati dalam kehidupan pertama, dan dilahirkan kembali dalam kehidupan kedua, yang dapat menemukan jalan keluar dari kegelapan ini."  

Kwee Seng Ong dan Lim Khok Seng menatapnya dengan penuh tanda tanya. 

"Macan, apakah ini ujian yang sesungguhnya?" tanya Kwee Seng Ong dengan suara bergetar, matanya menatap tulisan itu, yang terasa seperti sebuah rahasia besar yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang telah mengalaminya. 

Baca Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (9)

Macan Gaikng tersenyum tipis, namun senyumnya penuh makna. "Ini adalah ujian batin yang tak hanya menguji tubuh kita, tetapi terlebih lagi menguji jiwa kita. Ujian ini adalah tentang memahami hidup dan mati, tentang menghadapinya dengan hati yang murni, tanpa ada sedikit pun ketakutan." 

Saat itu, gua itu bergemuruh sekali lagi, lebih keras daripada sebelumnya, seolah menjawab kebijaksanaan Macan Gaikng.

(BERSAMBUNG)

LihatTutupKomentar