Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (17)

Semiotika, Barthes, Umberto Eco, Hakka, Kkek, Sanggau, Pontianak, Borneo, Tiongkok, Cina, Fujian, Pancur Aji,

 

ilustrasi by: AI.

Cahaya itu semakin terang, dan mereka merasakan kehangatan yang menyelimuti mereka. Namun, di balik cahaya itu, mereka tahu, ujian sejati belum dimulai. Gua ini, yang sudah ribuan tahun tersembunyi, masih memiliki banyak rahasia yang harus diungkap, dan hanya mereka yang benar-benar siap —siapa yang dapat berdamai dengan kegelapan dalam dirinya— yang akan mampu menemukan jalan keluar. 

Baca kisah sebelumnya Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (16)

Kwee Seng Ong dan Lim Khok Seng menatap Macan Gaikng, dan untuk pertama kalinya, mereka merasa bahwa ujian ini bukan hanya tentang mereka bertiga, tetapi tentang seluruh dunia —tentang setiap jiwa yang pernah terjebak dalam kegelapan, mencari cahaya yang sejati. 

"Kita harus terus melangkah," kata Macan Gaikng, dengan suara yang penuh ketegasan, namun juga penuh dengan kebijaksanaan yang hanya bisa dimiliki oleh mereka yang telah melewati ujian hidup yang paling berat. 

Kwee Seng Ong, Lim Khok Seng, dan Macan Gaikng telah masuk ke dalam gua seperti tiga patung hidup yang diukir oleh takdir. Di balik kegelapan gua, suara air gemericik terdengar, bukan seperti aliran sungai biasa, melainkan seperti melodi purba yang dimainkan oleh tangan-tangan tak terlihat. Udara gua terasa berat, penuh rahasia yang menggantung di setiap sudut gelapnya. 

Macatn Gaikng menggerakkan ulu tombaknya ke muka, membelah bayangan seperti seorang panglima yang memimpin pasukan dalam perang tak kasatmata. “Rupanya Gua ini… terhubung ke Pancur Aji,” ujarnya, nadanya seperti lantunan mantra. 

“Pancur Aji?” Kwee Seng menyahut, matanya membelalak. “Tempat itu… konon adalah sumber kehidupan dan kehancuran, tempat para tetua mengukir doa-doa mereka di atas batu pusara yang dialiri air abadi!” 

Macan mengangguk perlahan. “Tidak ada yang kebetulan. Setiap langkah yang kita tempuh, setiap bayangan yang kita lalui, adalah bagian dari peta takdir. Gua ini bukan sekadar lorong menuju kedalaman, tetapi gerbang menuju cerita yang telah lama terkubur—cerita yang terhubung dengan aliran Sungai Sekayam.” 

Baca Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (9)

Mendengar itu, Kwee Seng tertawa kecil, penuh keberanian yang nyaris seperti kesombongan. “Sungai Sekayam? Bukankah itu tempat di mana kapal kompeni Belanda tenggelam dengan tragis? Apa hubungannya dengan kita?” 

Diam-diam, ternyata kisah tenggelamnya kapal Vereenigde Oostindische Compagnie[1] (VOC), di Muara Sungai Sekayam pernah diceritakan oleh ayah kepada Kwee Seng, dan sang ayah mengatakan bahwa kisah itu pun didapatnya dari akong Kwee Seng. 

Macan Gaikng menatap dengan sorot mata tajam, seaka meminta perhatian ekstra, seperti seorang guru yang menegur muridnya yang lancang[2]. 

“Jangan sembrono, Kwee. Kapal itu bukan tenggelam karena kebetulan. Nederland Indie Rubber (NIRUB)[3], kapal kompeni yang membawa niat jahat, mencoba merampas tanah penduduk dengan tipu daya; ditelan oleh aliran pusaran sungai itu, seolah-olah airnya memiliki jiwa yang tidak bisa dikhianati. Ada cerita yang lebih besar di sana, cerita tentang niat baik dan buruk yang terukir dalam aliran sungai yang tampak terpisah: jernih di satu sisi, keruh di sisi lain.” 

“Jika berani, kamu menyelam saja ke sadarnya. Tak kamu temukan kerangka kapal NIRUB di dalamnya, meski kerangka besi baja. Kerangka kapal itu utuh, dan aku tahu di mana berada,” jelas Macan Gaikng. 

“Macan,” sela Kwee, “Keteranganmu itu membuat semua buluku merinding. Selama ini, jika mendengar cerita horor, hanya bulu kudukku saja yang berdiri, tetapi ini, kali ini, semua buluku berdiri; termasuk yang ini ni.…..” kata Kwee, terus terang, seraya menunjuk arah selangkangan. 

“Jaga mulutmu di hutan Dayak!” sela Macan. “Bukan hanya ucapan, pikiran dan perbuatan harus bersih di sini.” 

Kwee mengangkat alis, mulai menyadari keseriusan situasi. “Jadi, kau bilang sungai itu hidup?” 

Kwee Seng Ong menatap jauh ke dalam kegelapan gua, matanya seperti melihat sesuatu yang tidak tampak oleh mata manusia biasa. “Sungai Sekayam bukan sekadar hidup. Ia adalah saksi, hakim, dan pelaksana. Di dasarnya, kapal NIRUB yang tenggelam membawa kutukan, tubuh para serdadu Belanda terbenam bersama niat jahat mereka. Dan air yang terpisah antara jernih dan keruh itu adalah simbol dari keseimbangan dunia: niat baik akan membawa kejernihan, sementara niat buruk hanya akan berakhir di dalam kegelapan.” 

Mereka bertiga mulai melangkah ke dalam gua, setiap langkah seolah membawa mereka lebih dekat pada inti dari misteri yang melibatkan Pancur Aji dan Sungai Sekayam. 

Lorong-lorong gua itu berkelok-kelok seperti urat nadi bumi, dipenuhi dengan stalaktit dan stalagmit yang tampak seperti taring-taring raksasa. Dari kejauhan, suara dari bunyi air mulai terdengar lebih jelas, bercampur dengan bisikan-bisikan yang terdengar seperti doa, atau mungkin ratapan dari mereka yang pernah mencoba menantang kuasa gua ini. 

Macan Gaikng, yang selalu penuh keberanian, kini mulai merasa keringat dingin membasahi punggungnya. 

“Kwee Seng Ong, apa yang sebenarnya kita cari di sini? Apakah semua ini hanya perjalanan tanpa tujuan, atau ada sesuatu yang benar-benar kau tahu?” 

Kwee Seng Ong berhenti sejenak, menatap ke arah Macan Gaikng dengan sorot mata yang penuh wibawa. “Tujuan kita bukan hanya untuk menemukan, tetapi untuk memahami. Dunia ini tidak pernah memberikan sesuatu secara cuma-cuma. Apa yang tersembunyi di dasar Sungai Sekayam, apa yang menghubungkan gua ini dengan Pancur Aji, adalah bagian dari jawaban atas pertanyaan terbesar: apakah manusia benar-benar layak menguasai bumi ini?” 

Lim Khok Seng merapatkan mantel tuanya, merasakan aura aneh yang semakin pekat. 

“Gua ini bukan sekadar lorong menuju Pancur Aji,” katanya pelan. “Ini adalah cerminan jiwa kita. Mereka yang masuk dengan hati yang kotor tidak akan pernah keluar lagi.” 

Sebuah suara raksasa tiba-tiba menggema dari kedalaman gua, seperti gemuruh petir yang dipantulkan oleh dinding-dinding batu. “Hanya mereka yang berani menghadapi bayangan diri mereka sendiri yang akan melihat cahaya di ujung perjalanan ini.” 

Baca rang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (2)

Suara itu menghentikan langkah mereka, membuat mereka bertiga memandang satu sama lain. 

Kwee Seng Ong menghela napas panjang, mengencangkan pegangan pada tongkatnya. “Ini baru permulaan,” katanya lirih. “Apa yang menanti kita bukan hanya rahasia, tetapi ujian yang akan menentukan apakah kita pantas mengetahui kebenaran.” 

Dan di ujung lorong gelap itu, samar-samar terlihat seberkas cahaya, memantulkan bayangan yang membentuk simbol-simbol kuno yang hanya bisa dungkap dengan menggunakan sandi yang diberikan oleh Umberto Eco atau Barthes[4]. 

Sebuah pertanda bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai. Dan setiap langkah berikutnya akan membawa mereka lebih dekat pada kebenaran yang selama ini tersembunyi di antara gua, Pancur Aji, dan Sungai Sekayam. 


Footnotes:

[1] Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang dalam bahasa Indonesia berarti Perusahaan Hindia Timur Belanda.

 

Seperti diketahui bahwa VOC didirikan pada tahun 1602 dan merupakan salah satu perusahaan multinasional pertama di dunia. Organisasi ini diberi hak istimewa oleh pemerintah Belanda, termasuk hak monopoli perdagangan di kawasan Asia, hak untuk membuat perjanjian dengan penguasa lokal, membentuk tentara, dan bahkan menyatakan perang. VOC berperan besar dalam sejarah kolonial di wilayah Nusantara.

 

[2] Memang ada tabu dan pantang tertentu di kalangan orang Dayak, yang masih tetap hidup hingga hari ini. Tabu untuk mengelurkan kata-kata jorok dan kotor. Sedangkan pantang, tidak boleh melakukan sesuatu di hutan, misalnya kencing sembarangan tanpa permisi, atau membakar terasi dan ikan seluang. Jika tabu dan pantang itu dilanggar, dipercaya akan mendapat tulah dan akibat. Sebaliknya, jika tabu dan pantang dihayati, dan dilakukan, maka akan selamatkan sampai tujuan.

 

[3] Tenggelamnya kapal Nederland Indie Rubber (NIRUB) di dasar muara Sungai Sekayam, di mana terdapat titik lokus bersanggamanya sungai Sekayam dan Sungai Kapuas, adalah sebuah kisah yang meski tidak berwujud dongeng, namun tetap hidup dalam ingatan keluarga penulis sebagai bagian dari sejarah yang mewarnai tanah kelahiran mereka. 

Cerita ini diteruskan turun-temurun, dibagikan oleh ibunda penulis, yang sejak kecil tinggal di hulu muara Sungai Sekayam, tepatnya di kampung Terusan, yang kini masuk dalam wilayah Kecamatan Bonti. Ibunda penulis, yang sangat mengenal kehidupan masa lalu, mengingatkan betapa besar dampak kapal NIRUB bagi masyarakat di sekitarnya. Ketika penulis mendengarkan kisah ini, ia merasa seolah dibawa kembali ke masa lalu, ke sebuah waktu ketika suara kapal NIRUB menggema di udara, dan ketakutan serta kecemasan menggugah setiap jiwa yang mendengarnya. 

Kisah tentang kapal NIRUB ini tidak hanya berpusat pada tenggelamnya kapal itu sendiri, tetapi juga pada reaksi masyarakat yang tinggal di sekitar muara. Nenek penulis, yang juga mengalami masa-masa tersebut, mengenang bagaimana para penduduk desa berlari ketakutan dan bersembunyi ke dalam hutan-hutan yang lebat. Suara gemuruh yang terdengar dari kejauhan, mirip dengan batuk raksasa, menjadi pertanda bahwa kapal raksasa tersebut sedang mendekat. Dalam pandangan mereka, kapal yang datang dari dunia luar itu seolah membawa ancaman dan ketegangan yang sulit dihindari, hingga menyebabkan orang-orang merasa cemas, tak berdaya, dan mencari perlindungan di alam liar yang menjadi tempat perlindungan mereka. Ibu dan nenek penulis, yang saat itu masih muda, turut merasakan kepanikan yang melanda kampung mereka, bersama para penduduk lainnya. 

Perasaan takut dan kecemasan yang dihadapi oleh masyarakat di masa itu memberi kesan mendalam tentang bagaimana pertemuan antara dunia lokal dan dunia luar bisa begitu menakutkan bagi mereka yang belum siap dengan perubahan besar. Namun, di balik ketakutan tersebut, ada pula cerita tentang ketahanan dan kebersamaan masyarakat yang saling mendukung satu sama lain dalam menghadapi ancaman yang datang. Meskipun kapal NIRUB tenggelam dan menjadi bagian dari sejarah yang tidak terlupakan, cerita ini juga mencerminkan kedekatan masyarakat dengan alam dan betapa pentingnya menjaga warisan sejarah, baik itu dari sisi sosial, budaya, maupun alam sekitar. Sebuah kisah yang menjadi jendela untuk melihat masa lalu, di mana setiap suara dan kejadian memiliki makna yang mendalam bagi mereka yang hidup di sekitar muara Sungai Sekayam. 

Misteri tentang tenggelamnya kapal NIRUB VOC di muara sungai Sekayam ini merupakan adalah ilustrasi sempurna dari konsep karma kosmis yang tertanam dalam agama asli. Menurut kepercayaan ini, tindakan yang melawan tatanan moral dan spiritual akan membawa konsekuensi buruk. Kapal NIRUB, yang datang dengan niat jahat untuk mengeksploitasi penduduk lokal, harus menerima balasan dari alam semesta. Air sungai yang menjadi saksi bisu peristiwa ini adalah simbol pelindung kebenaran dan pengingat bahwa kekuatan alam akan selalu menjaga keseimbangannya. 

Jadi, Narasi gua misterius di Muara Sungai Sekayam tidak hanya mengisahkan petualangan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang kaya akan makna filosofis. Melalui perspektif agama asli sebagaimana dijelaskan oleh Bakker, kisah ini mengingatkan kita pada pentingnya menjaga harmoni dengan alam dan menghormati hukum moral yang mengatur semesta. Dalam dunia yang semakin modern, kearifan lokal ini menawarkan pandangan alternatif yang relevan untuk menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan spiritualitas.

[4] Semotika, baik menurut Umberto Eco (pengarang mahakarya novel Il Nome della Rosa (The Name of the Rose) maupun Roland Barthes, memberikan kerangka teoritis yang kuat untuk memahami bagaimana simbol dan tanda bekerja dalam budaya dan bagaimana makna dibentuk melalui proses interpretasi. Dalam konteks Dayak, semotika dapat digunakan untuk memecahkan misteri simbol alam atau kosmos yang mereka anut, serta cara mereka berinteraksi dengan dunia alam melalui simbolisme yang kaya.

 

Semotika Umberto Eco

Umberto Eco berfokus pada hubungan antara tanda (sign) dan makna yang dihasilkannya dalam komunikasi. Eco membagi tanda menjadi dua komponen: "penanda" (signifier) dan "petanda" (signified). Penanda adalah bentuk fisik dari tanda, seperti gambar, suara, atau objek, sementara petanda adalah konsep atau makna yang dikaitkan dengan penanda tersebut. Dalam budaya Dayak, simbol-simbol alam seperti pohon, gunung, sungai, atau bahkan binatang, berfungsi sebagai penanda yang mengacu pada konsep-konsep spiritual dan kosmologis yang lebih dalam, yang mungkin terkait dengan keseimbangan alam, kehidupan, atau bahkan kehidupan setelah mati.

Contohnya, dalam ritual-ritual adat Dayak, pohon atau tanaman tertentu mungkin bukan hanya simbol dari kehidupan atau kekuatan alam, tetapi juga mengandung makna spiritual yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan kekuatan lebih besar seperti roh alam atau leluhur. Dalam semotika Eco, pemahaman terhadap simbol-simbol ini akan melibatkan pemecahan hubungan antara penanda (misalnya, gambar pohon dalam ukiran atau tato) dan petanda (misalnya, makna spiritual tentang kehidupan dan harmoni dengan alam).

 

Semotika Roland Barthes

Roland Barthes, di sisi lain, mengembangkan konsep semotika dalam dua tingkat: "denotasi" dan "konotasi." Denotasi adalah makna langsung atau literal dari tanda, sementara konotasi adalah makna tambahan yang lebih luas dan lebih subjektif, sering kali terkait dengan konteks budaya atau sosial yang lebih besar. Dalam konteks Dayak, denotasi dari simbol alam seperti sungai bisa saja sederhana, yaitu sebagai sebuah saluran air yang mengalir. Namun, konotasinya jauh lebih kompleks. Sungai, misalnya, mungkin juga dipahami sebagai jalur perjalanan spiritual, penghubung antara dunia manusia dan dunia roh, atau sebagai simbol kehidupan dan penyucian dalam beberapa upacara adat. 

Menurut Barthes, konotasi-konotasi ini terbentuk melalui proses sosial dan budaya, dan dapat diubah atau diperluas oleh masyarakat yang menggunakannya. Oleh karena itu, simbol alam dalam budaya Dayak bukan hanya berfungsi sebagai penanda dari objek alami yang ada, tetapi juga sebagai alat untuk menyampaikan nilai-nilai dan kepercayaan yang lebih dalam tentang hubungan antara manusia dan kosmos. Sebagai contoh, dalam simbol-simbol tato Dayak yang memiliki motif bunga terong atau hewan, ada konotasi yang melibatkan kekuatan spiritual atau identitas budaya yang terkait dengan keberanian, kehormatan, atau hubungan dengan alam semesta. 

Dengan menggunakan kerangka semotika Eco dan Barthes, kita bisa menggali lebih dalam bagaimana simbol-simbol alam dan kosmos yang digunakan oleh orang Dayak bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi visual, tetapi juga sebagai wadah untuk menyampaikan pandangan dunia, nilai-nilai spiritual, dan identitas budaya. Melalui penanda dan petanda yang muncul dalam bentuk simbolisme alam, kita dapat menginterpretasi hubungan antara manusia dan alam, serta memahami makna lebih luas tentang kosmos yang diyakini oleh masyarakat Dayak.

 

LihatTutupKomentar