Gua dalam Kosmologi Manusia Dayak: Ritual dan Penyatuan dengan Alam
ilustrasi by: AI. |
Dalam novel Orang-Orang Hakka di Sanggau (Januari 2025, 645 halaman), gua tidak hanya menjadi tempat fisik, tetapi juga simbol spiritual yang mendalam dalam kosmologi Orang Dayak.
Gua (Bab 4,5, dan 6) digambarkan sebagai ruang lebar dan panjang, sebuah portal antara dunia manusia, alam, dan makhluk gaib yang mendiaminya. Setidak-tidaknya tiga bab dalam novel ini menggambarkan perjalanan Kwee Seng Ong, seorang pendatang baru, yang harus tunduk pada hukum adat, makhluk, dan penghuni gua yang lebih dulu ada di tempat itu.
Baca rang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (2)
Perjalanan Kwee Seng Ong: Penyatuan dengan Alam dan Ujian Bonae Voluntatis
Sebagai simbol awal penyatuan dengan alam, Kwee Seng Ong diwajibkan menjalani serangkaian ritual yang menegaskan niat baiknya (bonae voluntatis). Termasuk "ritus lustrasi) --air penyucian-- yang Kwee harus lewati, dan wajib lulus, di pusaran maut Pancur Aji, suatu lubang kehidupan dekat Sanggau.
Dalam ritual ini, Kwee harus mengakui kedudukannya sebagai tamu di dunia yang telah lama dihuni oleh berbagai makhluk, baik yang kasat mata maupun tidak. Ia diuji melalui penghayatan kosmologi gua yang kaya akan mitos dan kepercayaan Orang Dayak. Gua ini bukan sekadar tempat berteduh, tetapi sebuah arena pembelajaran tentang harmoni dengan alam.
Melalui perjalanan spiritual yang intens di dalam gua, Kwee belajar memahami hubungan antara manusia dan alam, menghormati hukum-hukum adat, dan menerima kearifan lokal sebagai dasar kehidupannya di tanah baru. Hanya setelah ia membuktikan niat baiknya melalui ritual-ritual ini, Kwee diterima sebagai bagian dari tempat tersebut dan diizinkan melanjutkan petualangannya.
Setelah keluar dari gua, Kwee melanjutkan perjalanannya ke hulu Sungai Kapuas, di mana ia bermaksud mendirikan pemukiman baru. Gua menjadi titik balik, bukan hanya dalam perjalanan fisiknya, tetapi juga dalam transformasi pribadinya. Kini, ia bukan hanya seorang pendatang, tetapi juga bagian dari ekosistem spiritual Borneo.
Baca Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (9)
Kwee akhirnya mendirikan sebuah pemukiman Hakka di tepian Sungai Kapuas, tak jauh dari Muara Sekayam. Tempat ini, yang kemudian dikenal sebagai Jalan Kartini di Sanggau, menjadi saksi bisu integrasi dua budaya: tradisi leluhur Hakka dan kearifan lokal Dayak. Pemukiman ini tidak hanya menjadi tempat tinggal, tetapi juga pusat interaksi dan adaptasi budaya, sebuah kisah yang mengakar dalam perjalanan panjang melalui gua dan peradaban.
Gua sebagai Simbol Transformasi
Dalam kosmologi Orang Dayak, gua merepresentasikan rahim bumi, tempat kelahiran kembali, dan transformasi jiwa. Perjalanan Kwee di dalam gua mencerminkan filosofi ini: ia memasuki dunia baru sebagai individu yang asing dan keluar sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar. Gua mengajarkan bahwa penyatuan dengan alam, penghormatan terhadap adat, dan pengakuan akan eksistensi makhluk lain adalah langkah awal untuk menciptakan harmoni di tanah yang baru.
Inilah selengkapnya Catatan 23 Novel Orang-Orang Hakka di Sanggau.
[22] Gua sesungguhnya bukan hanya sebuah lorong gelap biasa, namun adalah Representasi Kosmologi Dayak, tempat yang menghubungkan dunia fisik dan dunia spiritual dalam tradisi mereka. Dalam pandangan kosmologi Dayak, gua sering kali dianggap sebagai simbol kedalaman alam semesta, sebuah ruang transendental yang melampaui batasan fisik. Di dalam gua, terdapat pemahaman tentang alam semesta yang terbagi dalam tiga lapisan utama: dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah, yang masing-masing memiliki makna dan kekuatan yang berbeda. Gua menjadi tempat pertemuan antara dunia manusia dengan dunia roh, yang menciptakan dimensi sakral yang dalam dalam kehidupan masyarakat Dayak. Setiap langkah memasuki gua bukan hanya sekadar memasuki sebuah ruang fisik, melainkan juga perjalanan spiritual yang mengandung filosofi yang dalam tentang asal-usul, kehidupan, dan kematian.
Lebih dari sekadar tempat persembunyian atau perlindungan, gua juga menjadi simbol bagi proses transformasi, penyucian, dan pencarian pengetahuan dalam tradisi Dayak. Beberapa gua, seperti yang ada di kalangan suku Dayak Iban atau Dayak Ngaju, memiliki peran penting dalam ritual-ritual keagamaan dan adat, tempat di mana para pemimpin spiritual melakukan perjalanan menuju kesadaran yang lebih tinggi atau komunikasi dengan leluhur. Gua menjadi penanda transisi, dari dunia yang nyata menuju dunia yang lebih tinggi dan lebih halus, tempat di mana manusia dapat berinteraksi dengan kekuatan yang lebih besar dari dirinya. Dengan demikian, gua dalam kosmologi Dayak bukan hanya ruang fisik, tetapi juga sebuah simbol kehidupan spiritual yang mencerminkan hubungan manusia dengan alam semesta dan kekuatan-kekuatan tak terlihat yang mengaturnya.
Dalam konteks agama asli Indonesia, sebagaimana dikemukakan oleh Anton Bakker (Agama Asli Indonesia, 1971), memiliki inti ajaran yang menekankan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan dunia gaib. Gua sering kali dipandang sebagai tempat suci yang melambangkan rahim ibu pertiwi, sebuah ruang di mana kehidupan bermula dan rahasia alam tersimpan. Dalam hal ini, gua yang terhubung dengan Pancur Aji dan Sungai Sekayam mencerminkan axis mundi (poros dunia) dalam kepercayaan lokal, di mana dunia atas (langit), dunia tengah (bumi), dan dunia bawah (alam gaib) saling berinteraksi.
Adapun dalam konteks lokus “Muara Sungai Sekayam” di sini kedalaman kosmologinya bermakna Pemisahan Niat Baik dan Buruk. Muara Sungai Sekayam, dengan airnya yang tampak terpisah antara jernih dan keruh, menjadi metafora kuat dalam kosmologi tradisional Dayak. Dalam agama asli, fenomena alam sering kali dianggap sebagai pesan ilahi. Air jernih melambangkan niat baik, kejujuran, dan kesucian, sedangkan air keruh mencerminkan niat buruk, keserakahan, dan pelanggaran terhadap tatanan kosmis. Tenggelamnya kapal kompeni Hindia Belanda, Nederland Indie Rubber (NIRUB), di muara ini bukanlah peristiwa kebetulan, melainkan konsekuensi dari pelanggaran terhadap hukum moral alam semesta. Dalam kepercayaan lokal, segala tindakan manusia memiliki resonansi dalam alam semesta, sebagaimana dijelaskan oleh Bakker, bahwa "segala sesuatu di dunia ini saling berkait dalam jaringan harmoni yang sakral."
Sedangkan “Pancur Aji” yang dikisahkan pada bab bab di muka adalah Simbol Pemurnian dan Penebusan.
Terhubungnya gua misterius dengan Pancur Aji menegaskan peran air sebagai elemen pemurnian dalam agama asli Indonesia. Pancur Aji, yang dalam banyak tradisi lokal dianggap sebagai tempat suci, merupakan simbol ritus lustrasi atau penyucian diri. Air yang mengalir dari Pancur Aji diyakini memiliki kekuatan untuk membersihkan dosa dan memperbaharui hubungan manusia dengan kekuatan ilahi. Hal ini sesuai dengan pandangan Bakker bahwa dalam agama asli, ritus pemurnian bertujuan untuk memulihkan keharmonisan antara individu, komunitas, dan alam semesta.
Adapun Ritus lustrasi adalah upacara penyucian atau pemurnian yang biasanya dilakukan untuk membersihkan seseorang, kelompok, atau tempat dari pengaruh buruk, dosa, atau kenajisan menurut kepercayaan tertentu. Istilah ini berasal dari bahasa Latin lustratio, yang berarti "penyucian" atau "pembersihan ritual". Ritus ini ditemukan dalam berbagai tradisi keagamaan di seluruh dunia, baik dalam agama kuno maupun agama modern.