Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (18)

Hakka, Sanggau, Khek, Tionghoa, Macan Gaikng, Kalimantan Barat, Vihara, toapekong, migrasi, Fujian, Cina, Borneo, Varuna-dvipa, Sekayam, Kapuas

Lukisan pada waktu dulu sekali jembatan gantung (gertak gantung) muara Sungai Sekayam. Dokumenyasi: Vihata Tridharma, Sanggau. Repro: Masri Sareb Putra.

Kwee Seng Ong menatap jauh ke dalam kegelapan gua, matanya seperti melihat sesuatu yang tidak tampak oleh mata manusia biasa. 

“Sungai Sekayam bukan sekadar hidup. Ia adalah saksi, hakim, dan pelaksana. Di dasarnya, kapal NIRUB yang tenggelam membawa kutukan, tubuh para serdadu Belanda terbenam bersama niat jahat mereka. Dan air yang terpisah antara jernih dan keruh itu adalah simbol dari keseimbangan dunia: niat baik akan membawa kejernihan, sementara niat buruk hanya akan berakhir di dalam kegelapan. 

Baca narasi sebelumnya Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (17)

Mereka bertiga mulai melangkah ke dalam gua, setiap langkah seolah membawa mereka lebih dekat pada inti dari misteri yang melibatkan Pancur Aji dan Sungai Sekayam. 

Lorong-lorong gua itu berkelok-kelok seperti urat nadi bumi, dipenuhi dengan stalaktit dan stalagmit yang tampak seperti taring-taring raksasa. Dari kejauhan, suara dari bunyi air mulai terdengar lebih jelas, bercampur dengan bisikan-bisikan yang terdengar seperti doa, atau mungkin ratapan dari mereka yang pernah mencoba menantang kuasa gua ini. 

Baca Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (9)

Macan Gaikng, yang selalu penuh keberanian, kini mulai merasa keringat dingin membasahi punggungnya. 

“Kwee Seng Ong, apa yang sebenarnya kita cari di sini? Apakah semua ini hanya perjalanan tanpa tujuan, atau ada sesuatu yang benar-benar kau tahu?” 

Kwee Seng Ong berhenti sejenak, menatap ke arah Macan Gaikng dengan sorot mata yang penuh wibawa. “Tujuan kita bukan hanya untuk menemukan, tetapi untuk memahami. Dunia ini tidak pernah memberikan sesuatu secara cuma-cuma. Apa yang tersembunyi di dasar Sungai Sekayam, apa yang menghubungkan gua ini dengan Pancur Aji, adalah bagian dari jawaban atas pertanyaan terbesar: apakah manusia benar-benar layak menguasai bumi ini?” 

Lim Khok Seng merapatkan mantel tuanya, merasakan aura aneh yang semakin pekat. 

“Gua ini bukan sekadar lorong menuju Pancur Aji,” katanya pelan. “Ini adalah cerminan jiwa kita. Mereka yang masuk dengan hati yang kotor tidak akan pernah keluar lagi.” 

Sebuah suara raksasa tiba-tiba menggema dari kedalaman gua, seperti gemuruh petir yang dipantulkan oleh dinding-dinding batu. “Hanya mereka yang berani menghadapi bayangan diri mereka sendiri yang akan melihat cahaya di ujung perjalanan ini.” 

Suara itu menghentikan langkah mereka, membuat mereka bertiga memandang satu sama lain. 

Baca Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (2)

Kwee Seng Ong menghela napas panjang, mengencangkan pegangan pada tongkatnya. “Ini baru permulaan,” katanya lirih. “Apa yang menanti kita bukan hanya rahasia, tetapi ujian yang akan menentukan apakah kita pantas mengetahui kebenaran.” 

Dan di ujung lorong gelap itu, samar-samar terlihat seberkas cahaya, memantulkan bayangan yang membentuk simbol-simbol kuno yang hanya bisa dungkap dengan menggunakan sandi yang diberikan oleh Umberto Eco atau Barthes[1].

-- Masri Sareb Putra


[1] Semotika, baik menurut Umberto Eco (pengarang mahakarya novel Il Nome della Rosa (The Name of the Rose) maupun Roland Barthes, memberikan kerangka teoritis yang kuat untuk memahami bagaimana simbol dan tanda bekerja dalam budaya dan bagaimana makna dibentuk melalui proses interpretasi. Dalam konteks Dayak, semotika dapat digunakan untuk memecahkan misteri simbol alam atau kosmos yang mereka anut, serta cara mereka berinteraksi dengan dunia alam melalui simbolisme yang kaya.

 

Semotika Umberto Eco

Umberto Eco berfokus pada hubungan antara tanda (sign) dan makna yang dihasilkannya dalam komunikasi. Eco membagi tanda menjadi dua komponen: "penanda" (signifier) dan "petanda" (signified). Penanda adalah bentuk fisik dari tanda, seperti gambar, suara, atau objek, sementara petanda adalah konsep atau makna yang dikaitkan dengan penanda tersebut. Dalam budaya Dayak, simbol-simbol alam seperti pohon, gunung, sungai, atau bahkan binatang, berfungsi sebagai penanda yang mengacu pada konsep-konsep spiritual dan kosmologis yang lebih dalam, yang mungkin terkait dengan keseimbangan alam, kehidupan, atau bahkan kehidupan setelah mati.

Contohnya, dalam ritual-ritual adat Dayak, pohon atau tanaman tertentu mungkin bukan hanya simbol dari kehidupan atau kekuatan alam, tetapi juga mengandung makna spiritual yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan kekuatan lebih besar seperti roh alam atau leluhur. Dalam semotika Eco, pemahaman terhadap simbol-simbol ini akan melibatkan pemecahan hubungan antara penanda (misalnya, gambar pohon dalam ukiran atau tato) dan petanda (misalnya, makna spiritual tentang kehidupan dan harmoni dengan alam).

 

Semotika Roland Barthes

Roland Barthes, di sisi lain, mengembangkan konsep semotika dalam dua tingkat: "denotasi" dan "konotasi." Denotasi adalah makna langsung atau literal dari tanda, sementara konotasi adalah makna tambahan yang lebih luas dan lebih subjektif, sering kali terkait dengan konteks budaya atau sosial yang lebih besar. Dalam konteks Dayak, denotasi dari simbol alam seperti sungai bisa saja sederhana, yaitu sebagai sebuah saluran air yang mengalir. Namun, konotasinya jauh lebih kompleks. Sungai, misalnya, mungkin juga dipahami sebagai jalur perjalanan spiritual, penghubung antara dunia manusia dan dunia roh, atau sebagai simbol kehidupan dan penyucian dalam beberapa upacara adat. 

Menurut Barthes, konotasi-konotasi ini terbentuk melalui proses sosial dan budaya, dan dapat diubah atau diperluas oleh masyarakat yang menggunakannya. Oleh karena itu, simbol alam dalam budaya Dayak bukan hanya berfungsi sebagai penanda dari objek alami yang ada, tetapi juga sebagai alat untuk menyampaikan nilai-nilai dan kepercayaan yang lebih dalam tentang hubungan antara manusia dan kosmos. Sebagai contoh, dalam simbol-simbol tato Dayak yang memiliki motif bunga terong atau hewan, ada konotasi yang melibatkan kekuatan spiritual atau identitas budaya yang terkait dengan keberanian, kehormatan, atau hubungan dengan alam semesta. 

Dengan menggunakan kerangka semotika Eco dan Barthes, kita bisa menggali lebih dalam bagaimana simbol-simbol alam dan kosmos yang digunakan oleh orang Dayak bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi visual, tetapi juga sebagai wadah untuk menyampaikan pandangan dunia, nilai-nilai spiritual, dan identitas budaya. Melalui penanda dan petanda yang muncul dalam bentuk simbolisme alam, kita dapat menginterpretasi hubungan antara manusia dan alam, serta memahami makna lebih luas tentang kosmos yang diyakini oleh masyarakat Dayak.

  

LihatTutupKomentar