Dayak dan Asal Usul Sejarahnya dari Ekskavasi Situs Gua Niah
Begitu pula dengan informasi yang diberikan oleh Tempo terkait topik "Dayak," yang mengacu pada sumber yang kurang jelas. Apalagi jika penulis yang hari itu, dan baru sekali, ke Tanah Dayak, menulis tentang Dayak pasti banyak bias dan kurang paham tentang Dayak. Vorurteil-nya, pengalaman dan pengetahuannya, masih terbatas sekali. Hanya menangkap yang tampak di permukaan dan kesan luar, sekulit ari saja, sedangkan sensus plenior (kedalaman esensinya) tidak diketahui.
Suku Dayak Berasal dari Mana? Ketahui Asal Usul dan Tradisinya
Tempo tidak dapat menyebutkan secara tepat presisi bahwa istilah "Dajak" pertama kali digunakan oleh kontrolir Banjarmasin, Hogendorff, pada tahun 1757 dalam laporannya ke Belanda, sebagai padanan bahasa Belanda "binnenland," yang berarti "dari sini" atau "tempat ini" (Borneo) (Ave dan King). Laman-laman dan sumber-sumber tentang Dayak seperti ini seharusnya diperbarui agar tidak menyesatkan.
Sumber akademik tepercaya mengenai asal usul Dayak
Berikut ini sumber akademik tepercaya mengenai asal usul Dayak dan pertama kali "Dajak" digunakan.
Penggalian di situs Gua Niah dimulai pada tahun 1954, dipimpin oleh Tom Harrisson, seorang kurator Museum Sarawak yang terkenal. Harrisson memainkan peran penting dalam mengungkapkan sejarah dan asal-usul nenek moyang orang Dayak. Melalui kerja arkeologi ilmiah yang dilakukan di bawah pengawasannya, ditemukan bukti bahwa orang Dayak telah tinggal di Gua Niah sejak lebih dari 40.000 tahun yang lalu. Bukti tersebut diperoleh melalui uji karbon pada kerangka dan artefak yang ditemukan di situs tersebut.
Penemuan ini menunjukkan bahwa manusia purba yang mendiami Gua Niah bukan hanya pelaut atau pemburu, tetapi juga kelompok yang sudah memiliki sistem kebudayaan dan kehidupan sosial yang kompleks. Temuan arkeologis ini memberikan gambaran yang lebih jelas tentang kehidupan orang Dayak pada masa prasejarah dan membuktikan bahwa mereka merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah panjang Borneo.
Penggalian di Gua Niah yang terletak di Miri, Sarawak, mengungkapkan bukti berupa "kerangka tengkorak" dan artefak lainnya, termasuk keramik serta berbagai alat yang digunakan oleh manusia purba di situs tersebut. Penemuan ini, yang dipimpin oleh Ipoi Datan, seorang Dayak Lundayeh dan kepala Museum Sarawak, telah dikonfirmasi secara ilmiah melalui pengujian karbon. Hasil tes karbon tersebut memberikan bukti kuat bahwa manusia telah ada di Gua Niah selama lebih dari 40.000 tahun. Reproduksi dokumentasi ini disediakan oleh Masri Sareb Putra dari Museum Niah.
Gagal-paham tentang Asal Usul Dayak
Asal-usul orang Dayak telah lama diselimuti kesalahpahaman, hasil dari celah-celah sejarah dan dokumentasi yang terbatas. Selama berabad-abad, sejarah sejati orang Dayak tetap menjadi misteri, dengan banyak narasi yang dibentuk oleh perspektif luar yang gagal menangkap kekayaan dan kompleksitas budaya mereka dengan akurat.
Penulis selama riset di Gua Niah dan Muzium Sarawak. Dokpri. |
Kesalahpahaman ini berakar pada kurangnya pengetahuan sejarah yang mendalam dan ketiadaan catatan langsung dari orang Dayak itu sendiri. Akibatnya, asal-usul dan makna budaya orang Dayak sering kali disembunyikan, menghasilkan kesalahpahaman yang masih bertahan hingga kini.
Sejarah yang Ditulis oleh Dayak Mengubah Pemahaman Budaya
Ketiadaan catatan tertulis menciptakan kekosongan sejarah yang sering kali diisi dengan asumsi dan stereotip. Perspektif eksternal ini, meskipun sering kali bermaksud baik, gagal menangkap kompleksitas penuh masyarakat dan budaya Dayak. Sebaliknya, orang Dayak sering digambarkan melalui lensa sempit, yang sering menyoroti sifat "primitif" atau "liar", sebagaimana yang dipersepsikan oleh mereka yang tidak akrab dengan adat mereka. Ini menyebabkan mitos dan kesalahpahaman yang terus mempengaruhi pemahaman populer tentang identitas mereka hingga saat ini.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi pergeseran signifikan. Semakin banyak cendekiawan, peneliti, penulis, dan aktivis literasi yang berasal dari keturunan Dayak muncul, berperan aktif dalam mendokumentasikan budaya, sejarah, dan identitas mereka sendiri. Karya-karya yang semakin berkembang ini secara perlahan mengubah narasi tentang orang Dayak, memberikan perspektif yang lebih akurat, mendalam, dan merepresentasikan diri mereka sendiri. Dengan mendokumentasikan cerita dan sejarah mereka, individu Dayak mengambil kembali suara mereka dan mengklaim kontrol atas cara budaya mereka dipahami dan digambarkan.
Pergeseran dalam cara sejarah Dayak didokumentasikan ini sangat penting untuk memperbaiki kesalahpahaman yang telah lama mengganggu pemahaman tentang kelompok pribumi ini. Selama berabad-abad, budaya dan identitas Dayak diinterpretasikan melalui kacamata pihak luar, yang sering kali menyebabkan gambaran yang terdistorsi. Sekarang, berkat upaya cendekiawan dan penulis Dayak, ada upaya yang lebih besar untuk menyajikan catatan yang otentik dan berlandaskan pada realitas sejarah serta budaya mereka—yang mencerminkan esensi sejati kehidupan, tradisi, dan nilai-nilai Dayak.
Dengan semakin banyaknya karya-karya yang ditulis oleh orang Dayak, semakin jelas bahwa orang Dayak bukanlah kelompok monolitik, tetapi masyarakat yang beragam dan kompleks dengan ragam bahasa, adat, dan kepercayaan. Gambaran umum yang lebih awal tentang Dayak sebagai satu kelompok homogen kini digantikan dengan representasi yang lebih akurat tentang keragaman budaya mereka. Pergeseran ini memungkinkan penghargaan yang lebih lengkap terhadap keunikan setiap sub-suku Dayak, serta benang merah yang menyatukan mereka sebagai suatu bangsa.
Baca Longhouses of the Dayak People: An Intriguing and Meaningful Tourist Attraction
Pentingnya mengoreksi kesalahpahaman ini tidak bisa dianggap remeh. Dengan mengakui nilai dari sejarah yang ditulis oleh orang Dayak, kita memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang sifat sejati budaya, identitas, dan hubungan mereka dengan tanah. Sejarah Dayak bukanlah serangkaian cerita terpisah yang diceritakan oleh orang luar, tetapi narasi yang hidup dan berkembang yang dibentuk oleh pengalaman dan suara orang-orang itu sendiri. Pergeseran menuju penulisan oleh orang Dayak ini tidak hanya soal memperbaiki kesalahan masa lalu, tetapi juga tentang memberdayakan orang Dayak untuk membentuk masa depan mereka sendiri.
Seiring kita terus mengeksplorasi dan belajar tentang orang Dayak, sangat penting untuk memperhatikan perspektif dan kontribusi mereka sendiri. Karya-karya yang semakin banyak muncul dari cendekiawan, peneliti, dan penulis Dayak menjadi bukti ketahanan orang Dayak dan kemampuan mereka untuk melestarikan serta berbagi budaya mereka, meskipun tantangan yang mereka hadapi sepanjang sejarah. Narasi yang ditulis oleh mereka sendiri merupakan langkah penting menuju pemulihan sejarah sejati orang Dayak dan memastikan suara mereka didengar dan dihargai.
Dayak: Dari Sini dan di tempat ini (Borneo) bukan dari mana pun
Salah satu kesalahpahaman yang paling bertahan lama tentang orang Dayak adalah anggapan bahwa mereka bermigrasi ke Borneo dari wilayah lain. Pandangan ini telah bertahan selama bertahun-tahun, sebagian besar karena kurangnya catatan sejarah dan dokumentasi terbatas mengenai keberadaan orang Dayak yang telah lama berada di pulau ini. Namun, perspektif ini gagal mengakui akar sejarah yang dalam dari orang Dayak di Borneo, yang jauh melampaui kedatangan pengaruh eksternal. Orang Dayak bukanlah pendatang baru di pulau ini, melainkan telah hidup di sini selama ribuan tahun, membentuk hubungan yang dalam dan langgeng dengan tanah ini.
Penelitian tentang periode prasejarah memberikan wawasan berharga tentang asal-usul sejati orang Dayak. Studi oleh ahli bahasa Robert Blust dan arkeolog Peter Bellwood menunjukkan bahwa orang Dayak, bersama dengan kelompok-kelompok pribumi lainnya di Borneo, adalah salah satu penghuni pulau ini yang paling awal. Para cendekiawan ini menekankan bahwa keberadaan orang Dayak di Borneo bukanlah perkembangan terbaru, tetapi merupakan kelanjutan sejarah yang jauh mendahului sebagian besar bentuk pemukiman lainnya di pulau ini. Pemahaman yang lebih dalam ini menantang teori migrasi dan menyoroti akar pribumi orang Dayak.
Penemuan arkeologis memberikan dukungan tambahan untuk argumen bahwa orang Dayak telah hidup di Borneo selama puluhan ribu tahun. Salah satu penemuan tersebut adalah sisa-sisa manusia yang ditemukan di Gua Niah di Miri, Sarawak. Berdasarkan penanggalan karbon, penemuan ini diperkirakan berusia sekitar 40.000 tahun, yang semakin memperkuat teori bahwa orang Dayak telah mendiami Borneo jauh lebih lama daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Keberlanjutan keberadaan orang Dayak di Borneo menjadi bukti kuat hubungan budaya dan sejarah mereka yang mendalam dengan pulau ini. Temuan ini menegaskan bahwa orang Dayak adalah bangsa pribumi Borneo, dengan sejarah yang membentang ribuan tahun. Hubungan abadi ini dengan tanah menekankan pentingnya mengakui tempat sah orang Dayak sebagai penghuni asli pulau ini, alih-alih memandang mereka melalui kacamata migrasi dari wilayah luar.
Istilah "Dayak" Pertama Kali Muncul pada 1757
Istilah Dayak sekarang umum digunakan untuk merujuk pada suku-suku pribumi yang tinggal di daerah pedalaman Borneo, tetapi penggunaannya dalam catatan sejarah dapat ditelusuri kembali ke tahun 1757. Penggunaan pertama kali istilah Dayak tercatat oleh Belanda, yang mulai menjelajahi pulau tersebut pada waktu itu.
Dalam buku Borneo in Ondergang en Culturen of Drift, Jan B. Ave dan V.T. King mencatat bahwa pada 1757, istilah Dayak sudah dikenal oleh orang Belanda, seperti yang terlihat dalam deskripsi Banjarmasin oleh J.A. Von Hogendorff. Dalam karya mereka, pada halaman 10, mereka menulis:
"Naar ops was het woord 'Dayak' reeds in 1757 aan Nederlanders bekend, getuige het voorkomen van die term in de beschrijving van Banjarmasin door J.A. Von Hogendorff. Het woord betekent 'binnenland'."
Frasa binnenland ini diterjemahkan menjadi "manusia Borneo dari sini, asli, tidak dari man apun". Jadi, terminologi :Dayak" pertama kali dikenal oleh Hindia Belanda pada 1757, sebagaimana terlihat dalam deskripsi monograf laporan J.A. Von Hogendorff seorang kontroler Banjarmasin pada ketika itu.
Istilah binnenland (King dan Ave) digunakan Hogendorff untuk menggambarkan masyarakat pribumi yang tinggal di daerah pedalaman Borneo, yang secara geografis dan budaya berbeda dengan masyarakat pesisir yang lebih banyak berhubungan dengan orang Belanda. Penggunaan istilah "Dayak" oleh Belanda ini menegaskan perbedaan antara penduduk pedalaman yang pribumi dengan pengaruh eksternal, seperti kekuatan kolonial Eropa, yang mulai hadir di pulau ini.
Baca The Motif of the Tattoos of Apai Janggut and Panglima Jilah: The Legacy of Legends
Seiring waktu, istilah binnenland menjadi sebutan umum bagi berbagai kelompok etnis yang tinggal di pedalaman Borneo, meskipun orang Dayak sendiri mungkin lebih mengenal diri mereka dengan nama sub-suku mereka masing-masing.
Pada intinya, istilah Dayak telah menjadi simbol bukan hanya bagi sekelompok orang tertentu, tetapi juga bagi warisan budaya dan sejarah mereka yang telah lama menjadi bagian dari pedalaman Borneo.
Prasejarah Borneo oleh Bellwood dan Blust
Jika Pembaca masih penasaran, disarankan untuk menjelajahi prasejarah Varuna-dvipa, nama kuno yang digunakan untuk Borneo pada masa pengaruh Hindu-India. Varuna-dvipa, yang merujuk pada "Pulau Varuna", disebutkan dalam berbagai teks kuno yang berasal dari India, seperti dalam karya-karya sastra yang mencatat perjalanan dan pengaruh kebudayaan India di Asia Tenggara. Para ahli seperti Peter Bellwood dan Robert Blust memberikan wawasan yang mendalam mengenai sejarah awal Borneo, yang dahulu dikenal sebagai bagian dari dunia yang lebih luas, yang dipengaruhi oleh ekspansi budaya dan agama Hindu dari India.
Bellwood, dalam teori migrasi dan penyebaran budaya, menemukan indikasi bahwa selama ribuan tahun, manusia di Borneo telah berinteraksi dengan berbagai kelompok migran yang membawa pengaruh kebudayaan besar, termasuk kebudayaan Hindu.
Blust, di sisi lain, berfokus pada aspek linguistik, menunjukkan bagaimana bahasa-bahasa di Borneo, termasuk bahasa Dayak, menunjukkan jejak pengaruh India melalui struktur dan kosakata tertentu.
Era pengaruh Hindu-India pada Borneo tidak hanya memperkenalkan unsur-unsur budaya, tetapi juga menghubungkan pulau ini dengan jalur perdagangan maritim besar di Asia Tenggara.
Penelusuran lebih lanjut terhadap prasejarah Varuna-dvipa membuka wawasan mengenai perkembangan awal peradaban di Borneo, serta kontribusinya terhadap sejarah lebih luas Asia Tenggara, yang turut membentuk identitas dan warisan budaya orang Dayak hingga saat ini.
— Masri Sareb Putra, M.A.