Dayak: Dari Kutuk Menjadi Berkat
Dayak dari kutuk menjadi: berkat. Kini Dayak punya lahan dan hutan adat yang luas seperti Keling Kumang Forest ini. Kredit foto: Masri Sareb Putra. |
🌍 DAYAK TODAY | PONTIANAK: Dayak, dalam sejarah kolonial, adalah momok. Kata yang tak sekadar merendahkan, tetapi mengandung kutukan.
Dayak adalah terminologi yang dicipta dalam lidah kuasa. Diabadikan dalam narasi dan laporan-laporan pejabat kolonial. Bahkan dikunci dalam stigma.
Di masa lampau, Dayak adalah sebuah istilah yang lebih banyak menjadi bayang-bayang ketimbang cahaya.
Saya pertama kali menemukan istilah "Dayak" dalam karya King dan Ave, yang mengutip monograf seorang kontroleur Banjarmasin, Hogendorff.
Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Nia
Dalam Borneo: Oerwoud in Ondergang, Culturen op Drift (Rijksmuseum voor Volkenkunde, 1986), Jan B. Ave dan Victor T. King seakan memberi isyarat, semacam tanda dalam kabut, tentang "Dayak."
Sebuah nama yang kerap muncul di tepi catatan, di antara laporan kolonial dan fragmen kisah pelaut. Jauh sebelumnya, pada 1757, kontroler Banjarmasin, J.A. Von Hogendorff, telah mencatatnya. Tapi apa yang sesungguhnya ia lihat? Barangkali hanya bayangan yang bergerak di tepian sungai, suara yang lenyap dalam hutan, atau mungkin sekadar nama yang dilisankan dengan ragu oleh seseorang yang tak lagi ingat dari mana asalnya.
Hogendorff menulis demikian, “Naar ons weten was het woord ‘Dajak’ reeds in 1757 aan Nederlanders bekend, getuige het voorkomen van die term in de beschrijving van Banjarmasin door J.A. Hogendorff Het woord betekent ‘binnenland”.
Pembaca yang punya kamus dapat mengecek makna-kata "binnenland", apakah sama dengan yang saya pahami: manusia dari sini (Borneo) di tempat ini, tidak dari mana pun juga.
Ditambahkan Hogendorff bahwa ia menggunakan "binnenland" ini sengaja untuk membedakan penduduk asli (Dajak) dengan pedatang yang bermukim di pesisir.
Adapun "pesisir" pada ketika itu identik dengan pusat peradaban dan budaya. Sebaliknya daratan (binnenland) di mana penduduk asli Borneo mendirikan rumah betang, rumah panjang, adalah udik, pedalaman, yang identik dengan ketertinggalan.
Jadi "Dajak" bukan pendatang dari Negeri Cina, bukan dari Yunnan. Bukan siapa-siapa selain mereka yang lahir dari hutan, air, dan tanah yang mereka jaga sejak awal mula.
Namun sejarah bergerak. Kutuk bisa menjelma berkat.
Sejak tahun 1970-an, pusat peradaban yang dulu bersandar pada pesisir —dengan pelabuhan, kapal dagang, dan pengaruh dari negeri seberang bergeser ke pedalaman. Jalan raya dibangun, bandara berdiri, dan Dayak tetap memiliki tanah. Sawit merajalela, dan mereka punya lahan untuk berkebun. Dalam pusaran sejarah yang sering kali merampas, kali ini, sejarah justru memberi.
Tapi sejarah tak pernah hanya satu arah. Bukan tak ada hambatan bagi Dayak dalam upaya menjadi tuan di negeri sendiri. Investor sawit datang, begitu juga tambang dan dulu HPH. Orang asing itu membawa alat berat, kontrak panjang, dan peta-peta yang mengkavling tanah ulayat.
Hak-hak leluhur bergeser menjadi angka dalam dokumen notaris. Iming-iming kesejahteraan berubah menjadi kehilangan. Hutan yang dulu milik bersama kini berpagar. Tanah yang dulu suci kini bernomor sertifikat.
Baca FILSAFAT DAYAK Usaha Rasional
Namun Dayak tak tinggal diam.
Sejarah mereka bukan sejarah tunduk tanpa perlawanan. Air mata, tangis, dan darah peladang yang teraniaya suatu waktu akan menuntut balasnya. Ada batas pada setiap kesabaran. Ada garis yang, ketika dilanggar, akan melahirkan gelombang yang tak bisa dibendung. Mereka yang berpikir Dayak hanya menunggu, keliru. Karena yang diam, tak berarti menyerah.
Negara, sejak era kolonial, apalagi Orde Baru hingga Reformasi, terasa tak pernah ada bagi Dayak.
Sebaliknya, Negara seperti yang diungkapkan Thomas Hobbes adalah Leviathan —penguasa yang rakus dan menelan segala.
Maka jangan berharap banyak pada Negara dalam hal mengangkat harkat dan martabat Dayak. Yang terbukti berjasa mengangkat dan membantu Dayak maju dan berkembang dalam 7 dimensi budaya, menurut Kroeber dan Klukhon, adalah tiga pilar ini:
- Misi/Gereja,
- Guru-guru Jawa, dan
- Guru-guru dari Flores.
Dari catatan dan perspektif Sejarah, Dayak hanya bisa menggaransikan kepercayaan dan pembangunan yang tulus kepada 3 juru-selamat itu saja.
Selebihnya: eling lan waspada!
Baca Dayak Sukubangsa yang Jujur
Sejarah memang bukan hanya tentang keberuntungan. Ia tentang bagaimana menjaga yang diwariskan. Kemakmuran ini, yang datang dalam siklus panjang, bukan semata hadiah. Ia adalah tanggung jawab. Dan tanggung jawab terbesar adalah memastikan tanah tetap menjadi milik mereka yang mengakar di dalamnya, bukan sekadar tempat singgah bagi mereka yang datang dan pergi.
Karena yang tumbuh dari tanah, tak boleh tercerabut darinya.
Karena sejarah bukanlah lembar kosong yang bisa dihapus dan ditulis ulang sesuka hati mereka yang berkuasa. Ada nyawa yang tertanam di dalamnya. Ada kenangan yang berakar dalam setiap jengkal tanah yang mereka pijak. Dan tanah itu, hutan itu, sungai itu—semua adalah tubuh dan darah Dayak sendiri.
Mereka telah melihat bagaimana dunia berubah, bagaimana janji-janji modernitas lebih sering menjadi pisau yang mengiris pelan-pelan. Mereka mendengar bagaimana orang luar berbicara tentang pembangunan, investasi, dan kemajuan, seakan-akan tanah yang mereka tempati adalah sesuatu yang harus dikorbankan demi angka-angka pertumbuhan ekonomi.
Tapi siapa yang tumbuh? Dan siapa yang harus merunduk?
Dayak telah belajar.
Dari setiap luka yang ditorehkan. Dari setiap janji yang diingkari. Dari setiap tanah yang terampas. Orang Dayak tahu, untuk tetap berdiri di atas tanah ini, mereka harus lebih dari sekadar bertahan. Mereka harus bergerak, harus menolak jadi sekadar catatan kaki dalam sejarah orang lain.
Dan sejarah itu akan mereka tulis sendiri. Dengan hati, tangan, dan jemari orang Dayak sendiri. Dengan suara mereka.
Dengan tinta emas dari tanah yang mereka jaga.
Dan tanah warisan leluhur yang tidak akan mereka lepaskan.
-- Masri Sareb Putra, M.A.