Dayak Krio, Ketapang

Dayak, Krio, Ketapang, Kalimantan Barat, Sandai, Kecamatan Hulu Sungai, Pawan, Tayap, Muara Jekak, Petai Patah, Pengkaraan, Serinding, Batu Kambing

 

Penampakan Dayak Krio.
Dayak Krio, Ketapang, dalam suatu upacara adat. Dok. Tamtama.

 🌍 DAYAK TODAY  | KETAPANG: Di tepian sungai yang berkelok di Kabupaten Ketapang, tersimpan kisah tentang orang Dayak Krio. Salah satu komunitas adat Dayak yang masih memegang erat tradisi leluhur.

Kabupaten Ketapang sendiri membentang luas di bagian selatan Borneo, dengan luas wilayah mencapai 35.809 km² dan populasi yang pada tahun 2017 tercatat sebanyak 578.533 jiwa. 

Di antara berbagai kecamatan yang menaungi keberagaman etnis di daerah ini, dua wilayah yang menjadi pusat kehidupan orang Dayak Krio adalah Kecamatan Sandai dan Kecamatan Hulu Sungai.

Baca Dayak Krio Ketapang, Kalbar : Mitos Asal Usul, Kini, Masa Depan

Ketapang, ibu kota kabupaten ini, merupakan titik temu dari berbagai aliran sungai yang menghidupi masyarakatnya. Sungai Pawan, yang mengalir dari hulu di Sandai dan Tayap, membentuk delta yang kemudian dikenal sebagai “Pulau Ketapang.”

Kota "ale-ale" ini tidak hanya menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan, tetapi juga saksi bisu hubungan erat antara Kesultanan Melayu Ketapang dengan suku Dayak Krio, hubungan yang terjalin dalam bingkai sejarah panjang interaksi budaya dan ekonomi.

Sebagai wilayah pesisir, Ketapang memiliki keragaman etnologis yang kaya. Berbagai suku, bahasa, dan kelompok etnis hidup berdampingan, menciptakan lanskap multikultural yang dinamis. Dalam konteks ini, identitas Dayak Krio menemukan tantangan sekaligus peluang: untuk tetap lestari atau berasimilasi dengan perubahan zaman. Justru karena tantangan inilah, identitas mereka perlu terus diangkat, didalami, dan dikembangkan.

Sungai dan Identitas Dayak Krio

Sungai bagi Dayak Krio bukan sekadar aliran air yang membelah daratan. Ia adalah urat nadi kehidupan, sumber penghidupan, dan refleksi dari identitas mereka. 

Baca Damang Batu dan Pertemuan Tumbang Anoi 1894

Nama "Krio" sendiri berasal dari salah satu sungai utama di daerah ini, menegaskan betapa erat hubungan mereka dengan ekosistem sungai. Selain Sungai Krio, ada tiga sungai lain yang menjadi bagian dari lanskap budaya mereka: Sungai Bihak, Sungai Jekak, dan Sungai Pawan. Keempat sungai inilah yang menjadi titik utama dalam memahami keberadaan Dayak Krio.

Di bantaran sungai-sungai tersebut, orang Dayak Krio membangun pemukiman mereka, menetap, bertani, dan melangsungkan kehidupan adat yang diwariskan turun-temurun. 

Jika ditelusuri dari hilir ke hulu, kampung-kampung Dayak Krio tersebar di sepanjang aliran Sungai Krio hingga Sungai Pawan, termasuk Tumakng Pauh, Sandai, Muara Jekak, Petai Patah, Pengkaraan, Serinding, Batu Kambing, hingga ke daerah lebih pedalaman seperti Nanga Bengaras, Congkukng Baru, Kenyauk-Ampon, dan Kenyabur.

Namun, di antara semua perkampungan ini, tiga desa utama tetap mempertahankan keaslian budaya Dayak Krio secara kuat, yaitu Sepanggang, Mariangin, dan Sengkuang. Trisula permukiman ini menjadi benteng terakhir bagi tradisi yang masih dijaga ketat oleh masyarakat setempat. Di sini, adat istiadat, ritual, dan praktik kehidupan tradisional masih dijalankan dengan sepenuh hati, menjadikannya laboratorium hidup bagi keberlanjutan budaya Dayak Krio.

Dinamika Sosial dan Tantangan Zaman

Di luar kawasan trisula tersebut, dinamika sosial telah membawa perubahan bagi komunitas Dayak Krio. Interaksi dengan pendatang, baik dari Sekadau maupun kelompok Dayak lain yang telah berpindah keyakinan dan beradaptasi dengan budaya Melayu, menyebabkan interkulturasi yang tidak terelakkan. 

Fenomena perpindahan agama, terutama ke Islam, kerap disertai dengan perubahan identitas budaya. Sebutan "Nyaga" yang secara historis memiliki konotasi negatif, digunakan untuk merujuk pada orang Dayak yang telah masuk Islam dan tidak lagi mengonsumsi daging babi. Faktor utama perpindahan ini umumnya adalah pernikahan dan integrasi sosial yang lebih luas.

Namun demikian, di Sepanggang, Mariangin, dan Sengkuang, warisan leluhur tetap dijunjung tinggi. Di sana, hutan dan sungai masih menjadi sumber kehidupan utama. Hutan bukan sekadar tempat berburu atau mencari kayu, tetapi juga ruang sakral yang dihormati dengan kearifan tradisional. 

Sungai bukan hanya jalur transportasi, melainkan juga pusat aktivitas sosial, spiritual, dan ekonomi. Masyarakat di sini masih menjalankan ritual adat, seperti upacara panen, pesta gawai, serta berbagai bentuk belarasa komunitas yang menguatkan ikatan sosial di antara mereka.

Di tengah gelombang modernisasi dan ekspansi ekonomi, orang Dayak Krio menghadapi tantangan besar. Perubahan tata guna lahan akibat industri perkebunan sawit, deforestasi, serta arus urbanisasi mengancam kelangsungan cara hidup tradisional mereka. Namun, di balik semua itu, masih ada harapan. 

Generasi muda mulai melihat kembali warisan budaya mereka sebagai aset yang berharga. Upaya pelestarian melalui dokumentasi sejarah, penguatan identitas lokal, dan revitalisasi adat istiadat terus digalakkan, demi memastikan bahwa Dayak Krio tetap menjadi bagian yang hidup dari keberagaman budaya Borneo.

Dengan segala tantangan yang ada, satu hal tetap pasti: Sungai Krio dan saudara-saudaranya akan terus mengalir, membawa kisah dan kehidupan orang Dayak Krio menuju masa depan yang tetap berakar pada kearifan leluhur mereka.

-- Rangkaya Bada


Referensi

Putra,  Agustinus Tamtama. Dayak Krio Ketapang, Kalbar : Mitos Asal Usul, Kini, Masa Depan. 2020. Jakarta: Penerbit Lembaga Literasi Dsayak.



LihatTutupKomentar