Kalimantan adalah Tempat Literasi Indonesia Lahir

Literasi pertama Indonesia, Dayak, Kudungga, Kudunga, Kutai, Muara Kaman, Berubus, Mulawarman, literasi, Kutai Martadipura, Dayak Literasi, Kudungga,

 

Reimage Yupa Prasasti Muara Kaman By GROK AI

🌍 DAYAK TODAY  | PONTIANAK: Berangkat dari ketertarikan seorang peneliti Hindia Belanda, Herman von de Wall, pada aksesoris dan mahkota (ketopong) yang dikenakan Sultan Kutai yang bercorak Hindu Kuno. 

Dia bertanya dalam hatinya darimana Sultan mendapatkan benda tersebut, sementara sultan sendiri beragama Islam. sebagai seorang mantan militer dia tentu miliki naluri intelijen. 

Baca Borneo dalam Catatan Pararaton dan Nagarakertagama : Tanjungpura dan Bakulapura

Dari hasil penyelidikannya, sultan mendapatkan itu dari hasil penemuan seorang penduduk dari bukit Berubus di hulu Sungai Mahakam (kini desa Muara Kaman).

Jasa Herman von de Wall

Dari hasil penelusuran ke Bukit Berubus ditemukan juga ditemukan Prasasti Yupa, tetapi penemuan itu sendiri tidak pernah menarik perhatian publik meski Herman sendiri mendapat penghargaan dari pemerintah Hindia-Belanda karena catatan perajlannya ke pedalaman Kalimantan dan mampu menjalin hubungan baik dengan penguasa lokal. 

Sebenarnya Herman menuliskan juga tentang laporan penemuan pilar batu bertulis kepada pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Herman sendiri bertugas sebagai pejabat sipil di Kalimantan selama hampir 20 tahun sejak tahun 1834 sebelum pindah ke Sumatera dimana dia menulis Kamus Bahasa Belanda-Melayu dan Melayu-Belanda.

Baca Kalimantan, Sapi Perah Republik yang Terlupakan? (In-depth reporting)

Baru pada tahun pada tanggal 3 juni 1879 dalam pertemuan ilmiah yang diselenggarakan oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Bataviaasch Genootschap - Masyarakat Seni dan Sains Batavia), Karl Frederik Holle melaporkan bahwa di suatu tempat di wilayah kesultanan Kutai ditemukan pilar-pilar batu bertulis.

Pernyataan Holle menggemparkan dunia sains Hindia-Belanda karena selama ini tidak pernah ditemukan prasasti dari batu di Kalimantan. Latar belakang Holle sendiri yang hanya seorang budayawan bukan seorang ilmuan sehingga pernyataannya diragukan.

Bataviaasch Genootschap menyurati Asisten Residen Kutai untuk mengkonfirmasi keberadaan pilar-pilar batu bertulis tersebut. Asisten Residen Kutai membenarkan keberadaan pilar batu bertulis tersebut melalui surat balasan bertanggal 9 september 1879.

Kisah Batu Yupa

Rasa penasaran dari para ilmuwan Hindia-Belanda untuk meneliti apa isi dari Yupa Prasasti tersebut. Akhirnya sultan Kutai menghibahkan 4 Yupa tersebut kepada Bataviaasch Genootschap. Yupa itu tiba di Batavia sebelum akhir tahun 1880 dan disimpan di Museum Batavia (kini Museum nasional).

Menurut J. Ph. Vogel, ahli bahasa Sansekerta, Prasasti-prasasti ini menggunakan aksara Pallawa Tua dengan bahasa Sansekerta yang banyak digunakan sekitar abad ke-4 dan ke-5 Masehi. Aksara Pallawa ini kemudian berkembang menjadi menjadi aksara Pallawa muda yang digunakan dalam prasasti di Sumatera.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (1) | Tanah dan Belahan

Isi Prasasti Muara Kaman menceritakan tentang kehebatan raja Mulawarman yang mempunyai Kakek bernama Kudunga dan ayah bernama Asvawarman. Nama kerajaannya dan tahun tulisan prasasati hingga kini tidak diketahui. Jika nama yang dipakai adalah Kutai, ini karena berdasarkan tempat prsasasti ini ditemukan.

Kudunga yang disebut dalam Yupa Prasasti Muara Kaman adalah sebagai pendiri kerajaan dipastikan sebagai orang asli Pulau Kalimantan. Dapat dipastikan dia adalah Dayak. Karena penduduk asli Kalimantan adalah Dayak. Kudunga selain namanya yang bercorak lokal, Muara Kaman sendiri letaknya di pedalaman sebagaimana Suku Dayak tinggal bukan di tepi pantai. Kerajaan itu juga tidak pernah menjadi kerajaan maritim meski Muara Kaman pernah berjaya sebagai kota dagang.

Muara Kaman sebagai kota dagang dituliskan demikian “Bukti temuan itu (kapal Tiongkok) bisa dikatakan bahwa Muarakaman pernah menjadi tempat perdagangan yang disinggahi oleh kapal-kapal laut,” terang Kern dalam “Over de Sanskrit-opsrichften van (Muara Kaman) in Kutei (Borneo) (± 400 A. D)” yang dimuat dalam Verspreide Geschriften VII (1917).” [i]

Menurut Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Dalam Sejarah Nasional Indonesia II (1993). “nama Kudunga/Kudungga adalah nama yang mirip Kundungga juga terdapat di kalangan masyarakat Dayak Benuaq di pedalaman Kalimantan Timur, seperti Kudung Kudungan. Dalam folklor Melayu juga terdapat nama Kundang untuk menyebut tokoh cerita Malin Kundang.” Sejarahwan Hindia Belanda, Vogel dan Veth juga setuju jika Kudungga adalah orang asli Indonesia.

Para ahli sepakat bahwa penulis prasasti Muara Kaman adalah para Brahmana yang menjadi pemimpin agama Hindu pada masa itu. Tetapi masih menjadi perdebatan apakah para Brahmana ini adalah orang asli pulau Kalimantan atau pendatang dari India.

Prasasti Muara Kaman adalah sumber tulisan tertua di Indonesia. Dari sinilah berkembang literasi Indonesia yang melahirkan turunan beragam tulisan, baik itu Melayu Kuno, Jawa Kuno dan lain sebagainya. Kalimantanlah tempat lahirnya literasi Indonesia meski sempat hilang selama seribu tahun lebih.

 -- Anton Surya

LihatTutupKomentar