Sensus Divinitas dalam Kehidupan Spiritual Manusia Dayak

Dayak, Mircea Eliade, tremendum et fascinans, Calvin, sensus, Divinitas,Rudolf Otto, belian, kapuas, tiwah, Dayak Research Center, DRC

 

Dalam kehidupan masyarakat Dayak, roh leluhur (antu atau penyang) dianggap sebagai bagian dari kehidupan
Manifestasi utama dari sensus divinitas dalam kehidupan masyarakat Dayak adalah keyakinan bahwa Yang Ilahi hadir dalam elemen-elemen alam. Ilustrasi by AI.

JAKARTA - dayaktoday.comKonsep sensus divinitas, sebagaimana dikemukakan oleh John Calvin (1559) dalam Institutes of the Christian Religion, merujuk pada kesadaran bawaan manusia akan keberadaan Tuhan atau kekuatan ilahi. 

Konsep Calvin ini juga sejalan dengan gagasan tremendum et fascinans dari Rudolf Otto (1917) dalam Das Heilige, yang menggambarkan pengalaman religius sebagai sesuatu yang menggetarkan sekaligus mempesona. 

Dalam konteks masyarakat Dayak di Borneo, sensus divinitas menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan spiritual, yang diwujudkan dalam kepercayaan terhadap kekuatan alam, roh leluhur, dan praktik adat.

Baca Batas-Batas Sinkretisme dan Inkulturasi dalam Teologi Kontekstual: Kajian dalam Konteks Perguruan Tinggi Kristen di Kalimantan dan Gereja Katolik

Artikel ini akan membahas bagaimana sensus divinitas membentuk sistem kepercayaan dan praktik spiritual masyarakat Dayak, bagaimana mereka memahami hubungan antara manusia dan dunia spiritual, serta bagaimana fenomena ini bertahan di tengah modernisasi dan globalisasi.

Kepercayaan Dayak terhadap Yang Ilahi dalam Alam

Salah satu manifestasi utama dari sensus divinitas dalam kehidupan masyarakat Dayak adalah keyakinan bahwa Yang Ilahi hadir dalam elemen-elemen alam, seperti hutan, sungai, gunung, dan bahkan dalam binatang tertentu. Kepercayaan ini berakar dalam animisme dan dinamisme, yang menganggap bahwa semua benda memiliki roh (antu atau jakin dalam beberapa bahasa Dayak).

Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah: Ini Bukti Ilmiah Uji-karbon 40.000 Tahun Silam

Misalnya, sungai Kapuas dan Mahakam tidak hanya dipandang sebagai sumber kehidupan dalam arti fisik tetapi juga sebagai jalur komunikasi dengan dunia spiritual. Pohon-pohon besar seperti kayu belian dianggap memiliki kekuatan sakral dan sering dijadikan tempat pemujaan. Konsep ini mirip dengan pemikiran Otto mengenai mysterium tremendum, di mana manusia merasa kecil di hadapan kekuatan yang melampaui dirinya tetapi juga tertarik untuk mendekatinya.

Ritual dan Tradisi sebagai Wujud Sensus Divinitas

Masyarakat Dayak memiliki berbagai ritual yang merefleksikan sensus divinitas, termasuk upacara Tiwah (Dayak Ngaju), Gawai Dayak (Dayak Iban), dan Babantan (Dayak Bidayuh). 

Ritual-ritual ini tidak hanya berfungsi sebagai penghormatan kepada roh leluhur tetapi juga sebagai bentuk komunikasi dengan dunia spiritual untuk mendapatkan perlindungan dan kesejahteraan.

  • Tiwah adalah upacara pemindahan tulang belulang leluhur ke tempat yang lebih tinggi sebagai tanda penghormatan dan keyakinan bahwa arwah leluhur akan mendapatkan tempat terbaik di alam baka.

  • Gawai Dayak adalah festival panen yang mengekspresikan rasa syukur kepada Petara (Tuhan) atas hasil bumi, mencerminkan kesadaran spiritual bahwa alam dan manusia memiliki hubungan yang harmonis.

  • Babantan adalah ritual penyucian yang dilakukan untuk mengusir roh jahat dan memastikan keseimbangan spiritual dalam kehidupan masyarakat.

Ritual-ritual ini menunjukkan bagaimana sensus divinitas berperan dalam membangun tatanan sosial dan spiritual dalam komunitas Dayak.

Relasi Manusia Dayak dengan Roh Leluhur dan Makhluk Gaib

Dalam kehidupan masyarakat Dayak, roh leluhur (antu atau penyang) dianggap sebagai bagian dari kehidupan yang terus hadir dan mempengaruhi keseharian mereka. 

Kepercayaan ini serupa dengan konsep yang dikemukakan Mircea Eliade (1957) dalam The Sacred and The Profane, di mana masyarakat tradisional melihat dunia ini sebagai lapisan-lapisan realitas yang saling berhubungan.

Baca FILSAFAT DAYAK Usaha Rasional Memahami Penduduk Asli, Alam Semesta, dan Budaya Borneo Masa ke Masa

Manusia Dayak percaya bahwa roh leluhur tidak hanya menjadi penjaga tetapi juga dapat memberikan petunjuk dalam bentuk mimpi atau tanda-tanda alam. Fenomena ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, di mana seseorang bisa saja mendapat larangan dari mimpi leluhur sebelum melakukan perjalanan jauh atau berburu di hutan.

Selain itu, kepercayaan terhadap makhluk gaib seperti Hantu Bungkus (penjaga hutan) dan Jenglot (makhluk kecil berilmu tinggi) memperkaya dinamika spiritual masyarakat Dayak, yang pada dasarnya merupakan perwujudan dari kesadaran akan keberadaan kekuatan yang lebih besar di luar diri manusia.

Sensus Divinitas dan Ketahanan Budaya di Era Modern

Dalam era modern, kepercayaan tradisional masyarakat Dayak menghadapi tantangan besar, terutama akibat globalisasi, migrasi penduduk, serta pengaruh agama Abrahamik seperti Kristen dan Islam. Namun, bukti menunjukkan bahwa sensus divinitas dalam budaya Dayak tetap bertahan dengan berbagai cara, baik melalui revitalisasi adat, pendidikan budaya, maupun gerakan intelektual yang berusaha menggali kembali kearifan lokal.

Baca Rumah Upacara Adat di Tumbang Manggu sebagai Simbol dan Makna Budaya Dayak

Misalnya, banyak generasi muda Dayak yang kini kembali belajar tentang sistem pengetahuan leluhur, termasuk pengobatan tradisional yang masih bergantung pada konsep kekuatan spiritual dalam tumbuhan obat. Lembaga Riset seperti Dayak Research Center (DRC) juga berperan dalam mendokumentasikan dan membangkitkan kembali narasi lokal tentang spiritualitas Dayak.

Selain itu, praktik ritual dan upacara adat masih dijalankan oleh komunitas Dayak sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan keseimbangan dengan alam. Ritual seperti Gawai Dayak tidak hanya menjadi ajang perayaan panen, tetapi juga sarana untuk memperkuat identitas budaya serta menegaskan hubungan manusia dengan kekuatan spiritual yang dipercaya hadir dalam lingkungan sekitar. Keberlanjutan tradisi ini menunjukkan bahwa meskipun mengalami perubahan, sensus divinitas tetap menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Dayak.

Di sisi lain, adaptasi terhadap perkembangan zaman juga terjadi dalam cara masyarakat Dayak memandang dan mengekspresikan keyakinan mereka. Misalnya, banyak komunitas Dayak yang mulai mengintegrasikan teknologi dalam mendokumentasikan warisan budaya mereka. Film dokumenter, publikasi daring, hingga media sosial digunakan sebagai alat untuk menyebarluaskan pemahaman tentang spiritualitas dan adat istiadat Dayak, sehingga dapat menjangkau generasi muda yang hidup di era digital.

Dengan demikian, Sensus divinitas dalam budaya Dayak tidak serta-merta hilang akibat modernisasi, tetapi justru berkembang dan menyesuaikan diri dengan konteks zaman. Ketahanan budaya ini menjadi bukti bahwa meskipun dunia terus berubah, nilai-nilai yang diwariskan leluhur tetap memiliki tempat dalam kehidupan masyarakat Dayak saat ini. Ke depan, pelestarian budaya dan spiritualitas ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak agar tetap lestari dan relevan bagi generasi mendatang.

Konsep sensus divinitas dalam masyarakat Dayak

Konsep sensus divinitas dalam masyarakat Dayak merupakan fenomena yang nyata dan membentuk dasar sistem kepercayaan mereka terhadap alam, roh leluhur, dan makhluk spiritual lainnya. Kepercayaan Dayak ini tercermin dalam cara mereka memahami dunia, menjalankan ritual, serta menjaga keseimbangan spiritual dalam kehidupan sehari-hari.

Baca Dayak: Sukubangsa Kreatif dan Adaptif Sejak Zaman Pleistosen hingga Era Digital

Meskipun modernisasi membawa tantangan besar, masyarakat Dayak terus mempertahankan tradisi mereka melalui berbagai upaya, termasuk pendidikan budaya dan gerakan intelektual. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran akan Yang Ilahi tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas mereka.

Penulis: Masri Sareb Putra, M.A.


Daftar Pustaka

  • Calvin, J. (1559). Institutes of the Christian Religion. Translated by H. Beveridge, 1845. Peabody: Hendrickson Publishers.

  • Eliade, M. (1957). The Sacred and The Profane: The Nature of Religion. New York: Harcourt, Brace & World.

  • Otto, R. (1917). Das Heilige: Über das Irrationale in der Idee des Göttlichen und sein Verhältnis zum Rationalen. Munich: C.H. Beck.

  • Sellato, B. (2002). Nomads of the Borneo Rainforest: The Economics, Politics, and Ideology of Settling Down. Honolulu: University of Hawaii Press.

  • Tsing, A.L. (2005). Friction: An Ethnography of Global Connection. Princeton: Princeton University Press.

LihatTutupKomentar