Batas-Batas Sinkretisme dan Inkulturasi dalam Teologi Kontekstual: Kajian dalam Konteks Perguruan Tinggi Kristen di Kalimantan dan Gereja Katolik

Diskusi teologi kontekstual di Kalimantan, dengan suasana harmonis antara para teolog dan pemimpin adat Dayak di bawah rumah panjang tradisional. Ilustrasi: by AI.
JAKARTA - DAYAK TODAY : Teologi kontekstual merupakan pendekatan yang semakin berkembang dalam dunia akademik Kristen, terutama di perguruan tinggi teologi di Kalimantan serta dalam Gereja Katolik yang sejak Konsili Vatikan II menekankan pentingnya inkulturasi iman.
Namun, dalam praktiknya, batas antara inkulturasi dan sinkretisme sering kali menjadi perdebatan.
Artikel ini akan membahas perbedaan antara inkulturasi dan sinkretisme, relevansinya dalam Teologi Kontekstual, serta bagaimana pendekatan ini diterapkan dalam lingkungan akademik Kristen dan Gereja Katolik di Kalimantan.
Baca Rumah Upacara Adat di Tumbang Manggu sebagai Simbol dan Makna Budaya Dayak
Juga artikel ini akan mengeksplorasi tantangan dan peluang dalam proses inkulturasi, serta bagaimana akademisi dan pemimpin gereja dapat menghindari jebakan sinkretisme tanpa kehilangan daya kontekstualisasi iman.
Inkulturasi: Kekayaan Teologis
Inkulturasi adalah proses di mana iman Kristen meresapi budaya setempat tanpa kehilangan inti ajaran Kristus. Gereja Katolik telah menegaskan bahwa inkulturasi adalah sebuah keharusan dalam mewartakan Injil. Konsili Vatikan II melalui Ad Gentes menegaskan bahwa "Gereja harus berakar dalam setiap kebudayaan, tanpa kehilangan identitasnya sebagai tubuh mistik Kristus" (AG, 22). Dalam Lumen Gentium, Gereja juga menegaskan bahwa "keanekaragaman budaya dalam Gereja merupakan suatu kekayaan yang harus dihargai dan bukan ancaman" (LG, 13).
Inkulturasi dalam praktiknya terlihat dalam banyak aspek liturgi, seni, dan musik Gereja. Di Kalimantan, misalnya, Gereja Katolik telah mengadopsi beberapa unsur budaya Dayak dalam perayaan Ekaristi, seperti penggunaan sape' (alat musik tradisional Dayak) dan tarian khas dalam ibadat. Inkulturasi ini bukan hanya ekspresi budaya tetapi juga menjadi sarana untuk menyampaikan Injil dalam cara yang dapat dipahami oleh masyarakat setempat. Dengan demikian, proses inkulturasi berperan dalam memperkuat iman komunitas tanpa harus meniadakan akar budaya mereka.
Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah: Ini Bukti Ilmiah Uji-karbon 40.000 Tahun Silam
Lebih jauh, inkulturasi juga dapat diterapkan dalam pengajaran teologi di seminari dan sekolah tinggi teologi. Pendekatan ini memungkinkan para calon imam dan pendeta untuk memahami bagaimana mereka dapat mengomunikasikan Injil dalam konteks budaya tertentu, tanpa menciptakan kesan bahwa Kekristenan adalah agama asing. Dalam seminar-seminar teologi di Kalimantan, misalnya, mahasiswa diajak untuk memahami nilai-nilai kearifan lokal dan menghubungkannya dengan doktrin iman Kristen. Pendekatan ini menciptakan keterlibatan yang lebih dalam antara ajaran Gereja dan realitas sosial-budaya masyarakat setempat.
Beberapa contoh keberhasilan inkulturasi di Kalimantan juga dapat dilihat dalam berbagai ritus gerejawi yang telah mengakomodasi elemen budaya Dayak, seperti penggunaan bahasa daerah dalam liturgi, prosesi misa dengan pakaian adat, dan penggabungan unsur-unsur seni tradisional dalam peribadatan. Dengan cara ini, Gereja menunjukkan bahwa iman Kristen bukan hanya dapat diterima tetapi juga dapat tumbuh subur dalam konteks budaya lokal.
Sinkretisme: Ketika Iman Tercampur dengan Keyakinan Lain
Kata "sinkretisme" berasal dari bahasa Yunani "synkretismos" (συγκρητισμός). Istilah ini terbentuk dari dua kata utama:
- "syn" (σύν) yang berarti "bersama" atau "dengan",
- "Kretismos" (Κρητισμός) yang merujuk pada kebiasaan orang Kreta (penduduk Pulau Kreta).
Dalam konteks aslinya, "synkretismos" mengacu pada kebiasaan suku-suku di Pulau Kreta yang meskipun sering berseteru, mereka akan bersatu dalam menghadapi musuh bersama.
Baca FILSAFAT DAYAK Usaha Rasional Memahami Penduduk Asli, Alam Semesta, dan Budaya Borneo Masa ke Masa
Namun, dalam perkembangannya, kata ini mengalami pergeseran makna dalam ranah filsafat, teologi, dan ilmu sosial. Dalam pemakaian modern, sinkretisme merujuk pada pencampuran atau penggabungan elemen-elemen berbeda dari berbagai sistem kepercayaan, tradisi agama, atau budaya menjadi satu entitas baru yang sering kali kehilangan kejelasan identitas aslinya.
Dalam teologi, sinkretisme sering dianggap sebagai pencampuran yang tidak terkontrol antara ajaran Kristen dengan unsur-unsur kepercayaan lain, yang dapat mengaburkan atau bahkan merusak substansi iman Kristen itu sendiri.
Sinkretisme berbeda dengan inkulturasi karena mencampurkan ajaran Kristen dengan unsur-unsur agama lain sedemikian rupa hingga mengaburkan inti iman Kristen. Sinkretisme terjadi ketika elemen-elemen teologi dan praksis dari kepercayaan non-Kristen diadopsi tanpa melalui penilaian kritis teologis.
Misalnya, di beberapa komunitas Kristen di Kalimantan, ada praktik di mana doa Kristen dicampur dengan ritual adat yang berasal dari kepercayaan animisme, seperti meminta izin kepada roh nenek moyang sebelum ibadah dimulai. Praktik semacam ini berpotensi menggeser makna utama iman Kristen, yang mengakui hanya Allah sebagai pusat ibadah.
Sinkretisme juga dapat muncul dalam bentuk penggabungan simbolisme yang bertentangan dengan ajaran iman Kristen. Sebagai contoh, ada kelompok tertentu yang mencoba mengharmonisasikan ajaran tentang keselamatan dalam Kekristenan dengan konsep reinkarnasi yang berasal dari tradisi kepercayaan lain. Hal ini jelas bertentangan dengan ajaran dasar iman Kristen yang menekankan keselamatan melalui Kristus dan kehidupan setelah kematian yang berbeda dari konsep reinkarnasi.
Baca Jejak Kerajan Dayak dan Pengakuan Kolonial pada Raja Hulu Aik, Awat Tjenggoeng Singa Djaja
Dalam konteks ini, para akademisi di perguruan tinggi Kristen di Kalimantan harus melakukan pendekatan yang hati-hati dalam Teologi Kontekstual. Mereka perlu membedakan antara elemen budaya yang dapat diintegrasikan ke dalam iman Kristen dengan elemen yang dapat menyesatkan atau mengaburkan kebenaran iman. Oleh karena itu, evaluasi teologis yang mendalam harus dilakukan sebelum suatu elemen budaya diadopsi ke dalam praktik ibadah Kristen.
Teologi Kontekstual dalam Pendidikan Teologi di Kalimantan
Di banyak perguruan tinggi Kristen di Kalimantan, Teologi Kontekstual menjadi mata kuliah wajib untuk membantu mahasiswa memahami bagaimana iman dapat hidup dalam budaya setempat. Pendekatan ini berupaya membangun pemahaman bahwa Kekristenan bukanlah agama yang asing, tetapi mampu berakar dalam budaya lokal.
Misalnya, penelitian tentang bagaimana tradisi ngayau (headhunter/ pencari kepala) di masa lalu diinterpretasikan dalam terang Injil telah menghasilkan banyak refleksi teologis mengenai bagaimana masyarakat Dayak dapat bertransisi dari budaya perang ke budaya damai tanpa kehilangan identitas mereka sebagai masyarakat yang kuat dan berkarakter. Pemimpin Gereja setempat juga berperan penting dalam mendidik jemaat agar memahami bagaimana nilai-nilai Kristen dapat memperkaya budaya mereka tanpa harus melebur ke dalam unsur-unsur kepercayaan lama yang bertentangan dengan iman Kristen.
Tantangan utama dalam implementasi teologi kontekstual adalah memastikan bahwa dalam prosesnya tidak terjadi pencampuran yang merusak substansi iman. Kontekstualisasi teologi memang bertujuan untuk membuat ajaran Kristen dapat dipahami dan dihayati dalam budaya setempat, tetapi tanpa kehilangan esensi ajaran yang telah diwariskan secara historis.
Dalam konteks Kalimantan, di mana masyarakat memiliki kearifan lokal yang kaya dan tradisi spiritual yang kuat, upaya ini memerlukan pendekatan yang hati-hati agar tidak terjadi sinkretisme yang mengaburkan kebenaran iman. Perbedaan antara inkulturasi dan sinkretisme harus dipahami dengan baik agar pengintegrasian nilai budaya lokal tidak menggeser inti teologi yang alkitabiah.
Baca Menjadi Dayak di Era Modern
Pengajaran teologi di Kalimantan hendaknya tetap berpegang pada prinsip dasar iman Kristen sekaligus terbuka terhadap dialog budaya yang membangun. Sikap apresiatif terhadap budaya lokal tidak berarti mengabaikan standar ortodoksi iman, melainkan mencari titik temu yang memungkinkan pemahaman teologis yang lebih kontekstual.
Salah satu cara efektif untuk mencapai keseimbangan ini adalah melalui pendekatan dialogis yang melibatkan para pemimpin adat, rohaniwan, dan akademisi teologi. Dengan demikian, pemahaman tentang Injil tidak hanya diterima secara intelektual, tetapi juga berakar dalam kehidupan masyarakat tanpa menghilangkan nilai-nilai tradisional yang selaras dengan ajaran Kristen.
Implementasi teologi kontekstual di Kalimantan juga membutuhkan strategi pendidikan yang tepat. Kurikulum teologi di institusi pendidikan Kristen harus mengakomodasi studi tentang budaya dan spiritualitas lokal, sehingga para calon pemimpin Gereja dapat memahami konteks sosial dan historis masyarakat yang mereka layani. Pendekatan ini tidak hanya memperkuat relevansi ajaran Kristen, tetapi juga membangun jembatan pemahaman antara iman dan budaya.
Dengan demikian, teologi kontekstual dapat menjadi alat untuk memperkaya kehidupan iman jemaat, tanpa kehilangan otentisitas ajaran Kristen yang menjadi dasar keselamatan.
Inkulturasi dan sinkretisme: berbeda
Inkulturasi dan sinkretisme adalah dua hal yang berbeda dalam Teologi Kontekstual. Inkulturasi merupakan proses yang sah dan didukung oleh Gereja untuk menjadikan iman lebih relevan dalam budaya setempat, sementara sinkretisme berisiko mencampuradukkan iman Kristen dengan elemen-elemen kepercayaan lain yang dapat merusak inti iman tersebut.
Baca Long Midang dan Misteri Era Megalitikum
Dalam konteks Kalimantan, baik dalam lingkungan akademik maupun Gereja Katolik, penting untuk terus mengembangkan Teologi Kontekstual yang menghormati budaya tanpa kehilangan keutuhan iman Kristen.
Penulis: Masri Sareb Putra, M.A.
Daftar Pustaka
- Amaladoss, M. (1998) Beyond inculturation: Can the many be one? New Delhi: ISPCK.
- Bevans, S. (1992) Models of contextual theology. Maryknoll, NY: Orbis Books.
- Bietenhard, H. (1976) ‘Syncretism’, in Brown, C. (ed.) The new international dictionary of New Testament theology. Vol. 1. Grand Rapids, MI: Zondervan, pp. 161-163.
- Droogers, A. (1989) ‘Syncretism: The problem of definition, the definition of the problem’, in Gort, J. et al. (eds.) Dialogue and syncretism: An interdisciplinary approach. Grand Rapids, MI: Eerdmans, pp. 7-25.
- Konsili Vatikan II (1964) Lumen Gentium. Dokumen Konsili Vatikan II.
- Konsili Vatikan II (1965) Ad Gentes. Dokumen Konsili Vatikan II.
- Schreiter, R. (1985) Constructing local theologies. Maryknoll, NY: Orbis Books.
- Smith, M. S. (2010) Religion and cultural syncretism in historical perspective. New York: Oxford University Press.