Setting Kampus

novel, setting, kampus, need, pembaca, wanita, Indonesia, buku, ibu rumah tangga, siswi, SMA, dulce et utile

ovel dengan setting kampus: laku sebab memenuhi need pembaca.
Novel dengan setting kampus: laku sebab memenuhi need pembaca. AI.


Oleh R. Masri Sareb Putra

🌍 DAYAK TODAY:  | JAKARTA : 

DAWALI oleh Marga T. melalui Karmila dan kemudian Ashadi Siregar dengan Cintaku di Kampus Biru (juga sejumlah karya Yudhistira ANM Massardi dan Eddy D. Iskandar) yang mengambil setting kampus, maka karuan saja muncul semacam wabah di batas tahun 1970-an akan dunia kampus.

baca Happy Ending, Ciri Novel Pop Indonesia

Kendati novel karya pria seperti Gita Cinta dari SMA-nya Eddy D. Iskandar digemari oleh pecinta novel populer, akan tetapi ternyata novel karangan wanita saja benar-benar dapat menembus pangsa pasar terus saja meluas. Bersamaan dengan angkatan mereka, muncul angkatan wanita seperti Marianne Katopo dan Leila S. Chudori.

Bagaimanakah tema novel populer umumnya?

Karena umumnya novel populer tersebut ditulis dengan latar belakang rumah tangga dan keluarga, sudah dapat diduga bahwa isinya pun tidak jauh dari aspek kehidupan keluarga. Maka dengan demikian, tema keluarga lebih dominan dibandingkan tema-tema lainnya yang sering dimunculkan.

Berkaitan dengan itu, maka akhirnya memang bisa untuk dimengerti jika protagonis wanita harus saja terpancar dalam novel populer kita. Gambarannya semacam itu saja, mengingat pengarang umumnya wanita. Sehingga dalam derajat tertentu kita bisa menyebut, bahwa novel karangan wanita cenderung melukiskan fakta dari data apa adanya, lebih jujur, lagi pula tanpa maksud untuk menggurui pembaca.

Oleh karena itu, bisa dimengerti jika dalam menghidang-kan sebuah cerita faktor pribadi penulisnya ikut menentukan: cara, alur, warna, dan cara ia menafsirkan kehidupan. Dunia pengarang kemudian memang tidak bisa untuk ditebus begitu saja. Marga T. dan Mira W. (yang dokter) misalnya, di dalam pemilihan tema dan suasana cerita tiwa, tidak jauh dari rumah sakit, dokter, pasien atau aroma psikologi seperti V. Lestari, dan S. Mara GJ lebih suka dengan kasus sekeluarga yang mengalami psikologi yang bete atau stress saja.

baca FILSAFAT DAYAK Usaha Rasional

Dan tentu saja, ada perkecualian tema tertentu, karya La Rose misalnya, cenderung mengarah ke problem seksual. Beberapa novelnya seperti Ditelan Kenyataan, Bening-bening Kuat, dan Wajah-wajah Cinta membenarkannya. Bahkan dalam novel yang disebutkan terakhir, Si Bunga Mawar ini melakukan deviasi seksual. Tema yang jarang disentuh oleh pengarang lain justru bagi La Rose bisa menjadi karangan yang memikat.

Memikat, jika membaca karya La Rose jangan hanya secara literal tetapi baca dan tangkaplah ide dan lukisannya secara keseluruhan.

Barangkali ciri La Rose merupakan “penyimpangan”, tetapi bagaimanapun novel garapannya, cinta tetap menjadi makanan empuk bagi penulis wanita.

Dan memang dengan cinta inilah mereka dapat menjual karyanya sampai dengan ribuan eksemplar.

Para pengarang novel pos tidak harus mengeluarkan rancangan novel, namun bisa dipastikan tetap eksis dan makin hari makin mengkilap menggoreskan pena akhirnya menghias rak-rak dan toko-toko buku di Tanah Abang. Sementara, dua novelis wanita yang terlanjur sudah mapan tetap saja menjadi besar di mata sebagian besar pembacanya (karena dikepung kekaguman).

Marga T. dan Mira W. hingga saat ini terus saja meluncurkan karya-karya terbarunya, meski belakangannya ini ada kecenderungan mereka semakin ke bank, baik dalam ide cerita maupun pilihan tema. Akan tetapi, patut untuk mendapatkan acungan jempol, bahwa mereka tetap produktif menulis. Ini suatu tantangan bagi profesi seperti yang mereka sandang, karena memang, tidak semua pengarang bisa besar.

Begitu pula V. Lestari yang tetap konsisten dalam pilihan temanya yang khas, “berbau” psikologis, dan penuh dengan misteri bagaimana latar belakang kehidupan dan kehidupan manusia dapat memiliki dampak dalam novel-novel pacar melulu Yang Muda dan Mencinta, Kekasih, Senandung Tengah Malam, Kemudian Nina, dan Sebuah Senja.

Tapi, tidak pernah kehabisan ide cerita, terlihat dari karya seperti Pondok Cinta di Atas Angin, Semburat Merah, Serpih Mutiara Retak, Merah Hitam Catatan Adelia, dan Jangan Renggut Mahkota Cintaku.

Target Pembaca

Di tengah-tengah keluhan bahwa pemasaran karya sastra (serius) semakin memprihatinkan, keadaan terbaik terjadi pada novel populer. Pangsa pasar terus saja meluas. Ini terbukti dengan semakin “membengkak”-nya jumlah terbitan buku novel yang diterbitkan setiap tahun.

Tetapi siapakah sesungguhnya pembaca novel populer?

Catatan Jacob Sumardjo (Sastra Populer dan Pengajaran Sastra: Budaya Sastra), barangkali sedikit menjelaskan masalah itu.

Menurut kritikus sastra Indonesia itu, memangnya novel populer lebih banyak dibaca oleh kaum ibu rumah tangga yang punya waktu luang, mahasiswa yang masih kuliah, dan siswi-siswi SMA yang baru giat-giatnya membaca.

Merekalah pangsa pasar novel populer, karena tahu bahwa membaca karya mereka kadang sesama wanita maka bisa dimengerti jika novelis kita membidikkan tema cerita dan cenderung untuk mengangkat dunia mereka juga.

Perihal sukses dan sebab-musababnya tetap mendominasi sampai saat ini, tampaknya kuncinya masih bermuara pada kata-kata Vossius, penyair kenamaan zaman dulu.

Kata Vossius, Poetae autem mo-rum doctores populi adalah tetap kuat.

Dan memang novelis wanita kita adalah tetap moral, tetap kuat.

Bukti bahwa karya mereka adalah menjadi milik masyarakat.

Bagi mereka membaca novel bukan hanya menghabiskan waktu luang, tetapi dengan membaca bisa mereka memperoleh hiburan.

Di sana terlihat rumus bahwa karya sastra dulce et utile (menghibur dan berguna), baru akan mendapatkan tempat dan menarik minat pembaca.


Kandang Ayam, Bojong Gede, Januari 1992.

LihatTutupKomentar