Happy Ending, Ciri Novel Pop Indonesia
Tulisan lama yang tetap "menyala". Dokpri. |
Oleh R. Masri Sareb Putra
🌍 DAYAK TODAY: | JAKARTA : Sangat menarik membaca tulisan Dra. Sugihastuti dalam mingguan ini "Pengaruh Gender dalam Sastra" (Mutiara, Minggu 11 Januari 1992). Dosen Fakultas Sastra UGM itu menulis demikian didasarkan atas keragu-raguannya akan pendapat yang pernah dilontarkan oleh kritikus sastra, Jacob Sumardjo.
Konon menurut hasil penelitian Jacob, pengarang wanita Indonesia cenderung menggambarkan kehidupan rumah tangga yang damai, suatu kehidupan yang lembut, asri, bahkan nyaris tanpa masalah.
Sebagian besar yang dikatakan Jacob Sumardjo tidaklah salah. Namun tidak juga bisa dikatakan benar. Paling tidak jika kita melihat perkembangan novel baru mencerminkan hal itu dengan munculnya majalah wanita dan remaja seperti Femina, Gadis, dan Sarinah. Majalah wanita dan remaja itu kemudian menjadi sangat dominan, bukan saja karena sukses saja "mencetak" sejumlah besar pengarang baru, terutama pengarang wanita, tapi juga munculnya mereka secara besar-besaran dalam dunia sastra. Ini menandai awal perkembangan novel pop Indonesia ke arah yang lebih luas.
Dikatakan trend baru, karena umumnya novel-novel yang terbit tahun 1970-an banyak diminati oleh wanita dan remaja wanita. Dengan demikian, dalam novel-novel yang terbit pada dasawarsa tersebut banyak tema keluarga yang diangkat.
Marga T. Sebagai Tonggak
Kalau ditarik ke belakang, maka antara tahun 1960-1970-an terbit sekitar 70 novel. Dan sastra sebelumnya (1960-1960) bahkan diterbitkan hanya 25 novel, sedangkan tahun 1930-1940 diterbitkan 28 novel. Dan sebagai gambaran peningkatan jumlah yang luar biasa itu, misalnya, antara tahun 1981-1986, penerbit P.T. Gramedia telah menerbitkan 90 judul novel, dan tahun 1973-1970 diterbitkan 30 judul. Gaya Favorit Press, kelompok penerbit Femina dan Gadis pun ikut menerbitkan novel-novel populer.
Hal ini semakin terlihat ketika Marga T. menerbitkan karyanya berjudul Karmila di harian Kompas. Begitu cerber itu tamat, konon berdunyun-dunyun surat pembaca meminta agar Karmila segera dibukukan. Ini memang bisa dipercaya, karena sampai kini novel itu telah dicetak ulang sampai 17 kali dengan oplah rata-rata 70.000 eksemplar.
Seiring dengan itu, banyak novel-novel lain yang diterbitkan. Novel karya Motinggo Busye, Abdullah Harahap atau Budi S. Nugroho semuanya sudah masuk dalam kancah pasar. Bahkan Siti Nurbaya yang ditulis Marah Rusli dan Salah Asuhan karya Abdoel Moeis pun diangkat kembali oleh penerbit.
Happy Ending yang Menarik Pembaca
Ciri khas novel-novel pop ini adalah happy ending yang selalu menjadi daya tarik utama. Nilai-nilai kehidupan yang ditawarkan dalam novel-novel pop lebih menekankan pada keharmonisan keluarga, berbeda dengan novel-novel serius yang lebih berani mengangkat realitas sosial secara keras.
Karena novel-novel pop sebelumnya ditandai dengan nilai tersendiri, sangat enggan dan kasar dalam melukiskan kehidupan seksual. Itulah sebabnya maka sampai hari ini banyak guru dan orang tua berpesan pada anak-anaknya, "Jangan membaca novel, nanti kamu jadi rusak!"
Berbeda halnya dengan novel-novel pop era Marga T., Mira W., V. Lestari, Nina Pane, S. Mara G.D., Laila Chudori, Maria Fransiska, Ike Soepomo, dan sebagainya yang lebih berani mengungkap sisi psikologis tokoh-tokohnya. Mereka lebih memperlihatkan kompleksitas kehidupan remaja dan wanita Indonesia dalam menghadapi tantangan zaman.
Maka, tidak mengherankan kalau masalah kantor pun sering menjadi tema utama dalam novel-novel pop era ini. Hubungan antara dunia kerja dan percintaan menjadi plot yang menarik bagi pembaca, terutama kaum wanita dan remaja perempuan yang mulai memasuki dunia kerja.
Dalam hal ini, realitas yang lebih lembut dalam novel-novel pop tetap menjadi daya tarik utama. *)