40 Tahun Berkanjang Meniti Jalan Pena: Refleksi 40 Tahun Sebagai Penulis Profesional

Dayak, literasi, penulis, profesional, Kompas, mangkok merah, tariu, ngayau, konflik, etnis, Kalimantan Barat,

Tulisan perdana dimuat Harian Kompas, 11 Maret 1984.
Tulisan perdana dimuat Harian Kompas, 11 Maret 1984.


🌍 DAYAK TODAY:  | JAKARTA : Empat puluh tahun lalu, pada 11 Maret 1984, adalah hari yang tak terlupakan dalam perjalanan hidup saya. 

Hari itu, untuk pertama kalinya, tulisan saya dimuat di harian terkemuka negeri ini, Kompas

Artikel perdana itu menandai langkah awal saya dalam dunia kepenulisan profesional, sebuah dunia yang sejak saat itu menjadi panggilan hidup, bukan sekadar profesi. 

Hari ini, saya mengenang dan merayakan empat dekade perjalanan ini dengan penuh rasa syukur dan refleksi.

Baca FILSAFAT DAYAK Usaha Rasional

Sejak artikel pertama itu, pena saya tidak pernah berhenti menari di atas kertas. 

Dari satu tulisan ke tulisan lainnya, dari satu koran ke majalah, hingga ke berbagai jurnal dan buku, saya terus menulis. 

Lebih dari 4.000 artikel telah saya hasilkan hingga akhirnya saya "gantung mesin tik" pada tahun 2005. Namun, meskipun mesin tik telah beristirahat, bara api semangat menulis tidak pernah padam. 

Saya memutuskan sejak tahun 2005 berhenti menulis artikel populer. Terlalu mudah. Tak ada tantangan. Duduk manis 30 menit depan mesin tik, sudah jadi tulisan. Hari ini dikirim, besoknya dimuat. Sudah ada di zona good. Saya wajib bergerak ke: better. Lalu ke peak: best!

Mengapa demikian? Kata big boss kami di Grup Kompas-Gramedia, biangnya para penulis andal, Jakob Oetama, "Buku adalah MAHKOTA-nya wartawan/ penulis.

Direnung-renung, ada benarnya kata-kata Mr. Jack! Dan saya terpengaruh oleh sentilan pak Jakob itu!

Waktu tahun 2025 itulah saya memutuskan: konsentrasi menulis buku. Buku saya waktu itu bilangannya baru sejumlah jari tangan sebelah. Saya bernazar: suatu waktu di kemudian hari, jumlah buku saya harus lebih banyak, minimal sama, dengan bilangan usia saya.

Tahun 2014 nazar itu tercapai tatkala usia saya masuk kepala 5!

Kini buku saya, solo, beberapa mendapat prize, jumlahnya baru: 202. Tertipis 96 halaman. Tergemuk : 645 halaman (novel sejarah Orang-orang Hakka Sanggau, Februari 2025).

Seiring zaman, seperti ditulis oleh Fidler dengan istilah "mediamorfosis", pena berganti dengan keyboard dan lembaran kertas kini menjelma layar digital, tetapi esensi dari menulis tetap sama: mengabadikan gagasan, merangkai kata menjadi makna, dan menyampaikan suara zaman kepada generasi berikutnya.

Selama empat dekade ini, dunia kepenulisan mengalami perubahan yang luar biasa. Teknologi membawa revolusi besar dalam cara kita menulis, menerbitkan, dan membaca. 

Jika dulu saya mengandalkan mesin tik dan tinta cetak, kini AI dan internet menjadi mitra bagi para penulis. 

Namun, satu hal yang tidak pernah berubah adalah pentingnya esensi sebuah tulisan: keberanian untuk menyuarakan kebenaran, kepekaan untuk menangkap dinamika masyarakat, dan ketekunan dalam merajut kata demi kata agar mampu menggugah pemikiran.

Sebagai seorang penulis yang lahir dari tradisi jurnalistik dan penelitian, saya menyaksikan bagaimana kata-kata dapat membentuk opini, menggerakkan perubahan, dan bahkan mengukir sejarah. 

Saya telah menuliskan banyak hal tentang budaya, sejarah, dan kehidupan masyarakat, terutama tentang Dayak dan Borneo yang menjadi bagian dari jati diri saya. 

Setiap artikel, setiap buku, adalah warisan yang saya tinggalkan untuk generasi mendatang agar mereka memahami dan menghargai akar budaya mereka.

Momen ini bukan hanya perayaan pribadi, tetapi juga refleksi bagi para penulis muda yang ingin meniti jalan yang sama. 

Menulis bukan sekadar pekerjaan, tetapi juga komitmen untuk terus belajar, mengamati, dan memahami dunia dengan lebih dalam. Jika saya boleh memberi satu pesan, maka itu adalah: teruslah menulis, sebab kata-kata memiliki kekuatan untuk mengubah dunia.

Baca Dayak Sukubangsa yang Jujur

Empat puluh tahun berlalu, tetapi perjalanan ini belum selesai. Pena masih menari, dan lembaran-lembaran baru siap untuk dituliskan. Terima kasih kepada semua yang telah menjadi bagian dari perjalanan ini—para editor, pembaca, kolega, dan tentu saja, keluarga yang selalu mendukung. Ini bukan akhir, melainkan awal dari babak baru dalam perjalanan panjang seorang penulis.

Baca Literasi Dayak di Plaza Indonesia

Dibaca kini, setelah malang melintang di kancah penulisan-pro, tulisan perdana saya itu "malu rasanya membacanya". Tapi itulah fakta. 

Kita memang wajib bergerak ke kurva: good, better, best!

Saya telah membaca buku Burke Hedges berjudul Read & Grow Rich: How the Hidden Power of Reading Can Make You Richer in All Areas of Your Life (1999). Tentang 10 Tulisan yang berpengaruh di dunia.

Dari situ saya jadi mafhum. Tulisan itu punya daya.

Itulah saripati: The POWER of WORDS!

Salam literasi!

-------------------

Tindakan Preventif untuk Mengurangi Penurunan Budaya Mangkok Merah

MEMANG hampir semua penulis yang mengupas tentang suku Daya cenderung melihat mereka dari luarnya saja, apalagi tulisan itu bersifat subjektif.

Saya yang adalah Daya asli, ingin sekali melengkapi tulisan mengenai suku ini yang pernah diturunkan di Kompas, Minggu 5 Februari 1984.

Tetap misteri

Tulisan Zainuddin Isman yang melukiskan “mangkok merah” ada satu hal yang meragukan. Dikatakan, kebudayaan mangkok merah menurut penuturan tokoh-tokoh masyarakat Daya diduga bermula saat laskar Majapahit masuk Kalimantan Barat, tahun 1294-1389 M. Menurut sejarah, di zaman kerajaan Majapahit hanya Hayam Wuruk yang pernah memperluas kerajaan dengan daerah yang menjadi wilayah Indonesia sekarang, plus Kalimantan Utara, Tumasik dan Semenanjung Melayu.

Kalau benar bahwa kebudayaan mangkok merah seperti di atas, kita tidak ragu-ragu lagi mengatakannya bahwa itu berlangsung tahun 1350-1389 sesuai dengan masa Hayam Wuruk. Kebudayaan mangkok merah belum tentu searah dengan sejarah suku Daya sendiri. Sebab jauh sebelum itu, di antara suku-suku Daya saling bermusuhan yang menurut istilah mereka ngayau. Saat itu, ukuran bagi seorang laki-laki gagah dan boleh kawin hanya kalau ia telah berhasil memenggal kepala musuh dan membawanya pulang, sebagai bukti kejantanananya.

Contohnya saja, suku Jangkang bermusuhan dengan suku Ribun.* Padahal, jaraknya hanya beberapa puluh kilometer saja, kini setelah Indonesia merdeka secara administratif keduanya termasuk Kabupaten Sanggau Pusat. Mungkinkah di kalangan mereka sendiri terwujud persetujuan mangkok merah? Kiranya ini pertanyaan yang menarik untuk dikaji sebab menurut saya tidak cukup masuk akal.

Tetapi bagaimana pun juga, asal-usul mangkok merah tetap masih perlu diteliti. Karenanya tidak mengherankan kalau tetap menjadi suatu misteri...

Bukan sekedar perkelahian massal

Secara implisit, Zainuddin Isman menyingkapkan sesuatu di balik penurunan mangkok merah berturut-turut tahun 1967, 1978 dan 1983. Paling tidak, bagi suku Daya yang di rantau orang mengetahui maknanya. Tentu saja tidak etis kalau saya sebutkan di sini.

Tepatnya kejadian apa, rupanya tidak semua orang Indonesia tahu. Apalagi media massa kita tidak memberitakannya secara eksplisit. Tempo misalnya, menyebut peristiwa tahun 1978 yang terjadi di daerah Samalantan (Pangkaleng), Kabupaten Sambas dengan “perkelahian massal” dan dikategorikan kepada perkara yang biasa. Menurut saya, bukan hanya perkelahian massal tetapi sungguh-sungguh merupakan suatu masalah yang serius dan yang sangat membutuhkan penyelesaian oleh pihak yang berwenang. Dan anehnya, malahan di luar negeri peristiwa itu diberitakan secara tuntas. Radio Australia dan Suara Malaysia misalnya, dengan amat tajam mengatakan, peristiwa tersebut adalah peristiwa mangkok merah. Justru hal semacam inilah yang kita khawatirkan, sebab bisa merusak citra kita di mata luar negeri.

Mengapa semakin padat?

Menurut hemat saya, kaum pendatanglah yang harus menyesuaikan diri dengan tata kehidupan penduduk asli. Ada istilah, kalau masuk kandang ayam, berkokoklah dan berketetoklah. Nah, istilah tersebut tidak dapat diterapkan di suku-suku pendatang di Kalimantan Barat? Hal ini perlu kiranya direfleksi apakah misalnya suku Melayu, Cina, Madura, Jawa, Bugis, Batak, Makassar, Sunda dan lain-lain yang masuk kandang “Daya” sudah ber-Daya? Mungkin hal ini belum pernah dipikirkan atau memang tidak terlintas sama sekali? Bukan masalah suku sama sekali tetapi masalah tata hidup yang perlu.

Dapat saya gambarkan orang Daya itu sebagai banteng. Mereka tidak mau memulai gara-gara lebih dahulu tetapi kalau sudah dilukai, pasti mereka akan membalas seribu kali lipat. Sebab sejauh pengetahuan saya, semua peristiwa berdarah tahun 1967, 1978 dan 1983 belum ada satu pun yang dimulai suku Daya. Namun, Mangkok Merah cuma jawaban mereka atas tindakan suku pendatang yang dirasakan menginjak-injak mereka. Oleh karena itu, janganlah buat gara-gara terlebih dahulu. Justru inilah tindakan preventif yang perlu dilaksanakan secara baik. Kalau kurang diperhatikan maka penurunan mangkok merah pula yang menjadi akibatnya. Dapat dibayangkan korban semakin banyak berjatuhan dan Kalimantan Barat terus mengalirkan darah.

Jalan keluar

Seperti diketahui, suku Daya mayoritas menganut agama Katolik. Maka hal ini sungguh-sungguh melegakan hati saya karena mereka memiliki banyak imam Daya yang pasti terpelajar. Apakah pendekatan-pendekatan yang dimaksudkan Zainuddin itu sudah dilakukan dengan benar atau belum? Kita boleh bersyukur, karena Wali Gereja Katolik Kalimantan barat adalah Daya asli. Dia bakal ambil tindakan secara arif dan bijaksana seperti almarhum Paus yang menganut paham perdamaian dengan U.S.S.R. Kiranya pendapat saya ini pun ditegaskan oleh Sd. Zainuddin Isman itu.

(R. Masri Sareb Putra)

KOMPAS, MINGGU, 11 MARET 1984

LihatTutupKomentar