Strategi Penguasaan Borneo oleh Hindia Belanda
Visualisasi Apang Semangai berperang melawan kontrolur Jansen. Dok. Lontaan,1975, hlm. 212. |
PONTIANAK: DAYAK TODAY: Borneo (Kalimantan) merupakan wilayah yang memiliki tantangan geografis dan kompleksitas sosial budaya yang tinggi. Hutan lebat, sungai-sungai besar, dan infrastruktur alami yang sulit diakses menjadikan wilayah ini sebagai medan pertempuran strategis dalam upaya kolonisasi.
Keberadaan kerajaan-kerajaan lokal (Melayu) dan masyarakat adat seperti Suku Dayak di Borneo Barat pada masa lalu menyajikan lapisan perlawanan yang harus dihadapi oleh pihak kompeni Hindia Belanda.
Baca Dayak: The Front Facade of the Traditional Longhouse in the Past
Melalui serangkaian strategi politik, militer, dan ekonomi, Kompeni Hindia Belanda akhirnya berhasil menancapkan kekuasaannya—meskipun perlawanan lokal, seperti Perang Tebidah dan Perang Apang Semangai, terus mengukir bab perlawanan yang penuh semangat dan keberanian.
Borneo dikenal dengan hutan hujan tropis yang lebat dan jaringan sungai yang luas. Kondisi ini tidak hanya menyulitkan mobilisasi pasukan dan pengawasan, tetapi juga memungkinkan masyarakat lokal untuk menyusun strategi pertahanan yang efektif melalui perang gerilya.
Eksistensi kerajaan-kerajaan seperti Banjar, Pontianak, Sanggau, Sekadau, Sintang, dan Sambas, serta komunitas adat Dayak yang memiliki struktur kekerabatan dan kepercayaan yang kuat, menciptakan dinamika politik dan sosial yang kompleks.
Identitas budaya yang kuat serta kemandirian dalam pengelolaan wilayah menjadikan Borneo sebagai tantangan tersendiri bagi kolonial Belanda (Ricklefs, 2008; King, 1993).
Strategi politik dan militer Kompeni Hindia Belanda
Kepada kelompok masyarakat yang guyub, Kompeni Hindia Belanda menerapkan strategi penguasaan yang dikenal dengan “divide et impera” (pecah belah dan kuasai) dengan cara memanfaatkan konflik internal di kalangan kerajaan lokal.
Namun, kepada Dayak yang saling kayau waktu itu, diterapkan strategi penguasaan sebaliknya yakni salt starvation.
Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah
Pada masa lalu, praktik kayau atau pengayauan di kalangan suku Dayak sering kali menimbulkan konflik berkepanjangan di antara kelompok-kelompok yang berbeda. Menyadari situasi ini, pemerintah kolonial Hindia Belanda menerapkan strategi penguasaan yang dikenal sebagai salt starvation, yakni dengan mengontrol pasokan garam yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Dayak.
Strategi salt starvation ini berangkat dari pemahaman bahwa garam adalah komoditas penting dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam mengawetkan makanan dan keperluan ritual. Dengan membatasi distribusi garam, mereka berusaha memaksa suku-suku Dayak untuk tunduk pada kekuasaan kolonial.
Secara harfiah, Salt Starvation (Kelaparan/haus Garam) adalah kondisi di mana tubuh mengalami kekurangan natrium (sodium) yang esensial untuk fungsi fisiologis. Natrium merupakan elektrolit penting yang membantu menjaga keseimbangan cairan, fungsi saraf, dan kontraksi otot. Kekurangan garam yang parah bisa menyebabkan berbagai gangguan kesehatan, bahkan kematian.
Dalam sejarah manusia, garam adalah komoditas yang sangat berharga. Banyak perang dan ekspansi perdagangan terjadi karena kebutuhan akan garam. Beberapa masyarakat primitif yang tidak memiliki akses ke garam alami harus mendapatkannya melalui perdagangan atau penyerangan ke kelompok lain.
Terkait dengan budaya perang dan perburuan kepala, ada teori bahwa beberapa kelompok suku di hutan tropis mengalami kelangkaan garam, sehingga mereka mengonsumsi darah atau daging manusia untuk memenuhi kebutuhan natrium mereka. Namun, ini masih spekulatif dan lebih banyak dikaitkan dengan teori antropologi tentang kanibalisme survival.
Langkah awal strategi salt starvation ini diterapkan dengan mempertemukan berbagai kelompok Dayak yang sebelumnya saling berkonflik dalam peristiwa besar di Tumbang Anoi pada tahun 1894.
Dalam pertemuan ini, para pemimpin Dayak dari berbagai subsuku berkumpul untuk membuat kesepakatan damai dan mengakhiri tradisi pengayauan yang telah berlangsung lama. Pemerintah kolonial melihat kesempatan ini sebagai momen yang tepat untuk memperluas pengaruhnya. Mereka berusaha menyatukan suku Dayak bukan demi kedamaian semata, melainkan untuk memudahkan pengendalian dan eksploitasi sumber daya di wilayah Borneo.
Akan tetapi, taktik kolonial Hindia Belanda ini tidak berjalan sesuai rencana. Alih-alih tunduk di bawah kendali Belanda, masyarakat Dayak yang telah berdamai justru memperkuat solidaritas mereka terhadap ancaman eksternal.
Kompeni menyadari bahwa kepentingan kolonial tidak selaras dengan kepentingan masyarakat adat. Dalam berbagai kesempatan, komunitas Dayak menolak dominasi Belanda dan tetap mempertahankan kemandirian mereka. Kesadaran kolektif ini menjadi fondasi penting bagi perjuangan mereka dalam menjaga tanah dan budaya mereka dari cengkeraman kolonialisme.
Baca FILSAFAT DAYAK
Pada akhirnya, strategi salt starvation yang diterapkan Belanda terbukti gagal total. Masyarakat Dayak tidak hanya berhasil mempertahankan kedaulatan mereka, tetapi juga membangun persatuan yang lebih erat di antara berbagai subsuku. Kegagalan ini menunjukkan bahwa kekuatan kolonial tidak selalu mampu menundukkan masyarakat adat dengan taktik ekonomi atau diplomasi paksa. Justru, melalui peristiwa seperti Tumbang Anoi, suku Dayak semakin menyadari pentingnya persatuan dalam menghadapi kekuatan eksternal yang mencoba menguasai mereka.
Pihak kompeni Belanda secara cermat menjalin kerja sama dengan kesultanan seperti Banjar, Pontianak, dan Sambas. Di antaranya, konflik internal di Kesultanan Banjar dimanfaatkan untuk menggulingkan kekuasaan tradisional dan mengubah struktur pemerintahan menjadi sistem administrasi kolonial. Penghapusan Kesultanan Banjar pada tahun 1860 merupakan contoh nyata dari intervensi politik tersebut (Ricklefs, 2008).
Melalui perjanjian yang sering kali tidak adil, Belanda berhasil mendapatkan dukungan dari sejumlah pemimpin lokal. Hal ini membuka jalan bagi masuknya unsur militer dan administrasi kolonial ke dalam struktur kekuasaan lokal (King, 1993).
Strategi Militer: Integrasi Pasukan Pribumi dan Infrastruktur
Dalam ranah militer, Belanda mengoptimalkan beberapa pendekatan:
- Rekrutmen Pasukan Pribumi: Belanda mengintegrasikan orang lokal ke dalam milisi kolonial. Dengan mengalihkan sebagian kekuatan perlawanan ke pihak kolonial melalui iming-iming jabatan dan keuntungan ekonomi, Belanda memperlemah potensi perlawanan dari dalam (King, 1993).
- Pendirian Pos Militer dan Administratif: Pendirian pos-pos militer di kota strategis seperti Pontianak, Banjarmasin, dan Samarinda memungkinkan Belanda mengawasi jalur perdagangan dan sungai-sungai utama yang merupakan “arteri” vital transportasi di Borneo. Ini juga memfasilitasi penegakan hukum kolonial dan pengawasan ketat terhadap pergerakan penduduk (Reid, 2001).
Ekspansi Ekonomi dan Eksploitasi Sumber Daya
Motif ekonomi berperan penting dalam strategi penguasaan wilayah:
- Industri Perkebunan dan Pertambangan: Belanda mengembangkan perkebunan karet, rotan, dan penambangan batu bara yang membutuhkan integrasi infrastruktur untuk mendukung ekspansi ekonomi. Perusahaan-perusahaan Belanda mendirikan jalur transportasi, pelabuhan, dan fasilitas pendukung guna memaksimalkan eksploitasi sumber daya alam Borneo (Brookfield et al., 1995).
- Transformasi Sosial: Dengan mengedepankan pendidikan kolonial dan penyebaran misionaris, Belanda tidak hanya mengubah struktur sosial tetapi juga mendidik elit pribumi yang kemudian berperan dalam mendukung administrasi kolonial. Ini mengakibatkan pergeseran nilai dan identitas budaya di kalangan masyarakat lokal.
Dampak pada Masyarakat Lokal
Perubahan sosial ini berdampak pada identitas dan kemandirian masyarakat adat. Meskipun beberapa kelompok mendapatkan keuntungan dalam struktur baru, banyak pula yang mengalami marginalisasi—memicu perlawanan yang kerap berujung pada konflik bersenjata.
Baca Dayak Sukubangsa yang Jujur
Perlawanan terhadap kekuasaan kolonial bukanlah hal baru di Borneo. Masyarakat lokal, yang memiliki ikatan kuat dengan tanah dan tradisi leluhur, selalu menolak penindasan eksternal. Bentuk perlawanan ini tidak hanya bersifat fisik, melainkan juga kultural—dengan menjaga nilai-nilai adat dan spiritualitas yang melambangkan jati diri mereka.
Di wilayah Borneo Barat, dinamika perlawanan semakin intensif. Kedatangan aparat Belanda yang mencoba menerapkan sistem administrasi dan ekonomi kolonial di tengah-tengah masyarakat adat memicu ketegangan yang akhirnya berubah menjadi konflik bersenjata. Perlawanan ini menunjukkan bahwa dominasi Belanda tidak bisa diterima begitu saja oleh komunitas yang memiliki ikatan mendalam dengan tanah dan tradisi mereka.
Perang Tebidah
Perang Tebidah merupakan salah satu ekspresi perlawanan lokal yang paling terorganisir di Borneo Barat.
- Kepemimpinan dan Tokoh Perlawanan: Perang ini dipimpin oleh tokoh-tokoh lokal yang karismatik, yaitu Nata, Apang Labung, Abang Laung, dan Apang Rabat. Mereka berhasil mengumpulkan dukungan dari berbagai suku dan komunitas untuk melawan penetrasi Belanda (Lontaaan, 1975: 207).
- Rentang Waktu dan Taktik Perang: Konflik berlangsung dari 13 Agustus hingga 18 Oktober 1890. Dalam peperangan ini, para pejuang lokal menggunakan taktik perang gerilya—memanfaatkan medan hutan lebat untuk menyerang pos-pos militer Belanda dan menghindari bentrokan langsung dengan pasukan yang lebih superior dalam persenjataan.
- Dampak dan Simbolisme: Perang Tebidah menjadi simbol perlawanan dan keberanian komunitas lokal dalam mempertahankan kedaulatan serta tanah adat mereka. Walaupun pada akhirnya Belanda mampu menekan perlawanan melalui kekuatan militer dan strategi politik, semangat perlawanan ini tetap menginspirasi perjuangan selanjutnya.
Perang Apang Semangai
Di samping Perang Tebidah, Perang Apang Semangai juga merupakan wujud nyata perlawanan dari masyarakat Dayak di Borneo Barat:
- Kepemimpinan dan Strategi: Dipimpin oleh Apang Semangai, perlawanan ini menekankan taktik serangan mendadak dan perang gerilya di dalam rimba. Para pejuang menggunakan pengetahuan mendalam tentang medan hutan untuk menyulitkan operasi militer Belanda, menciptakan jebakan dan serangan mendadak yang merusak logistik serta moral pasukan kolonial.
- Konflik dan Ketahanan: Meskipun kekuatan militer Belanda jauh lebih besar, perlawanan ini menunjukkan bahwa semangat perlawanan masyarakat lokal tidak mudah dipatahkan. Perang Apang Semangai mencerminkan tekad untuk mempertahankan identitas dan kedaulatan, sekaligus menandai awal dari serangkaian perlawanan yang menggerakkan kesadaran politik di kalangan masyarakat adat.
- Warisan Sejarah: Perlawanan yang dipimpin oleh Apang Semangai, bersama dengan peristiwa di Perang Tebidah, telah meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah Borneo. Kisah ini menjadi sumber inspirasi bagi generasi berikutnya dan merupakan bagian integral dari narasi perjuangan melawan kolonialisme.
Dampak Jangka Panjang dan Warisan Perlawanan
Meskipun Belanda akhirnya berhasil menguasai wilayah Borneo, perlawanan lokal mengakibatkan transformasi sosial yang signifikan.
- Identitas Budaya: Perlawanan seperti Perang Tebidah dan Perang Apang Semangai tidak hanya mempengaruhi struktur politik tetapi juga menegaskan kembali identitas kultural masyarakat lokal.
- Perubahan Politik: Konflik-konflik tersebut memaksa Belanda untuk meninjau kembali pendekatan administrasinya, walaupun pada akhirnya kebijakan kolonial tetap mendominasi, namun perlawanan inilah yang menandai awal munculnya gerakan nasionalisme dan kesadaran akan hak-hak masyarakat adat.
Warisan sejarah
Jejak perlawanan di Borneo Barat terus hidup dalam tradisi lisan, literatur, dan upacara adat.
- Inspirasi Perjuangan: Kisah para pahlawan seperti Nata, Apang Labung, Abang Laung, Apang Rabat, dan Apang Semangai menjadi simbol semangat perlawanan yang menginspirasi gerakan pembebasan di masa depan.
- Pengaruh Terhadap Kebijakan Modern: Warisan perlawanan ini juga memberikan pelajaran penting mengenai pentingnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dalam menghadapi kebijakan pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam.
Penguasaan Borneo oleh Kompeni Hindia Belanda merupakan proses kompleks yang melibatkan strategi politik, militer, dan ekonomi yang cerdik. Melalui kerja sama dengan kesultanan lokal, rekrutmen pasukan pribumi, serta pengembangan infrastruktur dan eksploitasi sumber daya alam, Belanda berhasil menancapkan cengkeraman kolonial.
Namun, perlawanan sengit—terutama melalui Perang Tebidah dan Perang Apang Semangai di Borneo Barat—menunjukkan bahwa semangat kedaulatan dan identitas budaya masyarakat adat tidak mudah dilenyapkan.
Konflik-konflik tersebut tidak hanya menjadi titik balik dalam sejarah kolonial, melainkan juga merupakan fondasi bagi kesadaran nasional dan perjuangan melawan penindasan di masa mendatang.
Daftar Pustaka
Brookfield, H., Potter, L., & Byron, Y. (1995). In Place of the Forest: Environmental and Socio-Economic Transformation in Borneo and the Eastern Malay Peninsula. United Nations University Press.
King, V. T. (1993). The Peoples of Borneo. Wiley-Blackwell.
Lontaaan, T. (1975). "Perang Tebidah dan Perlawanan Lokal di Borneo Barat" (hal. 207).
Reid, A. (2001). Charting the Shape of Early Modern Southeast Asia. Silkworm Books.
Ricklefs, M. C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c. 1200. Stanford University Press.