Halusinasi Sawit | Cerpen Masri Sareb Putra
Perempuan Dayak cantik dan halusinasi sawit. Ilustrasu by AI. |
Sudah dua bulan ia berada di sini.
Nama aslinya Zulfikar Napitupulu, “Pak Zul” di mulut para buruh sawit. Ia tak keberatan. Yang penting gaji lancar, target tercapai, dan tak ada maling sawit.
Kalimantan panas dan sunyi. Suasana yang bukan menenangkan, melainkan menyembunyikan sesuatu. Saat pertama tiba, sopir truk memberinya tur singkat:
“Di situ bekas huma. Di sana rumah panjang. Ujung situ tembawang. Kuburan tua di balik pohon beringin. Warga tak berani malam-malam.”
Pak Zul hanya mengangguk. “Semua yang tak dipakai harus digusur. Kita butuh produksi,” katanya dalam hati.
Baca Perempuan dalam Bungkusan Blazer | Cerpen Masri Sareb Putra
Setiap pagi pukul lima, ia sudah menggas Honda Suzuki merah tua—warisan manajer sebelumnya—menebar debu dan sumpah serapah. Ia jadi anjing penjaga, mengendus-ngendus kemungkinan sabotase, memantau target Tandan Buah Segar (TBS) 3.200 hektar kebun inti dan 900 hektar plasma yang selalu bikin laporan bocor.
Namun seminggu terakhir, patroli jadi aneh. Ia mulai melihat perempuan Dayak mandi di parit, di kubangan, bahkan di jalan inspeksi: bertelanjang dada, rambut panjang, kulit kuning langsat. Mereka tertawa, menyanyi, menari dengan bulu burung enggang di kepala, lalu lenyap begitu saja.
Pak Zul berhenti, melotot, lalu melihat… hanya plastik bibit sawit dan bangkai biawak setengah membusuk.
Baca Helikopter di Atas Sungai Utik | Cerpen Masri Sareb Putra
Ia tak percaya hantu. Ia rasional: alumnus fakultas pertanian. Tapi ia kehilangan tidur, sering mengigau.
Pernah teriak di rapat, “Siapa yang buka baju di area blok 3?! Saya pecat kalian semua!”
Tak ada yang mengaku.
Hingga suatu malam. Rasa penasaran mengalahkan nalar. Ia keluar, membawa parang, menyusuri barisan sawit. Jam dua pagi. Tawa dan nyanyian itu memanggilnya. Ia mengikuti dengan mata merah, bibir gemetar.
Di atas tembunik tua, seorang perempuan berdiri. Suaranya menggema:
“Abang Zul… kami mandi di tanah kami… yang abang gusur…”
Pak Zul maju, parang terangkat: “Tanah ini milik perusahaan!”
Perempuan itu tersenyum, lalu menghilang. Tanah di bawah Zul runtuh, ia terperosok, teriakan tertahan di mulut. Parang terlepas.
Baca Tulah | Cerpen Mariana de Santos
Esok paginya, warga menemukan Honda Suzuki merah terparkir di bawah pohon sawit, tangki penuh, tapi Pak Zul tak ada. Yang ada hanya lubang tembunik tua terbuka, memperlihatkan tumpukan dokumen asli: surat tanah, akta adat, peta tua—bukti hak ulayat Dayak beserta nama-nama pemiliknya.
Di antara dokumen, satu foto hitam-putih usang tertempel: lima perempuan Dayak sedang mandi di sungai. Di belakang mereka, samar namun cukup jelas, seorang lelaki berdiri menatap kamera—Zulfikar Napitupulu. Padahal foto itu bertanggal 1937.
Dan di pojok bawah foto, tulisan tangan tua:
“Pelanggaran lahan, korban terakhir: Zul Napitupulu.”
Dada yang melihat foto dan tulisan itu, sesak. Masa lalu dan masa kini bersatu dalam satu parit kelabu. Tanah ulayat punya mata.
Dan ia menuntut keadilan.
Jakarta, 16 April 2025