Perempuan dalam Bungkusan Blazer | Cerpen Masri Sareb Putra

Dayak, pria, Remaong Rima, direktris, pperempuan kota, kebun sawit, HGU, perkebunan, perusahaan,

 

Perempuan dalam Bungkusan Blazer | Cerpen Masri Sareb Putra
Perempuan dalam bungkusan blazer ilustrasi by AI.

Aku masih ingat aroma hutan basah sore itu.

Masih ingat embusan angin yang membawa wangi tanah dan dedaunan. Seperti mengelus kulitku perlahan. 

Tapi yang paling membekas adalah tatapan itu—tatapan seorang lelaki Dayak bernama Remaong Rima.

Bukan mata cokelatnya yang membiusku. Tapi caranya melihatku, seolah-olah aku bukan direktris perusahaan sawit yang datang untuk menguasai, tapi seorang perempuan yang sedang hilang arah, dan ingin ditemukan.

Padahal saat itu aku datang dengan kekuatan: blazer hitam mahal, make-up sempurna, dan suara tegas. Aku bicara tentang program pemberdayaan, angka produksi, laporan keberlanjutan.

Remaong Rima diam saja. Lalu tersenyum.
Dan berkata:

“Apakah Ibu tahu rasa dari buah tanah yang belum diinjak ban ekskavator? Kami tahu.”

Aku terdiam.
Dada ini seperti digedor dari dalam. Ada sesuatu dalam ucapannya yang menggoyahkan semua fondasi rasional yang kubangun selama bertahun-tahun.

Aku kembali ke Jakarta. Tapi jiwaku tertinggal di Kalimantan.

Seminggu... dua minggu... aku tak tahan.
Aku datang lagi.

“Untuk mengawasi proses mediasi,” kataku ke atasanku. Padahal aku hanya ingin melihat Remaong Rima. Mendengar suaranya. Merasakan getaran sukmaku yang tak bisa dijelaskan.

Dan seperti sungai yang tak bisa menahan arus, semuanya terjadi begitu saja. Pertama, kami duduk di tikar, bicara soal pohon-pohon, tentang sungai yang mereka anggap ibu. Lalu ia memetikkan lagu di sape’. Matanya tak lepas dari wajahku. Suaranya serak:

“Di kota, tubuh Ibu mungkin mahal. Tapi di sini, hati Ibu yang kami baca...”

***

Tubuhku gemetar. 

Tidak karena takut, tapi karena hasrat yang sudah terlalu lama kupendam sebagai istri yang kesepian. Suamiku, Ardi, lelaki rasional: rancangannya megah, tapi cintanya kosong.

Di pelukan Remaong Rima malam itu, aku bukan direktris. Aku bukan ibu.

Aku cuma perempuan yang baru pertama kali merasa... dicintai tanpa reserve.

***

Kami menyatu. Dalam raga dan dalam jiwa!

Tak ada AC. Tak ada linen hotel bintang lima. Hanya lantai kayu, nyanyian jangkrik, dan napas kami yang saling mengejar dalam gelap.

Setiap sentuhannya bukan sekadar rangsang. Tapi pengakuan. Seakan ia berkata: Aku tahu siapa kamu, aku tahu kamu lelah. Mari istirahat di pelukanku.

Dan Tuhan, tubuhnya....
Tak bisa dibandingkan Ardi, suamiku.
Tidak ada teori arsitektur yang bisa menjelaskan kenikmatan itu.

Aku ketagihan. Bukan hanya tubuhnya. Tapi caranya membuatku merasa hidup kembali.

Tapi hidup bukan dongeng.
Seseorang memotret kami di tepi sungai.
Seseorang mengirimkannya ke Ardi.

Hancur.
Pecah.
Dunia runtuh dengan suara yang sunyi tapi menusuk.

Aku mencoba bertahan. Kubela cintaku. Kupeluk rasa bersalahku. Tapi Remaong Rima mundur. Ia bilang ia tak ingin jadi alasan anak-anakku membenci ibunya.

“Kalau kau tetap tinggal di sini, kau akan kehilangan segalanya. Dan aku tak bisa jadi gantinya.”

Ia benar.

***

Kini aku hidup dalam sisa-sisa diriku.
Aku pindah ke kota lain. Mengajar. Menulis. Diam-diam masih menyentuh kain tenun dari kampung itu setiap malam. Kadang kucium. Kadang kutangisi.

Karena cinta itu... tidak mati.
Ia hanya berubah jadi luka yang kupelihara seperti tanaman kaktus di jendela.

Mereka bilang: aku salah.

Tapi tidak ada yang benar-benar tahu rasa malam itu.
Malam saat aku menjadi manusia seutuhnya.
Malam saat aku merasa disentuh—bukan hanya di kulit, tapi di jiwa yang sudah lama beku.

Dan itulah kutuknya.
Sekali merasakan cinta sejati...
Segala yang lain terasa seperti kompromi.

Jakarta, 16 April 2025

LihatTutupKomentar