Industri Musik dan Lagu Etnik Dayak yang Kian Menggeliat

Dayak, Wiwit Balabih,Tino Amee, Ricky El, Sima, Jessica Timah, hingga Gilbert Gaong, Dayak Ganteng, Dibare, industri, etno-musikologi, Lundayeh

 

Booming industri musik etnis—atau jika mau lebih akademis: etnomusikologi, mulai menyala.
Industri musik dan lagu etnik Dayak yang kian menggeliat. Ilustrasi by AI.

🌍 DAYAK TODAY  | JAKARTA : Di Sarawak, musik etnik Dayak bukan sekadar hidup. Ia bergemuruh. 


Sudah lebih dari satu dekade terakhir, suara-suara dari hutan tropis itu menjelma jadi denyut jantung industri musik Malaysia Timur. Ricky El, Sima, Jessica Timah, hingga Gilbert Gaong misalnya, mereka itu bukan hanya nama. Mereka ikon. 

Para artis Dayak itu bernyanyi dalam bahasa Iban. Berpentas dari kampung ke kota, dari negara bagian ke negara jiran, menjual CD, tampil di YouTube, Spotify, sampai panggung festival internasional. Mereka hidup dari musik—dan dihormati karenanya.

Baca Perempuan dalam Bungkusan Blazer

Kini angin dari utara itu mulai menyapu Kalimantan Barat. Tak lagi pelan, tak lagi malu-malu. Booming industri musik etnis—atau jika mau lebih akademis: etnomusikologi, mulai menyala. 

Dimulai dari nama-nama seperti Ipan dan Titin, gelombangnya makin besar.

Masuklah Wiwit Balabih dengan lagu “Dibare’”—sebuah tembang penuh energi yang menyatukan nada tradisional dengan beat masa kini. 

Disusul Tino Amee dengan “Dayak Ganteng,” yang memadukan kebanggaan etnis dan gaya jenaka. Keduanya tidak cuma bikin orang ikut bernyanyi—mereka membuka peluang.

Dari Lagu ke Lumbung: Musik Jadi Jalan Hidup

Ini bukan hanya soal penyanyi di atas panggung. Di balik layar, ada pencipta lagu yang kini mulai dihargai. Penulis lirik yang bisa menghidupkan syair-syair dalam bahasa Dayak: dengan metafora, cerita leluhur, hingga sindiran sosial yang halus. Mereka tidak lagi menulis untuk laci, tapi untuk dinyanyikan, di-streaming, dan dibayar.

Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah

Musisi —baik pemain sape, gitaris, keyboardist hingga beatmaker EDM Dayak— pun kebagian rezeki. Ada yang jadi session player, ada yang jadi arranger, bahkan ada yang membuka jasa rekaman rumahan.

Label lokal mulai terbentuk. Studio kecil dibangun. TikTok, YouTube, dan Instagram bukan sekadar hiburan, tapi jadi etalase lagu baru. Lagu etnik tak lagi eksotis: ia menjadi tren.

Promotor mulai mencari artis lokal Dayak untuk tampil di pernikahan, festival budaya, hingga panggung lintas daerah. Bahkan ada event organizer yang khusus mempromosikan talenta Dayak dengan gaya etnik modern.

Industri hiburan perlahan membentuk ekosistemnya sendiri: dari penulis lagu, musisi, penyanyi, editor video, sound engineer, produser konten, hingga manajer artis. Semua saling terhubung dalam satu semangat: musik Dayak bisa jadi ladang hidup, bukan sekadar hobi.

Budaya yang Bernyanyi, Identitas yang Menari

Lebih dari itu—ini tentang kebangkitan identitas. Tentang generasi muda yang tak lagi malu menyanyikan lagu berbahasa Iban, Kanayatn, atau Lundayeh. Tentang panggung-panggung kecil yang kini dipenuhi penonton. Tentang rasa bangga yang tumbuh dari dalam, bukan dipaksakan dari luar.

Baca Ngayau (1)

Musik etnik Dayak tak lagi sekadar kenangan atau hiasan. Ia hidup, menggeliat, dan kini mulai jadi mesin ekonomi budaya.

Pertanyaannya: Siapa yang berani ikut gelombang ini lebih awal?

-- Masri Sareb Putra

LihatTutupKomentar