Mandi di Sungai Alami dan Bening di Kalimantan Telah Langka

Dayak, sungai, Kalimantan, bening, bersih, mandi, cuci, kakus, kini keruh, hitam, air kehidupan, limbah

 

Ada masa ketika mandi di sungai bukan soal bersih, tapi soal hidup.
Mandi di sungai alami dan bening di Kalimantan telah langka. AI.

🌍 DAYAK TODAY  | JAKARTA: Saya ingat: ada masa ketika mandi di sungai bukan soal bersih, tapi soal hidup. 

Air bukan sekadar basah, tapi juga hangat. Ada sentuhan yang seperti doa. Kadang dingin, kadang licin, kadang beriak kecil seperti suara seorang ibu menghibur anaknya. 

Di Kalimantan, sungai lebih dari aliran. Ia tubuh yang bergerak, ingatan yang mengalir.

Baca Membangun Indonesia Bukan dari Pinggiran

Kini mandi di sungai alami dan bening adalah kegiatan yang terdengar seperti dongeng.
Bukan karena anak-anak tak mau lagi mandi di sungai. Tapi karena sungainya tak mau lagi dimasuki.

Airnya keruh. Kadang hitam. Ada yang berbusa. Ada yang bau. Yang jernih semakin sedikit, dan yang bening semakin asing. Sungai kehilangan wajahnya. Yang tersisa adalah arus yang berlari cepat, membawa lumpur, membawa sisa.

Saya bertanya-tanya: sejak kapan air berhenti menjadi kehidupan?

Orang Dayak selalu tahu: air adalah pertanda hidup. Di tengah belantara, di mana suara malam bisa menusuk dan jejak binatang bisa jadi ancaman, hanya satu yang menjadi ukuran apakah sebuah tempat bisa dihuni: air. 

Baca Gunung Api di Jawa dan Bakar Ladang di Kalimantan

Tanpa air, segalanya hanya hutan bisu. Tapi dengan air, bahkan tanah yang keras bisa jadi kampung. Sungai adalah petunjuk, dan pada saat yang sama, ia juga pertolongan. Di sanalah kehidupan bisa bertahan.

Tubuh manusia lebih tahan lapar daripada haus. Seharian tak diberi makan, tubuh masih bisa berjalan. Tapi tanpa air, manusia bisa mati. Dehidrasi tak bisa dinegosiasikan. Ia datang diam-diam dan menghancurkan dari dalam. Bukankah tubuh kita sebagian besar adalah air? Maka tak aneh jika air adalah cerminan siapa kita. Kehilangan air, adalah kehilangan diri.

Di Dayak, kesadaran itu sudah lama menjadi bagian dari hidup. Sungai bukan cuma sumber air bersih. Ia juga sumber kehangatan, sumber kisah, sumber arah. Ketika bayi lahir, mereka dimandikan di sungai. Ketika seseorang wafat, arwahnya diberi minum dari sungai, dalam ritus-ritus adat yang sudah berjalan turun-temurun. Air adalah saksi.

Baca Sayur Sawit, Nasi Pasir | Cerpen Masri Sareb Putra

Tapi kini, air tidak lagi diam untuk mendengar doa. Ia menjadi saluran limbah. Ia bergegas, membawa lumpur, plastik, busa, bau. Sungai menjadi muram.

Saya tidak sedang mengisahkan tragedi. Saya hanya ingin mengatakan bahwa kita lupa. Lupa bahwa di tanah ini, sebelum tambang datang, sebelum pabrik berdiri, sebelum jalan-jalan aspal melintang—sungailah yang lebih dulu mencatat hidup manusia. Ia jalur pertama. Ia jantung yang memompa.

Tapi kini kita bicara soal logistik, bukan aliran. Bicara soal efisiensi, bukan harmoni. Bicara soal komoditas, bukan kelangsungan. Sungai pun diukur dengan peta, ditawar dengan nilai tukar, dialihkan dengan ekskavator. Kita mengira emas yang menentukan kehidupan. Tapi Dayak tahu: tidak ada emas kehidupan. Yang ada hanyalah air kehidupan.

Dan air itu kini hilang.

Saya pernah melihat seorang ibu Dayak menampung air hujan dengan baskom logam. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan kenangan. Dulu, ia bisa langsung menciduk air dari sungai. Kini, si ibu menunggu langit berbaik hati. 

Hujan menjadi pengganti sungai. Ironis! Di pulau yang pernah disebut “serpihan surga yang jatuh ke bumi” dan "pulau seribu sungai", manusia justru mulai kehilangan mata airnya sendiri.

Baca Dayak Indonesia dan Malaysia: Satu Tubuh Dua Wajah Berbeda

Saya tidak romantik. Saya tidak sedang membela masa lalu. 

Tapi saya percaya, jika kita kehilangan air yang bisa diminum, disentuh, dirasakan tanpa takut, maka kita kehilangan dasar paling sederhana dari hidup. Dan kita tahu, tidak ada yang lebih penting dari dasar.

Jika sungai tidak bisa lagi kita gunakan tanpa cemas, di mana kita akan pulang?

Sungai adalah rumah dalam arti paling dalam. Ia tidak berpintu, tapi menyambut. Ia tidak berbicara, tapi mengerti. Di sanalah, generasi demi generasi tumbuh. Di sanalah, tubuh Dayak mengenali dirinya: dalam kilau air yang tenang, dalam riak kecil, dalam suara lumut yang diam.

Kini, suara-suara itu perlahan memudar. Yang terdengar hanyalah mesin.

Mungkin kelak, anak-anak Dayak akan mandi dari kran—bukan karena mereka ingin, tapi karena mereka tidak punya pilihan. Tapi saya percaya, di dalam tubuh mereka, masih ada ingatan tentang air yang bening, air yang menyembuhkan, air yang membuat mereka merasa manusia.

Sebab air bukan sekadar unsur kimia. Ia adalah bahasa. Air adalah tubuh. Ia adalah pertanda: bahwa hidup masih mungkin.

Jakarta, 16 April 2025

LihatTutupKomentar