Sayur Sawit, Nasi Pasir | Cerpen Masri Sareb Putra

tulah, sawit, perusahaan, caplok, tanah warga, tulah, lauk sawit, nasi pasir, buah sawit, bala, sumpah, Dayak

Tulah nyerobot tanah Dayak: sayur sawit nasi pasir by AI.
Tulah nyerobot tanah Dayak: sayur sawit nasi pasir by AI.

I

Manajemen perusahaan sawit makan siang dengan khusyuk. 

Meja kayu panjang buatan lokal. Didekorasi dengan taplak plastik bunga-bunga dan satu vas berisi daun kelapa kering.

Yang duduk di sana: Direktur Utama, Kepala Operasional, Manajer Legal, Humas, dan seorang "Konsultan Sosial" yang dulu pernah menjual sayur di pasar subuh.

Di piring mereka: nasi pasir.
Di mangkuk mereka: buah sawit.
Di gelas mereka: air keruh dari parit kebun yang baru dibabat.

“Saya kira tadi ini nasi goreng,” kata Direktur, mencoba mengaduk pasir dengan garpu plastik.

“Ini... ini bukan nasi, Pak. Ini benar-benar pasir sungai,” jawab Humas, berbisik seperti sedang membaca mantra pemanggil jin.

“Dan ini lauknya… buah sawit? Mentah pula,” desah Kepala Operasional, mencoba memotong daging sawit yang keras seperti batu.

Tapi mereka makan juga. Karena tidak ada pilihan lain.
Dapur mereka terbakar pagi tadi. Kompor meledak. Koki mereka kabur. Stok bahan makanan hilang. 

Di gudang hanya tersisa buah sawit —hasil kebun yang katanya mau diekspor ke Rotterdam. Dan pasir— entah dari mana masuk ke silo beras.

Mereka duduk, diam, dan mengunyah.
Tanpa rasa. Tanpa logika.
Seperti makan dosa sendiri.


II
Beberapa minggu sebelumnya, mereka berhasil mendapatkan 88 tanda tangan. Jumlah keramat, kata si Konsultan Sosial.
“Kayak angka hoki di Togel, Pak!” katanya, tertawa sambil memutar cincin batu akik.

Tanda tangan itu dikumpulkan dari rumah ke rumah. Di bawah bayang-bayang janji manis dan uang transport.

“Kita buat penolakan, ya. Ini demi lingkungan!” kata Langkui, sang Konsultan, sambil menyodorkan pena.

Warga menandatanganinya dengan semangat. Ada yang bahkan menuliskan nama anak-anaknya juga, sebagai bentuk "komitmen keluarga."

Tapi di kantor pusat, bagian atas dokumen diubah.
"Bersedia menerima kehadiran perusahaan dan menyerahkan tanah adat secara sukarela demi pembangunan dan kesejahteraan bersama."
Dengan kop surat resmi dan tanda tangan notaris dari kota yang entah nyata entah fiktif.


III
Pohon-pohon tumbang.
Hutan dibakar.
Kuburan leluhur digusur.
Sungai keruh.
Bayi-bayi gatal-gatal.
Orang tua batuk darah.
Babi hutan tak datang lagi ke ladang.
Dan pada malam tertentu, terdengar lolongan dari tanah bekas pemakaman.

Warga protes.
Datang berbondong-bondong. Membawa bukti. Membawa suara. Membawa rasa kehilangan.
Tapi ditertawai.
“Sudah legal,” kata Manajer Legal sambil menunjuk map merah.
“Kita punya dokumen lengkap,” tambah Humas, sembari memperlihatkan video testimoni warga—yang ternyata hasil potongan dan manipulasi digital.

Warga tak menyerah.
Di ruai panjang rumah adat, mereka menggelar ritual.
Seekor ayam hitam. Tiga telur bebek. Dan satu kendi air dari hulu sungai.

Wek Danau, tetua yang telah melewati tujuh musim besar, berdiri dan bersumpah, “Siapa yang menipu, tanah ini akan menolaknya. Siapa yang menjual kebohongan, lidahnya akan terbelah. Siapa yang makan uang dari penderitaan, perutnya akan menolak makanan.”

Semua mengangguk.
Angin berhembus. Api pelita padam tiba-tiba.
Dan suara gamang dari kejauhan terdengar: seperti bunyi rantai, atau jeritan dari akar yang dicabut paksa.


IV
Lalu satu per satu, manajemen mulai merasakan akibatnya.

Kepala Operasional lupa jalan pulang. Padahal rumahnya hanya 300 meter dari kantor. Ia berkeliaran malam-malam, memanggil nama ibunya yang sudah wafat sepuluh tahun lalu.

Manajer Legal mendadak tak bisa membaca. Semua dokumen terlihat seperti mantra kuno. Ia menandatangani SPK palsu yang membuat saham perusahaan anjlok.

Humas jatuh sakit. Kulitnya melepuh. Dokter bilang alergi. Tapi setiap kali ia menjauh dari lokasi kebun sawit, tubuhnya sembuh. Begitu kembali: melepuh lagi.

Direktur Utama, yang biasanya tegas, kini gagap.
Setiap kata yang ia ucapkan menjadi kebalikan.
Ia ingin berkata: “Perusahaan kita sukses,” tapi yang keluar: “Perusahaan kita busuk.”

Dan si Konsultan Sosial?
Ia menghilang. Terakhir terlihat di pinggir sungai, berbicara sendiri kepada batang pohon besar. Konon, batang itu dulunya tempat roh-roh tinggal sebelum digusur jadi gudang CPO.


V
Sekarang, mereka duduk di ruang rapat.
Sendok di tangan.
Pasir dan sawit di piring.
Semuanya diam.

“Kita minta maaf?” tanya Humas, pelan.
“Sudah terlambat,” jawab Pak Direktur, suara serak. “Bahkan ayam di kandang pun tidak berkokok sejak seminggu.”

Tiba-tiba listrik padam. AC mati.
Dari luar jendela, mereka melihat kabut tebal turun. Tapi bukan kabut biasa. Ini tebal seperti asap dupa, dan baunya seperti tanah basah bercampur arang.

Lalu suara-suara datang.
Tangisan.
Teriakan.
Doa dalam bahasa tua yang mereka tidak pahami.
Tapi tubuh mereka paham.
Tubuh mereka menggigil.
Mata mereka menangis.
Tangan mereka gemetar.

Direktur menjatuhkan sendok. “Saya... saya hanya mau bangun ekonomi desa,” katanya seperti minta ampun.
Tapi pasir sudah masuk ke dalam mulut.
Sawit sudah menyumpal tenggorokan.

Dan hutan... hutan sudah ingat nama mereka satu per satu.


EPILOG
Beberapa minggu kemudian, kantor perusahaan kosong.
Ditumbuhi ilalang.
Papan nama perusahaan jatuh.
Tulisan "MANAJEMEN" hilang satu huruf, tinggal: 

"MAKAN EN..."

Warga tidak datang lagi.
Tapi setiap malam, dari kejauhan, terdengar suara seperti orang makan sambil menangis.
Lauk sawit. Nasi pasir.
Dan doa-doa yang tak pernah dijawab.

SELESAI.

Jakarta, 15 April 2025

LihatTutupKomentar