Dayak Indonesia dan Malaysia: Satu Tubuh Dua Wajah Berbeda

Dayak, Malaysia, Indonesia, dua negara, Inggris, Belanda, penjajah, kolonial, menguasai, alih pengetahuan, Bumiputera, Sarawak, Entikong, Tebedu

Dayak Indonesia dan Malaysia: Satu Tubuh Dua Wajah Berbeda
Negara bukan sekadar entitas administratif, tapi juga narasiyang bisa memuliakan, atau melupakan. By AI.


🌍
 DAYAK TODAY  | PONTIANAK:

Di Borneo, tanah tua yang dibasuh hujan dan sejarah, dua wajah Dayak hidup berdampingan dalam paradoks. Sama-sama Dayak. Mereka berbagi leluhur, bahasa, dan mitos tentang sungai yang mengalir ke segala arah, namun disapa berbeda oleh dua negara yang mengklaim mereka sebagai anak. 

Baca Grace Lukas dan Perjuangan Sertifikat Lahan dan Rumah Warga di Kabupaten Sekadau

Di sinilah kita menyaksikan bagaimana negara bukan sekadar entitas administratif, tapi juga narasi. Dan bagaimana narasi itu bisa memuliakan, atau melupakan.

Negara: Antara Kehadiran dan Absen

Di Sarawak, Malaysia memanggil Dayak dengan nama penuh penghormatan: Bumiputera. Sepatah kata yang bukan sekadar status hukum, tapi juga pernyataan cinta dari negara pada tanah dan anaknya. 

Baca Entikong dan Tebedu Cermin Retak dan Utuh Wajah Dua Penjajah

Negara hadir dalam bentuk jalan beraspal yang menembus rimba, dalam beasiswa yang menjangkau anak-anak pedalaman, dan dalam bahasa Iban yang hidup di ruang kelas, bukan sekadar di dapur atau ladang.

Di seberang perbatasan, di Kalimantan, Indonesia seolah bicara dengan nada yang lebih sayup. Dayak Indonesia sering kali disebut "putra daerah", namun seperti anak yang diakui tapi tak pernah diajak bicara serius di meja makan nasional. Jalan masih tanah, klinik jauh, dan bahasa ibu mereka—penanda eksistensi paling dasar—tak masuk dalam kamus negara.

Di sini, negara bukan hanya tak hadir secara fisik, tapi juga secara simbolik. Tidak ada subsidi yang mencerminkan pengakuan, tidak ada kurikulum yang melestarikan lidah nenek moyang, dan tidak ada narasi nasional yang sungguh-sungguh menempatkan Dayak sebagai tokoh utama.

Warisan yang Dibelah

Bahasa bukan sekadar alat komunikasi; ia adalah rumah. Di Malaysia, bahasa Dayak menjadi bagian dari arsitektur rumah nasional—diajar, ditulis, dihargai. Sementara di Indonesia, bahasa Dayak menjadi seperti rumah tua yang dikunjungi hanya saat hari besar adat, dibiarkan rapuh, nyaris tak bersisa dalam dokumen negara.

Baca Sempadan Entikong - Tebedu dan Geopolitik Kekuasaan

Sekolah-sekolah di Kalimantan menjadi ruang asing bagi banyak anak Dayak. Mereka diajarkan untuk menjadi bagian dari “Indonesia”, tapi bukan dari akar mereka sendiri. Bahasa ibu tak pernah menjadi pelajaran, padahal ia adalah pelajaran pertama dalam kehidupan.

Ironi Perbatasan

Entikong dan Tebedu adalah dua sisi dari satu tubuh yang dibelah garis imajiner. Namun garis itu tidak hanya membelah wilayah, tapi juga membelah nasib. 

Anak-anak Dayak Kalbar kadang lebih mudah menjangkau pasar, rumah sakit, dan bahkan sekolah ke sisi Malaysia ketimbang ke kota mereka sendiri. Dalam ironi yang pahit, negara tetangga terasa lebih seperti "ibu" daripada negara sendiri.

Apa makna kebangsaan jika kehadiran negara justru dirasakan di balik bendera lain? Apakah nasionalisme cukup dengan lagu dan upacara, ketika nasi dan obat lebih cepat datang dari arah seberang?

Perbandingan ini bukanlah adu nasib, bukan pula keluhan, tapi sebuah renungan. Dalam diam, Dayak Indonesia menyimpan tanya yang nyaris mistik: apakah tanah ini benar-benar menganggap mereka sebagai anak? Atau hanya pewaris nama, bukan hak?

Dalam mitologi Dayak, sungai adalah jalan pulang roh. Tapi dalam realitas hari ini, sungai adalah jalan ke sekolah, ke pasar, ke rumah sakit : karena negara tak menyediakan jalan darat. Ironi itu tidak bisa terus dibiarkan menjadi catatan kaki dalam sejarah pembangunan.

Menjadi Cermin, Bukan Jendela

Mungkin kita terlalu sering melihat ke luar jendela—membandingkan, mengeluh, memuji negeri lain. Tapi kali ini, mari kita berdiri di depan cermin. 

Mari bertanya bukan mengapa Malaysia lebih baik memperlakukan Dayak-nya, tapi mengapa kita sendiri lupa bahwa mereka ada?

Sebab pada akhirnya, bangsa tidak diukur dari bendera yang dikibarkan, tapi dari wajah-wajah yang dihargai. Dan mungkin, dari berapa banyak anak Dayak yang tak perlu berjalan berjam-jam hanya untuk merasa diakui.

-- Rangkaya Bada

LihatTutupKomentar