Ingkong Ala — Dari Perbatasan Kalimantan Menuju Panggung Kepemimpinan Provinsi
Ingkong Ala - IG. |
Preambul:
Ada nama yang tak sekadar dikenang. Ia menjadi sejenis gema—datang dari jauh, menembus waktu, lalu tinggal dalam ingatan kolektif. “101 Tokoh Dayak” bukan hanya sebuah buku. Ia semacam upaya menebus diam yang terlalu lama. Sebuah ensiklopedia yang tidak dibangun dari suara negara, melainkan dari desir-desir sunyi hutan, dari langkah-langkah kaki yang tak tercatat sejarah besar, tapi justru membentuk tapak zaman.
Masri Sareb Putra, sang penulis, menolak untuk menulis sejarah dari ketinggian. Ia menulis dari dalam: dari kampung, dari rumah panjang, dari tifa dan tempurung yang pernah dibunyikan oleh para leluhur. “101 Tokoh Dayak” bukan hanya daftar nama, tapi adalah peta kesadaran: bahwa Dayak bukanlah sosok yang hilang dalam peta besar bangsa, melainkan denyut yang menyusun jantungnya.
Buku itu, jilid pertamanya, terbit tahun 2014. Di Galeri Cipta, Taman Ismail Marzuki—ruang yang biasa dipenuhi aroma cat minyak dan suara pertunjukan—buku ini diluncurkan. Donna Agnesia, figur publik yang dikenal luas, memandu acara. Ada sesuatu yang ganjil sekaligus menggembirakan: buku tentang tokoh-tokoh Dayak diluncurkan di jantung ibukota, dan menjadi viral. Barangkali karena kita sedang kekurangan tokoh. Barangkali karena kita sedang haus akan akar.
Tetapi Masri tidak berhenti di situ. Ia bukan sekadar pencatat. Ia perakit narasi. Dan jilid III dari buku ini—anehnya, atau justru wajar dalam semangat zaman—mencatat rekor: dipesan sebanyak 1.200 eksemplar bahkan sebelum satu kata pun tercetak. Itu terjadi pada Desember 2019. Sejarah kadang memang tidak linear: jilid ketiga bisa lebih ditunggu sebelum jilid pertama selesai. Tapi bukan itu yang penting.
Yang penting adalah: ada orang-orang Dayak, dari yang agung hingga yang sederhana, dari panglima hingga petani garam, dari imam hingga pengrajin tikar rotan, yang kini punya tempat. Punya wajah. Punya kata.
Dan mungkin, dalam diam yang makin jarang kita temui hari ini, buku itu sedang dibaca oleh seorang anak muda di pedalaman Kapuas, di beranda malam yang sunyi, sambil bertanya dalam hati: "Apakah aku kelak bisa menjadi tokoh yang ke-sekian?"
Kini serial buku ini masuk jilid IV.
Lalu siapa saja tokoh prominen Dayak yang menjadi sajian gizi menu buku ke-4 ini? kita mulai dari Ingkong Ala.
Ingkong Ala
Di antara kabut pagi dan lebat hutan tropis Kalimantan Utara, lahir seorang anak kampung bernama Ingkong Ala, tepat pada 17 November 1966 di Long Nawang, sebuah wilayah pedalaman yang kini masuk wilayah Kabupaten Malinau.
Jauh dari sorotan ibu kota, kehidupan awalnya dibentuk oleh realitas
keras pedalaman dan keterbatasan infrastruktur. Namun, justru dari sanalah
tekad dan semangatnya terasah.
Putra daerah ini menapaki pendidikan dasarnya di SDN 09 Mara
I dan melanjutkan ke SMPN I serta SMAN I Tanjung Selor, sebuah kota kecil yang
kelak menjadi salah satu pusat aktivitas politiknya. Selepas masa sekolah,
Ingkong mengawali karier sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan
Pemkab Bulungan sejak 1988. Di sinilah ia mengabdi selama lebih dari satu
dekade, khususnya di Dinas Kesehatan.
Sebagai staf dinas, ia kerap bertugas ke pelosok daerah
perbatasan, menyaksikan langsung minimnya akses kesehatan, pendidikan, dan
infrastruktur. Pengalaman-pengalaman itu membekas dalam dirinya. Perjalanan ke
desa-desa yang terisolasi menjadi semacam panggilan batin. Ia merasa sistem
pemerintahan yang ada belum cukup tanggap menjawab kebutuhan rakyat di wilayah
terluar.
Dengan idealisme dan keresahan yang mendalam, Ingkong
memutuskan untuk berhenti sebagai PNS dan beralih ke sektor swasta. Ia terjun
ke dunia konstruksi dan mendirikan serta memimpin PT Bahtera Indah Jaya sejak
2005. Dunia usaha memberinya ruang untuk bergerak lebih luwes, namun
idealismenya untuk memperjuangkan pembangunan tidak surut. Justru dari dunia
swasta, ia melihat peluang untuk berkontribusi lebih luas melalui jalur
politik.
Tahun 2010 menjadi titik balik. Ia bergabung dengan Partai
Hanura, sebuah partai yang saat itu tengah berkembang pesat. Dalam waktu
singkat, karier politiknya menanjak. Ia dipercaya menjadi Ketua DPC Hanura
Kabupaten Bulungan, kemudian menjadi Pelaksana Tugas Sekretaris DPD Hanura
Provinsi Kalimantan Utara (2014–2015), dan akhirnya dipercaya sebagai Ketua DPD
Hanura Kalimantan Utara pada 2015. Kepiawaiannya memimpin organisasi membuatnya
duduk di kursi Wakil Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Utara (2014–2019), sebelum
mengundurkan diri untuk maju dalam Pilkada Bulungan 2015.
Bersama Bupati Sudjati, ia terpilih sebagai Wakil Bupati
Bulungan periode 2016–2020. Duet ini dikenal dekat dengan rakyat dan
berkomitmen membangun daerah, terutama di bidang pelayanan publik dan
konektivitas wilayah. Pada periode berikutnya, ia kembali mendampingi Bupati
terpilih Syarwani (2021–2024), memperkuat posisinya sebagai tokoh kunci dalam
politik daerah.
Pada Februari 2021, ketika Bupati terpilih belum dilantik,
Ingkong sempat menjadi Bupati Bulungan selama sepekan (11–17 Februari).
Meskipun singkat, masa ini menjadi simbol kepercayaan publik terhadap dirinya.
Kepemimpinan singkat itu pun menjadi pelengkap dari karier politiknya yang kaya
pengalaman, mulai dari legislatif hingga eksekutif.
Tak berhenti di kabupaten, Ingkong melangkah lebih jauh. Pada Pilkada 2024, ia mendampingi Zainal Arifin Paliwang sebagai calon Wakil Gubernur Kalimantan Utara. Pasangan ini menang dan dilantik pada Februari 2025, menandai babak baru dalam kepemimpinannya—kali ini di tingkat provinsi.
Dengan
pengalaman panjang dan kedekatan yang nyata dengan rakyat perbatasan, Ingkong
Ala membawa perspektif akar rumput dalam merumuskan kebijakan provinsi.
Di luar politik, Ingkong aktif dalam berbagai organisasi
sosial dan kemasyarakatan. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Umum FORKI Bulungan
(2005–2014), Ketua I Pebeka Tawai Dayak Kenyah Kalimantan Timur
(2005–sekarang), hingga Ketua Laskar Merah Putih Bulungan (2010–2015). Ia juga
memimpin Komite Sekolah SMP Agape Bulungan, menunjukkan kepeduliannya terhadap
pendidikan generasi muda.
Pendidikan formalnya ia lanjutkan hingga perguruan tinggi.
Ia meraih gelar Sarjana Ekonomi dari STIE Bulungan Tarakan (2002), dan kemudian
menyelesaikan Magister Manajemen di Universitas Mulawarman pada 2013. Bagi
Ingkong, pendidikan adalah tangga perubahan—bukan hanya bagi dirinya, tetapi
bagi seluruh masyarakat Kalimantan Utara.
Dalam kehidupan keluarga, ia dikenal sebagai sosok ayah
penyayang. Ia memiliki empat anak: Agustina Selima, Herry Mexygo, Heber Nego,
dan Herlinda Ingkong. Istri pertamanya, alm. Herlina Djalung, wafat, dan kini
ia bersama pasangannya Kornie Serliany, yang mendampinginya dalam menjalani
tugas kenegaraan dan kehidupan pribadi.
Ingkong Ala adalah representasi pemimpin dari daerah perbatasan yang tak melupakan akar. Ia membuktikan bahwa suara dari pelosok bisa menggema sampai ke pusat pemerintahan, bila disuarakan dengan kerja nyata, ketekunan, dan integritas.
Dari desa kecil di Long Nawang hingga ruang-ruang
kebijakan di ibu kota provinsi, ia hadir sebagai penghubung antara yang
terpinggirkan dan mereka yang memegang kuasa. *)