Cinta yang Kandas di Tapang Sambas | Cerpen Masri Sareb Putra

Keling Kumang, CU, kasir, Tapang Sambas, gawai, Ayang, Bujang Pangan, Bujang Kelling, Simpar, Siska

ilustrasi by AI.

Gawai Dayak di Tapang Sambas tahun itu tak seperti biasanya. Bulan penuh seakan ingin turun dan duduk di antara tamu. 

Langit terbelah suara gong. Aroma lemang harum diterbangkan angin. Dan serbuk rindu mengapung di udara. 

Di tengah pusaran tamu, di depan Rumah Panjang yang memanjangkan ingatan akan nenek moyang, Ayang menari.

Langkahnya ringan. Seolah ia bukan manusia. Seakan ia roh lepas yang dijelmakan hanya untuk hari itu. 

Mata-mata lelaki mencuri pandang. Tapi hanya satu pasang mata yang Ayang balas: mata Bujang Pangan.

Ia penyanyi keliling. Rambut agak panjang, gitar usang dipanggulnya seperti bayi. Ia tidak terlalu tampan. Tapi suara dan senyumnya seperti bagian dari legenda. Ia baru saja menyanyikan lagu Iban yang membuat semua orang sunyi. Termasuk Ayang.

Mereka bertatapan. Tidak bicara. Tapi dunia seakan mengatur narasi: mereka harus jatuh cinta. Dan mereka jatuh, seperti durian di musimnya. Tak bisa ditunda.

Beberapa minggu kemudian, Bujang Pangan muncul di Kantor CU Keling Kumang.

Ia berdiri di depan Ayang yang tengah sibuk menginput data anggota di komputer kasir.

"Aku mau menabung," katanya gugup.

Ayang mendongak. Jantungnya seperti sape yang baru dipetik. "Di produk apa? Simpar apa Siska?"

"Di hatimu."

Ayang terkesiap. Lalu tertawa. Tapi tak lama. Karena saat itu, ia sadar, lelaki ini tidak main-main. Ia sungguh-sungguh ingin menabung masa depan bersamanya.

Hari-hari mereka menjadi simfoni rahasia. Pesan suara dikirim larut malam. Ayang menyelinap ke pojok kantor hanya untuk mendengar rekaman lagu baru dari Bujang. Ia mengajaknya melihat ladang, bernyanyi di bawah pohon durian tua, atau sekadar duduk diam menatap Sungai Kapuas sambil berharap waktu tak pernah bergerak.

Namun, cinta tak selalu berakar pada tanah subur. Kadang ia jatuh di alas tikar adat yang dibersihkan sebelum sempat tumbuh.

“Ayah tak setuju,” Ayang menangis di ujung telepon.

Bujang diam. Hujan di luar seperti menertawakan kelemahannya.

“Kenapa?”

“Kau... cuma penyanyi. Hidup dari panggung ke panggung. Ayah ingin aku dengan pegawai. Guru. Atau PNS!”

Bujang meremas gitarnya. “Tapi aku mencintaimu…”

“Cinta tak cukup,” suara Ayang mengecil. “Maafkan aku.”

Klik.

Hari itu, Bujang menyanyikan lagu paling sedih dalam hidupnya. Judulnya: "Ditolak di Depan Meja Kasir". Lagu itu tidak viral. Tapi cukup untuk membuat ibunya yang buta ikut menangis.

Setahun berlalu. Ayang tak lagi menari di Gawai. Ia duduk kaku di balik meja CU, wajahnya datar, senyumnya dipaksakan. Ia tahu, setiap lembaran uang yang ia hitung tak bisa membeli kembali cinta yang telah ia patahkan.

Lalu datang kabar: Bujang Pangan diangkat jadi Duta CU. Ia kini Bujang Kelling. Karyawan penuh waktu. Gajinya tetap. Ia tampil rapi, memakai kemeja bordir CU, membawa brosur edukasi finansial ke desa-desa. Bukan hanya penyanyi—ia telah menjadi simbol perubahan.

Dan pada hari itu, ia datang ke kantor tempat Ayang bekerja. Tidak lagi dengan gitar tua, tapi dengan presentasi Power Point berjudul: “Menabung adalah Menyintai Masa Depan.”

Ayang tak bisa bicara. Matanya basah. Ia ingin memeluknya. Tapi ruang itu terlalu ramai. Meja kasir terlalu sempit untuk dua hati yang dulu pernah lekat.

Saat semua orang pergi, Ayang mendekat dan berbisik:

“Kau... berubah.”

“Aku hanya mengejar yang membuatku hilang,” kata Bujang.

Ayang menghela napas. “Masih adakah aku... di hatimu?”

Bujang menatapnya. Dalam. Lama.

“Sudah kutabung. Tapi bunga cintamu tak pernah berkembang.”

Seminggu kemudian, Ayang pindah tugas ke unit CU di hulu. Katanya untuk menyembuhkan diri. Tapi semua orang tahu, ia pergi karena cinta yang tak bisa ditarik tunai.

Dan malam itu. Bujang Pangan naik ke panggung di Gawai berikutnya. Ia menyanyikan lagu terakhir yang ia tulis untuk Ayang.

“Engkau kasir
Aku pelanggan
Tapi cintaku ditolak
Seperti uang palsu….”

Semua orang tertawa. Tapi Ayang yang menonton dari kejauhan tak sanggup menahan air mata.

Dan dari atap langit Tapang Sambas  malam itu. Untuk pertama kalinya di Gawai, hujan turun.

TAMAT

Rumah Panjang Buah Main, Tapang Sambas, 17 Mei 2025
LihatTutupKomentar