Jalan sama Dia, Nikah sama Aku | Cerpen Masri Sareb Putra
Jalan sama dia nikah sama aku by AI. |
Pagi merekahkan embun yang menetes perlahan di ujung daun Taman Kelempiau. Kabut tipis menari di antara pucuk bambu, seolah membisikkan rahasia yang hanya dimengerti oleh hutan. Langit biru muda membentang, sehalus desah napas kekasih yang tak pernah bisa dimiliki sepenuhnya.
Ansel berdiri diam. Matanya menatap jauh, tapi jiwanya tenggelam dalam riak sungai kenangan. Angin menyentuh wajahnya seperti kenangan lama yang tak pernah benar-benar pergi. Aroma bunga liar menyelinap di sela-sela detak jantungnya. Suara daun menyanyi lirih: tentang cinta yang lahir dari tanah, tentang hati yang enggan memilih logika.
Tapang Sambas hidup pagi itu. Rumah-rumah kayu bergumam. Anak-anak berlari kecil di lorong pasar. Kabut menyentuh papan-papan rumah seperti ibu mencium anaknya sebelum berangkat ke ladang. Gerbang Keling Kumang Forest terbuka. Alam bukan sekadar latar — ia adalah karakter.
Ansel menyentuh batang pohon tua, mengenang hari-hari ketika ia dan Rino berlari mengejar layang-layang di ujung sore. Rino — lelaki dengan mata penuh cahaya dan luka yang tak pernah ditunjukkan.
Hari itu, Rino kembali. Jaket kulitnya robek. Entah karena petualangan atau karena ingin terlihat seperti pahlawan dalam puisi usang. Tapi matanya tak bisa berbohong. Ia memanggil, “Ansel... temani aku jalan. Sekali ini saja.”
Ansel menoleh. Dunia seperti menahan napas. Detik membeku. Mereka berjalan ke satu jalan yang tak biasa: “Jalan Sama Dia, Nikah Sama Aku.”
Legenda berkata: siapa pun yang berjalan di sana bersama cinta sejatinya, akan menikah dengan orang lain. Kutukan? Takdir? Atau hanya cara semesta menguji keberanian mencintai tanpa memiliki?
Mereka menyusuri jalan itu. Tanpa kata. Hanya langkah. Daun berhenti gugur. Burung enggan bersuara. Hutan mengawasi diam-diam.
“Kenapa kamu kembali?” tanya Ansel.
“Karena aku sudah pergi terlalu jauh, dan hanya kamu yang terasa rumah.”
Ansel ingin menjawab, tapi hanya senyum tipis mengembang. Dunia terlalu kejam pada dua jiwa yang saling mencintai di waktu yang salah.
Pohon tua melengkung. Ukiran di batangnya berkata: "Jangan percaya janji. Percayalah pada langkah."
Jari Rino menyentuhnya. Gemetar.
“Kalau aku jalan sama kamu... dan menikah dengan orang lain... kau marah?”
Ansel menunduk. “Cinta yang sejati bukan tentang siapa yang bersanding di pelaminan. Tapi siapa yang tetap ada dalam kepala saat lampu kamar padam.”
Seminggu kemudian, undangan itu datang. Rino & Melisa. Gadis lembut yang dicintai ibunya. Alasannya sederhana: "Aku tak bisa menyakitinya lagi. Aku harus memilih dia."
Ansel datang ke pesta. Baju putih. Dada retak. Matanya basah tapi kering. Rino di pelaminan, tersenyum setengah. Seperti burung dalam sangkar yang memandangi langit terakhir kalinya.
Malam itu, Ansel ke hutan. Membawa lilin. Satu persatu ia nyalakan sepanjang jalan itu. Setiap nyala adalah bait puisi.
Ia berkata pada angin, “Rino, kau berjalan bersamaku. Tapi menikah dengannya. Tapi dalam malam paling sunyi, saat kau sendiri, kau akan tahu... aku adalah jalan yang tak pernah selesai kau tempuh.”
Ia menulis dengan ranting:
Cinta bukan menikah. Tapi siapa yang kau pikirkan diam-diam, ketika semua lampu padam.
Orang desa berkata: Jalan itu kadang menyala sendiri di malam sunyi. Ada langkah samar. Ada bisikan lirih.
“Kalau tak bisa menikahimu, izinkan aku menemanimu... di jalan ini, selamanya.”
Ansel tak menikah. Tak mati. Tapi juga tak sepenuhnya hidup. Ia jadi bisik daun. Embun pagi. Lilin-lilin kecil di jalan. Tapi ia tersenyum. Karena di jalan itu, ia dan Rino tetap berjalan. Bukan suami-istri. Bukan kekasih. Tapi dua jiwa... yang memilih saling menemukan dalam ketakmungkinan.
Rino datang suatu malam. Diam-diam. Membaca puisi di tanah. Menangis dalam diam. Ia tahu: ia telah memilih kehidupan... tapi meninggalkan jiwanya di jalan itu.
Dan jalan itu tetap ada.
Kunang-kunang menari.
Langkah terus berjejak.
Puisi tak pernah selesai.
Tapang Sambas, 17 Mei 2025