Tiga Dara Iban

 

Dalis tak sengaja berpapasan dengan tiga dara Iban. Ansel, Yeni, dan Mila. Pertemuan terjadi di tepi sungai. Saat Dalis hendak ke rumah betang di Taman Kelempiau. 

Ia menyapu pandang ke arah tiga dara Kumang Iban itu. Ia merasa ada getaran aneh. Sampai-sampai lupa dunia.

Lalu… "brug!"
Dalis menabrak tiang listrik di depannya.

“Akai dai…” gumamnya, diikuti sumpah serapah yang meluncur spontan.
“Gara-gara mereka, keningku benjol!”
Ia menampar tiang itu,. Mluapkan marah. Bunyi ting terdengar dari benturan cincin di jari manisnya.

Ia menyalahkan gadis-gadis itu. Semua orang kecuali dirinya sendiri. Itu tabiat yang selalu ia pelihara.

Hari-hari berikutnya, ia seperti kesurupan. Duduk di warung kopi dari pagi sampai senja, menunggu tiga dara itu lewat. Lalu, seperti skenario Tuhan yang iseng, mereka datang lagi. Duduk di batu besar, berfoto dengan latar jembatan tua dan pohon sungan yang hampir tumbang.

Dalis memberanikan diri.

“Waktu itu... saya nabrak tiang listrik,” katanya dengan gugup.

Ansel mengangkat alis. “Tiang listrik?”

Yeni tertawa lebar. “Wah, berarti kami berbahaya ya?”
Mila menyeringai. “Atau kamu yang tolol?”

Dalis nyengir. “Mungkin dua-duanya.”

Percakapan itu jadi awal. Mereka mulai sering bertemu. Kadang di betang. Kadang di warung kopi. Kadang di hutan kecil tempat mereka mencari daun untuk anyaman. Dalis menjadi seperti sahabat. Seperti saudara. Atau... seperti lebih dari itu?

Masalahnya, Dalis tak pernah tahu pasti.

Ia menyukai Ansel. Tapi ia juga senang berbincang dengan Yeni. Dan Mila, dengan senyumnya yang pendek dan kata-kata yang hemat, membuat Dalis selalu menebak.

Ketiganya adalah satu paket. Tak bisa dipisah. Seperti langit, bintang, dan malam.

***

Suatu sore, Mila mendekatinya saat yang lain sedang menumbuk padi.

“Aku tahu kamu suka Ansel,” katanya tanpa basa-basi.

Dalis menelan ludah. “Dari mana kamu tahu?”

“Aku perempuan. Kami tahu.”

Dalis menunduk. Mila duduk di sebelahnya, mencabuti rumput.

“Tapi kamu juga sering menatap Yeni,” katanya.

“Itu... cuma kebiasaan.”

Mila menoleh cepat. “Dan kamu pikir aku bodoh?”

Diam.

Lalu Mila berkata, pelan, “Kami bertiga menyukaimu, Dal. Tapi kami bersaudara, bukan sedarah, tapi kami bersumpah tak akan saling merebut laki-laki. Jadi… kamu harus memilih. Sekarang.”

Dalis tersentak. Dunia seperti memukul dadanya.

“Sekarang?” ulangnya.

Mila mengangguk. Matanya tajam, tapi lembut.

“Kami sudah tahu siapa yang kau pilih. Tapi kami butuh kau ucapkan.”

Dalis menatap hutan di depannya. Suara burung enggang jauh terdengar. Angin menyentuh rambutnya.

“Ansel,” katanya.

Mila tersenyum tipis. “Terima kasih.”

Ia bangkit, berjalan ke dapur. Tak pernah kembali ke beranda itu.

Malamnya, Dalis mencari Ansel. Tapi Ansel menghindar.

Di betang, ia hanya mendapati Yeni yang tengah menggulung benang tenun.
“Mila sudah pergi,” katanya singkat.

“Ke mana?” tanya Dalis.

“Kemungkinan tidak akan kembali,” sahut Yeni, tanpa menoleh.
“Dan Ansel... merasa bersalah. Dia tidak mau menjadi alasan Mila meninggalkan kampung.”

Dalis tercekat. “Tapi itu bukan salah dia.”

Yeni mendongak, menatap Dalis dengan mata yang basah tapi kuat.
“Itu salah siapa pun yang mengira bisa memilah hati seperti memilih buah rambutan.”

Hari-hari berikutnya seperti kabut. Ansel mengurung diri. Yeni menjauh. Mila seperti hilang ditelan tanah. Dan Dalis? Ia tetap di warung kopi, duduk menunggu sesuatu yang tidak akan datang.

Satu hari, Ansel akhirnya bicara.

“Aku mencintaimu, Dal,” katanya. “Tapi aku lebih mencintai Mila sebagai saudariku. Aku tidak bisa menikam hatinya demi hatiku sendiri.”

Dalis terdiam.

Ansel lanjut, “Kalau kamu benar-benar mencintaiku, lepaskan aku. Dan doakan kami bertiga bisa sembuh.”

Hening.

Lalu, dengan suara serak, Dalis berkata, “Kau tahu... aku tak pernah merasa cukup pantas untuk salah satu dari kalian.”

Ansel tersenyum kecil. “Memang tidak. Tapi cinta tidak soal pantas.”

Ia meninggalkan Dalis malam itu, tanpa pelukan, tanpa salam. Hanya bayangan yang perlahan hilang di lorong rumah betang.

Satu tahun berlalu.

Taman Kelempiau tak berubah. Sungai masih mengalir pelan. Burung masih bernyanyi. Tapi tak ada lagi tawa tiga dara Iban. Rumah betang terasa sunyi. Dalis masih sesekali duduk di warung kopi. Tapi kini lebih banyak diam.

Ada kabar, Mila menikah dengan lelaki dari Kapuas Hulu. Ansel merantau ke Kuching, membuka galeri tenun. Yeni menjadi guru SD di pedalaman.

Mereka pergi ke arah yang berbeda. Tapi dalam kenangan Dalis, mereka masih berjalan bersisian, tertawa, menatap bulan yang tak pernah penuh.

Dan Dalis?

Ia tak lagi menabrak tiang listrik.

Kini ia menabrak sunyi. Setiap hari.

***
LihatTutupKomentar