Heran dan Bertanya: Pangkal Mula Filsafat

Albert Camus, filsafat, Dayak, Socrates, Dayak, thaumasia, heran, bertanya, olah pikir, akar masalah, dalam, Athena, Plato, Heidegger, scientia rerum

 

Heran dan Bertanya sebagai pangkal mula Filsafat by Grok.
Heran dan Bertanya sebagai pangkal mula Filsafat by Grok.

🌍 DAYAK TODAY  | SEKADAU: Filsafat. Mendengar kata ini, sebagian orang mungkin terperangah.


Ada sebagian orang yang membayangkan bahwa Filsafat adalah diskusi berat di ruang-ruang akademis, penuh istilah rumit dan sarat akan gagasan abstrak. 

“Itu urusan para pemikir,” kata mereka, seraya mengangguk hormat sekaligus menjaga jarak pada filsafat. 

Baca Filsafat Dayak Komprehensif, Buku Pertama di Bidangnya Diluncurkan di Sekadau

Namun, benarkah filsafat begitu jauh dari kehidupan kita? Ataukah, tanpa disadari, setiap orang pada hakikatnya berfilsafat?

Filsafat, dalam esensinya, lahir dari keheranan. Thaumasia, istilah Yunani yang digunakan Aristoteles, menangkap momen ketika manusia terpana oleh dunia di sekitarnya. 

Saat seorang anak bertanya, “Mengapa langit biru?” atau ketika kita termenung memikirkan makna hidup di tengah malam yang sunyi, itulah benih filsafat. 

Keheranan ini bukan sekadar rasa ingin tahu biasa, melainkan dorongan untuk menyelami hakikat sesuatu hingga ke akar-akarnya. Filsafat, sebagaimana dirumuskan dalam tradisi klasik, adalah scientia rerum per causas ultimas yakni ilmu yang mengupas/memandang suatu objek hingga sebab-sebab terdalamnya.

Thaumasia, keheranan sebagai pangkal mula filsafat

Bayangkan seorang petani di desa terpencil. Ia mungkin tak pernah membaca Plato atau Heidegger, tetapi ketika ia merenungkan mengapa musim hujan datang terlambat atau bagaimana ia bisa hidup selaras dengan alam, ia sedang berfilsafat. Ia mencoba memahami sebab-sebab di balik fenomena yang ia hadapi. 

Baca Calon CEO Keling Kumang Ditempa Keterampilan Menulis di Rumah Panjang

Demikian pula seorang pekerja kantoran yang bergulat dengan pertanyaan, “Apakah pekerjaanku ini bermakna?” atau seorang ibu yang bertanya-tanya bagaimana mendidik anaknya dengan penuh kasih di tengah dunia yang kian kompleks. 

Filsafat bukan monopoli para cendekiawan. Filsafat adalah panggilan jiwa manusia untuk bertanya.

Namun, mengapa filsafat kerap dianggap elitis? Bisa jadi hal itu karena sejarahnya yang panjang dan tradisi penulisannya yang sarat istilah teknis. 

Dari Socrates yang berkeliling Athena mengajukan pertanyaan-pertanyaan tajam, hingga Kant yang merumuskan imperatif kategoris, filsafat memang sering disampaikan dalam bahasa yang tak selalu ramah bagi awam. 

Akan tetapi, di balik kerumitan itu, inti filsafat tetap sederhana: ia adalah usaha untuk memahami dunia dan tempat manusia di dalamnya. Ia mengajak kita untuk tidak sekadar menerima realitas apa adanya, tetapi untuk menggali lebih dalam, mencari tahu “mengapa” di balik “apa”.

Filsafat mengajarkan kerendahan hati

Filsafat juga mengajarkan kerendahan hati. Ketika kita bertanya tentang makna kehidupan, keberadaan Tuhan, atau keadilan, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa jawaban mutlak sering kali sulit diraih. 

Socrates misalnya, terkenal dengan pernyataannya, Ἓν οἶδα ὅτι οὐδὲν οἶδα - Hen oida hoti ouden oida : Satu hal yang aku tahu, yaitu bahwa aku tidak tahu apa-apa."

Pengakuan ini bukan kelemahan, melainkan kekuatan. Ia mengingatkan kita bahwa pencarian kebenaran adalah perjalanan tanpa akhir, yang justru memperkaya makna hidup.

Di era modern, ketika informasi mengalir deras dan teknologi mengubah cara kita hidup, filsafat menjadi semakin relevan.

Baca "Dayak" as a Standardized Term: A Unifying Identity

 Bagaimana kita menentukan batas antara manusia dan mesin ketika kecerdasan buatan kian canggih? Apa arti kebebasan di tengah algoritma yang mengatur pilihan kita? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar teknis, melainkan filosofis. Mereka menuntut kita untuk merenungkan esensi kemanusiaan, moralitas, dan tujuan hidup.

Filsafat cermin jiwa

Filsafat, pada galibnya, adalah cermin jiwa manusia. Ia mengajak kita untuk berhenti sejenak, menarik napas, dan bertanya: “Apa yang sebenarnya kita cari dalam hidup ini?” Ia tidak selalu memberikan jawaban pasti, tetapi ia memberi kita alat untuk menjelajahi pertanyaan-pertanyaan besar itu. 

Dan barangkali, dalam proses bertanya itulah kita menemukan makna sejati. Seperti kata filsuf Prancis, Albert Camus, “Manusia adalah makhluk yang selalu mencari makna, bahkan ketika dunia tampak absurd.” 

Maka, berfilsafatlah. Sebab itulah yang membuat kita manusia.

-- Masri Sareb Putra

LihatTutupKomentar