Sisa Cinta yang Kandas di Tepian Kapuas | Cerpen Masri Sareb Putra
Mei Siang dan Narung. Ilustrasi by AI. |
Cinta itu seperti kabut di Sungai Kapuas: lembut menyapa, namun lenyap saat mentari naik. Begitulah Mei Siang mengenangnya, saat Narung muncul dari embun pagi, membawa dunia yang lebih hidup dalam tatapannya yang tenang.
Di SMA kecil di kota tepian sungai itu, Narung selalu tiba paling awal. Rambutnya basah embun, seragamnya kadang beraroma tanah basah hutan Kalimantan, dan di tangannya selalu ada buku keuangan berbahasa Inggris yang tak banyak dimengerti teman sekelasnya. Ia bukan anak kota, tapi ada ketenangan dalam dirinya—seperti arus Kapuas yang menyimpan rahasia di kedalamannya.
Mei Siang, gadis Tionghoa dari keluarga pedagang material bangunan, tertarik bukan hanya pada wajah Narung yang tegas, melainkan pada caranya memandang dunia: diam, dalam, dan penuh keyakinan. Ayahnya, Akiang Tesalonika, adalah pedagang sukses namun konservatif, yang menilai dunia dari laba dan status sosial. Ia bukan sekadar pria keras kepala; di balik sikapnya yang kaku, ia menyimpan luka dari masa lalu keluarganya yang pernah kehilangan banyak karena ketidakpastian ekonomi.
Awalnya, Mei Siang dan Narung hanya saling mencuri pandang. Hingga suatu sore, saat hujan tiba-tiba mengguyur dan siswa lain berlarian ke kantin, mereka berteduh di bawah patung Bunda Maria di taman sekolah. Hujan seperti membuka pintu percakapan pertama mereka—canggung, tapi jujur, seperti detak jantung yang tak bisa dibohongi.
Narung bukan lelaki yang pandai merangkai kata, tapi setiap ucapannya punya tujuan. Sejak hari itu, hidup Mei Siang berubah. Mereka menjalin hubungan dalam teka-teki kecil: puisi yang diselipkan di laci, teh dingin yang ditinggalkan di bangku perpustakaan, atau langkah beriringan di gerbang sekolah tanpa bersentuhan, namun terasa seperti memeluk dunia.
Saat kelulusan tiba, mereka berjanji untuk tetap bersama, meski jarak dan waktu mengintai. Mei Siang mendapat beasiswa ke Universitas Nasional Taiwan, sementara Narung, berkat ketekunannya di Credit Union lokal, diterima kuliah Manajemen Keuangan di Amerika. Mereka yakin cinta mereka cukup kuat untuk bertahan.
Namun, dunia tak selalu berpihak pada yang mencinta dalam diam. Akiang menolak hubungan itu dengan tegas. “Dayak? Kau mau hidup di hutan, makan umbut, dan tinggal di rumah panjang?” bentaknya suatu malam. “Keluarga kita sudah cukup menderita karena urusan orang lain. Jangan tambah beban!” Di balik kemarahannya, ada ketakutan—trauma dari kegagalan bisnis keluarganya di masa lalu yang ia kaitkan dengan “campur tangan” dengan komunitas lain.
Mei Siang tak membantah. Air matanya jatuh di kamar asramanya di Taipei, saat ia menulis surat panjang untuk Narung. Kata-kata yang penuh luka, cinta, dan keraguan. Namun, surat itu tak pernah dikirim. Ia memilih diam, membiarkan jarak menjadi dinding yang tak terucap. Di sisi lain, ia berusaha membuktikan diri di Taiwan, menjadi mahasiswi berprestasi, namun hatinya tetap terikat pada kenangan Narung.
Narung menunggu. Di sela kuliah dan kerja paruh waktu di Amerika, ia memeriksa email setiap malam, berharap kabar dari Mei Siang. Sunyi yang ia terima tak membuatnya marah, tapi menoreh kecewa yang dalam. Ia tak pernah membenci, hanya belajar menerima. Pulang ke Kalimantan, ia memulai dari nol sebagai kasir di Credit Union kecil di pedalaman. Dalam lima tahun, ketekunan dan integritasnya mengantarnya menjadi manajer cabang—tegas, adil, dan disegani. Namun, di sudut hatinya, ada ruang kosong yang tak pernah terisi sejak Mei Siang pergi.
Suatu pagi, pintu kantor Credit Union terbuka. Seorang pria paruh baya masuk, mengenakan kemeja putih rapi, rambut disisir klimis. Narung membaca formulir pengajuan kredit, lalu terdiam. Nama itu: Akiang Tesalonika.
Kenangan lama mengalir seperti air Kapuas setelah hujan. Narung tetap tenang, mempersilakan duduk. Saat memeriksa berkas, ia bertanya pelan, “Apa kabar Mei Siang, Tuan?”
Akiang mendongak, matanya penuh penyesalan. “Ia di Taipei. Sukses, tapi... sendiri. Saya terlalu keras padanya. Dan padamu.” Suaranya parau, seolah menelan ludahnya sendiri. “Saya salah menilai orang Dayak. Bisnis saya hampir bangkrut, dan sekarang saya di sini, meminta bantuanmu.”
Narung mengangguk, tanpa dendam atau pengampunan. Ia menyetujui pinjaman itu, bukan karena belas kasihan, melainkan karena kelayakan berkas. Sebagai manajer, ia tahu batas antara hati dan tugas.
Malam itu, di rumah dinasnya, Narung membuka laci meja kayu. Di sana ada surat tanpa prangko, dikirim lewat pos Credit Union bertahun lalu. Tulisan tangan Mei Siang, singkat namun berat: “Kalau aku pulang ke Borneo, masihkah kau di sana?”
Narung menatap surat itu, lalu menyalakan lilin kecil. Ia membakar kertas itu perlahan, menyaksikan huruf-huruf menghitam dan melayang sebagai abu. Angin malam membawa abu itu ke udara, seperti kenangan yang akhirnya ia lepas.
“Aku tidak pernah pergi, Mei Siang,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Tapi kau memilih kabut yang tak pernah kembali.”
Di tepi Kapuas, Narung berdiri pagi berikutnya, menyaksikan sungai yang tetap mengalir. Ia bukan lagi lelaki yang menunggu, melainkan lelaki yang telah menemukan damai dalam dirinya. Cinta, baginya, bukan soal memiliki, melainkan keberanian untuk melepaskan—dan terus melangkah.