Hisoria Docet: Tidak Ada Kejahatan dan Perang yang Abadi

Ilustrasi sesuai teks oleh Grok.
Perang. Timur Tengah. Dan Ancaman Perang Dunia III. Itu trending topic yang menghiasai media massa dan media sosial kita hari ini.
Sejarah adalah cermin yang tak pernah berbohong. Di setiap halamannya, kita melihat kejahatan besar: perang, penindasan, dan tirani yang tampak tak terkalahkan pada masanya.
Namun, seperti hembusan angin yang lenyap di ujung malam, tidak ada kejahatan yang abadi. Firaun, Nero, Hitler, dan VOC, mereka semua adalah bukti bahwa kekuatan yang dibangun di atas penderitaan akan runtuh, meninggalkan pelajaran bagi kita untuk tidak mengulanginya.
Artikel ini menggali tiga pelajaran penting dari sejarah: kejahatan selalu memicu perlawanan, struktur yang rapuh pasti hancur, dan harapan adalah senjata terkuat umat manusia.
Kebajikan Manusia Melawan Kejahatan
Setiap kejahatan besar dalam sejarah selalu bertemu dengan perlawanan, baik dari rakyat kecil maupun kelompok yang terorganisir. Ketika Firaun menindas bangsa Israel dengan kerja paksa, legenda Musa muncul, memimpin eksodus yang mengguncang kekuasaan Mesir Kuno.
Ribuan tahun kemudian, di bawah bayang-bayang swastika Hitler, kelompok perlawanan seperti White Rose di Jerman atau pejuang bawah tanah di Polandia menentang rezim Nazi meski nyawa menjadi taruhan. Bahkan di Nusantara, petani rempah di Maluku bangkit melawan monopoli brutal VOC, menolak dijajah dalam diam.
Perlawanan ini bukan sekadar pemberontakan fisik. Ia lahir dari kebajikan manusia yang menolak tunduk pada ketidakadilan. Di tengah kegelapan Nero, ketika Roma terbakar dan Kristen dianiaya, komunitas kecil itu bertahan, menyebarkan ajaran kasih yang akhirnya mengubah dunia.
Perlawanan tidak selalu berakhir dengan kemenangan langsung, tetapi setiap tindakan keberanian adalah benih yang ditanam untuk mengguncang fondasi kejahatan. Kisah-kisah ini menyentuh hati karena mereka mengingatkan kita bahwa, bahkan di saat paling kelam, ada cahaya dalam diri manusia yang tak bisa dipadamkan.
No. | Kejahatan | Perkiraan Tahun | Mengapa Tidak Abadi | Pelajaran |
---|---|---|---|---|
1 | Firaun | ~2000–1200 SM | Kekaisaran Mesir melemah karena serangan eksternal (Hyksos, Persia), krisis lingkungan (Sungai Nil), dan pemberontakan internal, seperti eksodus Israel. Sistem perbudakan tidak berkelanjutan. | Kekuatan yang dibangun di atas penindasan rentan terhadap kehancuran karena ketidakpuasan rakyat dan tekanan eksternal. Keadilan sosial dan keberlanjutan adalah kunci kelanggengan. |
2 | Nero | 54–68 M | Kekejaman dan pemborosan Nero memicu pemberontakan elit dan rakyat Roma. Ia bunuh diri setelah dikudeta, menunjukkan ketidakstabilan kepemimpinan korup. | Kepemimpinan yang korup dan tidak stabil akan digulingkan oleh tekanan internal. Pemimpin harus memprioritaskan kebutuhan rakyat untuk bertahan. |
3 | Hitler | 1933–1945 | Nazi kalah dalam Perang Dunia II karena strategi militer yang buruk, ekonomi rapuh, dan perlawanan global serta internal (misalnya White Rose). Hitler bunuh diri saat Berlin jatuh. | Ambisi ekspansionis dan ideologi yang memecah belah memicu perlawanan global dan kehancuran diri. Persatuan dan keadilan mencegah tirani. |
4 | VOC | 1602–1799 | VOC bangkrut karena korupsi, mismanajemen, persaingan dengan Inggris, dan perlawanan lokal (misalnya di Maluku). Kekuasaan diambil alih oleh pemerintah Belanda. | Eksploitasi berlebihan dan ketidakmampuan beradaptasi menyebabkan keruntuhan. Sistem ekonomi harus adil dan adaptif untuk bertahan lama. |
Hari ini, kita melihat bayang-bayang kejahatan baru: konflik bersenjata, eksploitasi lingkungan, atau ketimpangan sosial yang menggerogoti keadilan. Namun, seperti di masa lalu, perlawanan terus muncul. Aktivis lingkungan berjuang melawan deforestasi, komunitas marginal menuntut hak mereka, dan individu biasa menggunakan suara mereka di media sosial untuk menyingkap ketidakadilan.
Hisoria docet (Sejarah mengajarkan) bahwa selama ada manusia yang berani berdiri, kejahatan tidak akan pernah menang sepenuhnya.
Kerapuhan Struktur Kejahatan
Kejahatan, meski tampak kokoh, selalu berdiri di atas fondasi yang rapuh. Firaun bergantung pada sistem perbudakan yang tidak berkelanjutan; ketika Sungai Nil kekeringan atau musuh menyerang, kerajaannya goyah. Nero, dengan kegilaannya, mengasingkan elit Romawi dan rakyat, memicu pemberontakan yang mengakhiri hidupnya. Hitler, dalam ambisinya menaklukkan dunia, meregangkan sumber daya Jerman hingga patah, sementara VOC tenggelam dalam korupsi dan mismanajemen, tidak mampu bersaing dengan kekuatan baru seperti Inggris.
Kerapuhan ini bukan kebetulan. Sistem yang dibangun di atas penindasan atau eksploitasi selalu memiliki celah: ketidakpuasan rakyat, kelemahan ekonomi, atau konflik internal. VOC, misalnya, mengejar keuntungan dengan menguras tanah jajahan, tetapi lupa bahwa petani yang kelaparan tidak akan selamanya patuh. Hitler mengira ideologi rasisnya akan menyatukan Jerman, tetapi justru memecah belah sekutunya dan memicu perlawanan global. Nero, dalam obsesinya akan kemewahan, mengabaikan kebutuhan rakyatnya, hingga akhirnya ditinggalkan.
Pelajaran ini relevan untuk masa kini. Sistem atau individu yang mengutamakan kekuasaan atau keuntungan di atas kemanusiaan selalu membawa benih kehancuran mereka sendiri. Perusahaan yang mengeksploitasi pekerja atau lingkungan mungkin meraup untung sementara, tetapi boikot konsumen atau regulasi baru bisa mengguncang mereka. Pemimpin yang korup mungkin bertahan untuk waktu lama, tetapi kebenaran, seperti air yang merembes melalui celah-celah batu, pada akhirnya akan menghancurkan mereka. Sejarah adalah pengingat bahwa tidak ada benteng kejahatan yang tak bisa ditembus.
Harapan: Senjata Terkuat Umat Manusia
Di tengah kisah kehancuran kejahatan, ada benang merah yang menghangatkan hati: harapan. Harapan inilah yang membuat manusia terus berjuang, bahkan ketika segalanya tampak sia-sia. Ketika Firaun memerintah dengan tangan besi, bangsa Israel memimpikan tanah yang dijanjikan. Di bawah teror Nero, komunitas Kristen berpegang pada iman mereka, menabur benih perubahan yang kelak mengguncang Kekaisaran Romawi. Melawan Hitler, Sekutu bersatu, dan jutaan orang biasa—dari pejuang bawah tanah hingga tentara di garis depan—berkumpul demi dunia yang lebih baik. Bahkan di Nusantara, meski VOC menindas, rakyat pribumi tidak pernah kehilangan semangat untuk merdeka, benih yang kelak mekar menjadi kemerdekaan Indonesia.
Harapan bukan sekadar angan-angan kosong. Ia adalah kekuatan yang mendorong tindakan, menyatukan orang, dan membentuk masa depan. Ketika VOC bangkrut dan kekuasaannya diambil alih, rakyat jajahan melihat celah untuk melawan. Ketika Hitler jatuh, dunia membangun institusi seperti PBB untuk mencegah perang serupa. Harapan adalah api yang terus menyala, bahkan di tengah badai.
Hari ini, kita hidup di dunia yang penuh tantangan: perubahan iklim, konflik geopolitik, dan ketidakadilan sosial. Namun, harapan tetap hidup. Kita melihat generasi muda yang menuntut perubahan, ilmuwan yang mencari solusi untuk krisis lingkungan, dan komunitas yang bersolidaritas melawan ketidakadilan. Sejarah mengajarkan bahwa, selama ada harapan, tidak ada kejahatan yang bisa bertahan selamanya. Harapan adalah senjata terkuat kita, dan dengan itu, kita bisa membangun dunia yang lebih adil.
Menatap Masa Depan dengan Keberanian
Firaun, Nero, Hitler, dan VOC adalah simbol kejahatan yang pernah mengguncang dunia. Namun, mereka juga adalah bukti bahwa tidak ada kekuatan jahat yang abadi. Perlawanan manusia, kerapuhan sistem penindasan, dan kekuatan harapan selalu menjadi kunci untuk mengakhiri tirani. Kisah-kisah ini bukan sekadar cerita masa lalu; mereka adalah seruan untuk bertindak di masa kini.
Kita tidak boleh diam ketika ketidakadilan merajalela. Seperti pejuang di masa lalu, kita harus berani melawan, baik dengan suara, tindakan, atau solidaritas. Kita juga harus belajar dari kerapuhan kejahatan: bahwa sistem yang tidak adil tidak akan bertahan jika kita terus menekan celah-celahnya. Dan yang terpenting, kita harus menjaga harapan, karena itulah yang membuat kita terus berjalan, bahkan di tengah kegelapan.
Sejarah bukan hanya tentang apa yang telah terjadi, tetapi juga tentang apa yang bisa kita ciptakan.
Mari kita jadikan pelajaran dari Firaun, Nero, Hitler, dan VOC sebagai pengingat bahwa kejahatan, betapa pun kuatnya, tidak akan pernah abadi.
Dengan keberanian dan harapan, kita bisa membentuk masa depan yang lebih baik, bukan hanya untuk diri kita, tetapi untuk generasi yang akan datang. Karena, pada akhirnya, kebaikanlah yang akan menang, dan itulah warisan sejati umat manusia.
-- Rangkaya Bada