Menulis dan Menerbitkan Buku yang Sudah Dibeli
You can sell a book with your idea. |
Ada ironi kecil yang selalu menyelinap dalam kerja menulis hari ini: buku itu belum selesai ditulis, tapi sudah dibeli. Dipesan, dibayar muka, bahkan kadang dipuji lebih dulu.
Dulu, penulis menulis dulu, berbulan-bulan di ruang sepi. Barangkali sambil meragukan dirinya sendiri. Lalu menerbitkannya, menunggu takdir, dan berharap pasar datang.
Baca Prof. Agus Pakpahan dan Koperasi : Ketika yang Besar Belajar Belarasa dan Jujur dari yang Kecil
Kini, di zaman algoritma, yang datang lebih dulu justru pasar.
Bappenas memesan. Sebuah perusahaan sawit besar di Jakarta, Tbk, ikut memesannya. Sebelum huruf pertama diketik, sebelum paragraf pembuka dipilih, pesanan telah dikirimkan.
You can sell a book with your idea
Bahkan, seperti kata seorang John Kremer yang gemar bicara pemasaran: “You can sell a book by its cover.”
Tapi saya lebih suka menambahkan, “You can sell a book with your idea.” Gagasanlah yang menjual. Kalimat pembuka belum lahir, tapi semangatnya sudah diteriakkan.
Sejak 2014, ketika saya memutuskan berhenti dari kerja nine to five, sebuah ritme yang memenjarakan waktu menjadi kotak-kotak delapan jam, saya mulai mempraktikkan anjuran John Kremer dengan setengah ragu, setengah percaya.
“You can sell a book by its cover,” katanya. Tapi pengalaman saya membisikkan sesuatu yang lebih dalam: Anda bisa menjual buku dengan gagasan.
Saya tidak tahu kapan tepatnya adagium itu lahir dalam kepala saya, mungkin di antara malam yang sunyi dan halaman kosong yang menunggu diisi, tapi saya tahu, ia datang setelah serangkaian peristiwa yang membuat saya lebih percaya pada makna daripada benda, pada ide daripada objek.
“Mas Piet”, begitu saya menyapanya, tokoh utama yang menulis buku ini, membenarkan intuisi itu, dengan cara yang tak sengaja, bahkan mungkin tak ia sadari.
Kami berbincang panjang tentang banyak hal: tentang kelapa sawit dan etika, tentang sejarah dan ingatan, tentang tanah dan tubuh yang tak bisa dipisahkan dari akar. Dari sana saya makin yakin: buku bukan sekadar kumpulan kertas yang ditintai, dipotong rapi, lalu dijilid dan dipajang.
Buku adalah wadah gagasan dan gagasan, jika ia jernih dan kuat, mampu menembus ruang yang tak bisa dijangkau brosur iklan atau presentasi PowerPoint.
Ada semacam kekudusan dalam gagasan yang lahir dari pengalaman. Gagasan yang tak dijual karena kebutuhan pasar, melainkan karena panggilan batin. Bukan demi sensasi, tapi demi menjelaskan kenyataan yang tak sempat ditulis koran. Buku semacam itu lahir seperti anak yang tak dipersiapkan, tapi dicintai sepenuhnya. Dan tak semua orang bisa melakukannya karena bukan semua orang bersedia tinggal cukup lama di dalam sunyi untuk mendengar gagasan itu berbicara.
Di masa kini, saat segala sesuatu bisa dibeli dengan klik, saat konten berlomba menjadi cepat dan dangkal, buku dengan gagasan justru menjadi semacam perlawanan kecil. Sebuah perlambatan yang disengaja. Ia tak berteriak, tapi mendesak pelan. Ia bukan promosi, tapi permenungan. Dan mungkin karena itu, ia tetap dicari oleh mereka yang percaya bahwa berpikir masih relevan.
Mas Piet menulis bukan untuk menjual, tapi untuk menjelaskan. Bukan untuk menaklukkan pasar, tapi untuk memahami kenyataan. Dan saya, yang sempat keluar dari lorong kerja sembilan-ke-lima itu, merasa seperti kembali ke titik mula: menulis, karena percaya bahwa kata-kata bisa menjadi rumah bagi ide, dan bahwa rumah semacam itu selalu punya pengunjungnya sendiri.
Saya tidak tahu apakah ini kemenangan atau kekalahan bagi dunia penulisan.
Yang jelas, ini adalah zaman kita. Zaman ketika pre-order bukan lagi istilah mewah. Di zaman digital, menulis bukan sekadar aktivitas kreatif; ia menjadi bagian dari strategi komunikasi, dari diplomasi, bahkan dari perebutan narasi global. Dan di sinilah letak tantangannya.
Sawit
Kata itu bisa menimbulkan dua reaksi: kesal atau kagum. Di ruang diskusi global, sawit adalah biang deforestasi. Di layar proyektor konferensi iklim, ia jadi musuh bersama. Tapi di pasar dan di piring makan kita, sawit tetap hadir dalam berbagai bentuk: minyak goreng, sabun, kosmetik, bahkan bahan bakar. Sawit, suka atau tidak, adalah bagian dari kehidupan modern. Dan bagi Indonesia, ia adalah urat nadi ekonomi.Baca Pidato Prabowo Terkait Ekstensifikasi Sawit bagi Perusahaan dan Harapan bagi Petani Sawit Mandiri
Tapi apakah kita pernah membicarakannya dengan jujur? Buku ini ingin mencoba itu. Ia tidak ingin membela. Ia hanya ingin meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Fakta bahwa sawit ditanam juga di lahan marginal, yang tidak subur, sering diabaikan. Fakta bahwa negara-negara Barat pernah menggunduli hutan mereka demi pertanian dan peternakan juga jarang disebut.
Ada bias dalam definisi. Ketika hutan tropis kita diubah menjadi kebun, itu disebut deforestasi. Tapi ketika padang salju berubah menjadi ladang gandum di belahan bumi lain, itu disebut pembangunan. Mengapa? Buku ini tidak ingin marah, tapi ingin bertanya. Ingin memahami. Dan ingin agar kita tidak hanya menjawab kampanye negatif dengan amarah, tapi dengan argumen dan data.
Kunjungi Sawit untuk Dunia dan Lingkungan
Menulis buku seperti ini, yang sudah dipesan sebelum lahir, bukan pekerjaan mudah. Ada godaan untuk menjadikannya brosur. Tapi justru karena ia sudah “dibeli”, penulis punya utang: menyusun narasi yang tidak sekadar membela, tapi mencerahkan. Yang bisa dibaca dengan kepala dingin, dan tidak semata-mata mengabdi pada pesanan.
Buku ini, Sawit untuk Dunia dan Lingkungan, ingin mengajak kita berpikir ulang. Bukan untuk menyangkal tantangan yang ditimbulkan oleh industri ini, tapi untuk menimbang dengan lebih adil. Ia ingin mengubah cara kita mendengar. Bukan hanya menyimak suara dari Eropa, tapi juga dari desa-desa tempat sawit menjadi tumpuan hidup.
Baca Industri Sawit bagi Masyarakat Kalimantan
Pada akhirnya, inilah buku zaman sekarang. Ia ditulis di tengah tarik-menarik antara pasar, negara, dan warga global. Ia lahir dari gagasan yang menjual, dan dari kenyataan yang lebih rumit dari sekadar pro dan kontra.
Dan barangkali itulah tugas buku hari ini: bukan hanya menyampaikan jawaban, tapi mempersulit pertanyaan.
-- Rangkaya Bada