Industri Sawit bagi Masyarakat Kalimantan

sawit, Kalimantan, APBN, surplus, Tandan Buah Segar, TBS, mesin ekonomi, sawit mandiri, petani, UMKM, Tungkot, Indonesia, Sumatra, Riau, Sarawak

Industri Sawit bagi Masyarakat Kalimantan
SAWIT berbeda dengan industri tanaman lain, menjanjikan kemakmuran bagi petaninya. Sumber: dayaktoday.com

🌍 DAYAK TODAY  |  SINTANG: Neraca perdagangan non-migas Indonesia mengalami surplus sebesar USD 12,5 miliar demikian data Badan Pusat Statistik (BPS) pada periode Januari–Juli 2020.


Menariknya, sekitar USD 11,9 miliar atau 95 persennya berasal dari devisa sawit. Tanpa sawit, Indonesia nyaris pasti mengalami defisit.

Nilai USD 11,9 miliar—setara sekitar Rp 170 triliun—bahkan dua kali lebih besar dari total anggaran penanganan Covid dari APBN yang hanya Rp 75 triliun. 

Tak hanya menopang neraca perdagangan, devisa sawit turut menjaga daya beli, mendorong konsumsi, investasi, dan stabilitas ekonomi nasional di masa krisis.

Dari lahan desa ke bursa Dunia

Kejayaan sawit Indonesia bertumpu pada desa-desa. Dari 200 lebih kabupaten sentra sawit, jutaan petani, UMKM, dan koperasi terlibat langsung dalam rantai produksi. Ini bukan semata kisah konglomerasi dan perusahaan besar. 

Di Kalimantan, Sumatra, dan Riau, rakyat mengelola kebun sawit secara mandiri dan kolektif.

Harga Tandan Buah Segar (TBS) ikut melonjak, didorong permintaan global yang tinggi. 

Tak sedikit pabrik pengolahan sawit kini berd, iri tak jauh dari kebun rakyat —bahkan didirikan oleh koperasi tani, bukan oleh perusahaan. Inilah wajah ekonomi rakyat sejati.

 “Petani bukan objek. Mereka subjek ekonomi,” tegas Tungkot.

Dampak Industri sawit bagi masyarakat Kalimantan

Kalimantan, dengan luasan lahan dan populasi agrarisnya, kini menjadi jantung baru industri sawit Indonesia. Bersama Brunei dan Sarawak, kawasan Borneo menyumbang 64 persen dari total lahan sawit nasional dan 71 persen dari total produksi.

Sawit telah membawa perubahan besar. Dari pola hidup subsisten ke ekonomi pasar. Dari hutan ke kebun. Dari ladang berpindah ke pola tanam permanen. Banyak masyarakat lokal yang merasakan manfaat langsung: peningkatan penghasilan, lapangan kerja, jalan desa, hingga listrik dan sekolah.

Namun, dampak sosial-ekologis tak bisa diabaikan. Di beberapa tempat, tanah adat dijual ke perusahaan. Hutan dirambah. Sistem nilai berubah. Masyarakat menjadi sangat tergantung pada satu komoditas: sawit. Jika harga turun, ekonomi desa ikut terpukul.

Meski demikian, banyak juga cerita harapan. Petani sawit mandiri bermunculan. 

Pabrik kecil milik koperasi tumbuh. Kesadaran untuk menjaga hutan adat dan tembawang meningkat. Kalimantan sedang menulis narasi baru: sawit berbasis rakyat dan berwawasan lingkungan.

Mesin ekonomi dari pinggiran

Di saat kota-kota besar lesu akibat pandemi, desa-desa sawit justru menjadi mesin ekonomi yang tangguh. Uang berputar cepat: dari panen ke pabrik, ke warung, ke koperasi, lalu kembali ke kebun. Sebuah siklus ekonomi yang sehat dan mandiri.

“Mesin ekonomi di sentra sawit bergerak lebih cepat. Kita berharap semangat ini bisa menular ke kota-kota yang sedang stagnan,” kata Tungkot.

Sawit hari ini bukan hanya soal devisa atau ekspor. Ia adalah soal hidup rakyat di seberang ladang. Sawit menyentuh dapur petani, pendidikan anak-anak, hingga pembangunan desa. 

Namun pertanyaan besar tetap menggantung: Mampukah negara mengelola sawit sebagai instrumen pembangunan yang adil, berkelanjutan, dan berpihak pada rakyat?

Satu hal yang pasti: sawit telah menyelamatkan Indonesia dari resesi. Dan lebih dari itu, sawit telah mengangkat harkat hidup jutaan rakyat desa. Kini saatnya menjadikan mereka bukan hanya buruh sawit, tetapi tuan di kebun sendiri.

-- Nourma Savitri, peneliti Sawit, tinggal di Jakarta.

LihatTutupKomentar