Dayak dan Oligarki : dikawan dulu, kalau kuat, baru: dilawan!
Dayak dan Oligarki : dikawan dulu, kalau kuat, baru: dilawan! Cover by: AM. |
🌍 DAYAK TODAY | SINTANG: "Oligarki itu tembok," penulis buku ini memulai dengan gambaran yang tajam.
Sebuah metafora yang menggambarkan betapa keras. Dan tak terjangkaunya kekuatan yang terpusat dalam tangan segelintir orang.
Tembok ini bukan sekadar penghalang fisik, tetapi penghalang komunikasi, penghalang pada keadilan. Tembok hanya mengenal gema suaranya sendiri. Dan begitu kerasnya sehingga suara-suara lain, apalagi yang menentang, hampir tak terdengar.
Hobbes: Negara = Leviathan
Melawan kekuasaan seperti ini, menurut Masri Sareb Putra, adalah usaha yang hampir sia-sia. Seperti membenturkan kepala ke dinding, sia-sia dan bahkan bisa menghancurkan nalar.
Baca Apai Janggut Pilih Aren bukan Sawit
Penulis mengingatkan kita pada sebuah pemikiran besar dari Thomas Hobbes dalam mahakarya Leviathan mengingatkan bahwa negara adalah Leviathan, sebuah tubuh raksasa yang penuh kekuasaan.
Dalam tubuh raksasa itu, oligarki bertumbuh sebagai organ yang rakus. Memakan segala sumber daya, tanah, dan bahkan sejarah. Sebuah analisis yang mengingatkan kita pada bagaimana kekuatan besar ini sering kali menggerogoti segala yang dianggapnya bisa dimanfaatkan.
Tetapi di sini, penulis bukan hanya menyerah pada pandangan pesimis tentang kekuasaan. Penulis menekankan Dayak —atau siapa saja yang merasa tertindas oleh sistem seperti ini— jangan hanya melawan, jangan sekadar menghadapi dengan kekerasan.
Melawan dengan kekuatan fisik bisa dilumatkan. Namun, siasat adalah cara yang berbeda, cara yang lebih halus namun lebih dalam. Siasat itu seperti akar pohon ulin—diam, tapi menyusup jauh, tak tampak namun mampu merobohkan dari dalam.
Kaum itu sendiri yang mengubah nasibnya
Dalam perspektif penulis, kaum yang bisa mengubah arah sejarah bukanlah mereka yang menyusun undang-undang di ruang rapat dengan pena korporasi di tangan.
Baca Filsafat Dayak sebagai Penanda Kebangkitan Intelektual "Dari Dalam"
Bukan pula para pemilik modal yang melihat dunia ini sebagai pasar. Tetapi mereka yang terletak di lereng-lereng sepi, para petani yang tak tergoyahkan, yang memilih untuk tidak menjual tanah mereka. Tanah, bagi mereka, bukan sekadar benda mati, tetapi nadi yang menghidupi, tempat roh leluhur bersemayam dan tempat anak cucu akan berpijak.
Ada juga para tetua yang tak punya pangkat formal, tetapi memiliki kekuatan dalam wibawa dan pengetahuan. Mereka yang mengajari anak cucu untuk membaca hutan seperti membaca doa, memahami bahasa angin, dan tahu kapan pohon berbicara dan tanah mengeluh. Mereka adalah penjaga kearifan lokal yang tak terlihat, namun sangat vital bagi kelangsungan budaya dan tanah mereka.
Masri mengangkat peran intelektual kampung—mereka yang menulis dengan tinta getah pohon, yang menyimpan arsip dalam ingatan dan nyanyian, yang menjaga sejarah bukan dengan kata-kata yang menghapus, tetapi dengan menanamkan kembali cerita-cerita mereka ke dalam kehidupan. Ini bukan tentang revolusi fisik yang berdarah-darah, melainkan tentang menjaga, menuliskan, dan mengingat—sebuah bentuk perlawanan yang lebih tenang, tetapi jauh lebih tahan lama.
Oligarki dikawan dulu, kalau kuat, baru: dilawan!
Penulis buku ini mengingatkan kita bahwa dalam menghadapi oligarki yang besar dan tampaknya tak terkalahkan ini, kekuatan terbesar bukanlah dalam benturan yang keras, tetapi dalam keteguhan untuk tetap menjadi diri sendiri. Ini adalah suatu perlawanan yang tak perlu menentang dunia yang sibuk menjual nama dan tanah, melainkan untuk tetap teguh dalam keaslian dan nilai-nilai yang lebih luhur, yang mengakar dalam sejarah dan tanah mereka.
Baca Agama Asli Suku Dayak dari Sisi Akademik
Inilah kekuatan terbesar dari mereka yang memiliki keteguhan hati dan keberanian untuk tetap menjadi diri mereka sendiri, tanpa kehilangan identitas dan martabat, meski dunia di sekitar mereka terus bergerak dengan arus kepentingan yang berbeda.
Pustaka dengan "ceruk pasar" khusus dan berbeda ini adalah buku ke-214 dari sang penulis yang, menurut Korrie Layun Rampan, "prolifik," kelahiran Jangkang, perbatasan dengan Sarawak, Malaysia, yang kini tinggal di Jakarta namun hatinya tetap tertinggal di Borneo.
Fokus topik Dayak, sejak 1984
Sebagai penulis yang sudah melahirkan ratusan karya, yang dimuat media seperti Kompas sejak 1984, Masri terus menunjukkan dedikasinya dalam menulis tentang eksistensi, sejarah, kehidupan, budaya, dan perlawanan yang kadang dengan "diam" namun muncul dalam sprit ngayau pada waktunya khas orang Dayak.
Buku ini yang ditulis secara polulis dengan pendekatan yang khas dan mendalam, menggali aspek-aspek yang mungkin belum pernah dikupas sebelumnya. Berupaya menjadi suara bagi mereka yang sering kali terpinggirkan dalam sejarah arus utama.
Pustaka yang tidak hanya mencatatkan jejak sejarah, tetapi juga memelihara ingatan kolektif dan harapan masa depan bagi orang-orang Borneo.
-- Fidelis Saputra