Sawit menjadi Tuan di Tanah Kalimantan

sawit, dunia, Kalimantan, produksi meningkat, dari 23, 1 % menjadi 31,5%, tuan, dominan, petani mandiri, tandan buah segar, TBS, oil palm, CPO, Dayak

Sawit menjadi Tuan di Tanah Kalimantan
Produksi sawit 2023/4 - 2023/4: kian melonjak dan menjadi keperluan-utama dunia. Oil World Annual 2024.

🌍 DAYAK TODAY  |  PONTIANAK: Dua puluh tahun, hanya dua puluh tahun. Dari 2023/4 - 2023/4.


Waktu yang terasa begitu singkat, tapi cukup untuk mengubah segalanya. Dari angka-angka yang semakin membengkak, kita tahu sesuatu yang sangat besar telah terjadi. 

Sawit, tanaman yang dulu hanya sebaris di antara tanaman lain, kini menjelma menjadi kekuatan yang menguasai dunia. 

Baca Industri Sawit bagi Masyarakat Kalimantan

Angka itu tak bisa lagi dipandang sebelah mata: dari 23% menjadi 31,5%. Sebuah pertumbuhan yang menggila, yang tidak hanya terlihat di layar komputer, tapi merembet ke dalam kehidupan yang semakin asing.

Di balik angka luasan sawit

Namun, di balik angka-angka itu, ada sesuatu yang kita abaikan. Di tanah yang subur itu, di hutan yang dulu hijau dan penuh dengan cerita, di sungai yang dulunya membawa kehidupan, kini ada ruang kosong. 

Ada kesedihan yang perlahan tumbuh, menggantikan riuhnya pohon-pohon yang berdiri tegak. Sawit telah memotong akar kehidupan itu, menggantinya dengan batang-batang yang rapuh, yang hanya bertahan karena di bawahnya ada minyak yang terus mengalir.

Baca Dayak dan Oligarki : dikawan dulu, kalau kuat, baru: dilawan!

Kita seolah tidak bisa melihatnya. Kita semua tergila-gila dengan "produksi." Seperti sebuah mantra yang membuat kita tak pernah berhenti berpikir tentang jumlah, angka, keuntungan. 

Kita menganggap dunia ini sebagai pabrik raksasa. Tempat segala sesuatu harus diproduksi, diperbanyak, dan dijual. Tapi ada yang hilang di sana. 

Tanah yang dulu berbicara lewat gemericik air sungai, suara langkah kaki orang-orang di atas daun kering, kini hanya diam. Tidak ada lagi suara riang dari anak-anak yang bermain di bawah pohon besar. Tidak ada lagi aroma tanah basah yang membawa ingatan tentang kehidupan yang saling bergantung satu sama lain. Semua itu hilang begitu saja, terkubur di bawah gurun sawit yang menghampar tanpa ampun.

Sawit sudah menjadi tuan di tanah Dayak (kita)

Sawit dulu hanyalah salah satu dari banyak pilihan. Ia tidak lebih penting dari minyak kelapa atau kedelai. Tapi kini, sawit sudah menjadi tuan di tanah kita. Ia bukan lagi sekadar tanaman, ia adalah kekuasaan yang mencengkeram, yang menembus setiap sendi kehidupan. 

Dari sabun yang kita gunakan untuk membersihkan tubuh kita, sampai cokelat yang kita nikmati sebagai pelepas penat, minyak sawit hadir di sana. Dari bahan bakar yang menggerakkan kendaraan kita hingga produk-produk lain yang kita konsumsi dengan tak sadar. Tanpa kita sadar, kita telah menjadi bagian dari dunia yang lebih besar, dunia yang didirikan di atas punggung bumi yang terkikis.

Di balik kenyamanan itu, kita seharusnya bertanya, bukan? 

Apa yang kita bayar untuk semua ini? 

Apa yang benar-benar hilang? 

Ketika kita menyebut "produksi," kita lupa bahwa di balik itu ada biaya yang tak terbayar, ada kepedihan yang tak terdengar. Kita kehilangan lebih dari sekadar hutan atau tanah. Kita kehilangan ingatan kita tentang bagaimana dunia ini berjalan dengan harmoni. Kita lupa bahwa kita pernah hidup berdampingan dengan alam, bukan menguasainya.

Baca Kalimantan, Sapi Perah Republik yang Terlupakan? (In-depth reporting)

Dunia berubah, ya! Tapi di tengah segala kegembiraan kita menyambut kemajuan, ada suara-suara yang perlahan menghilang. Suara dari tanah yang tak lagi berbicara, dari sungai yang tak lagi mengalir, dari pohon yang tak lagi tumbuh. 

Sawit telah membuat dunia kita lebih gemuk, lebih kaya, lebih efisien. Tapi pada saat yang sama, dunia kita juga semakin sunyi. Hutan yang dulu penuh dengan lagu burung dan bisikan angin kini hanya menjadi bayang-bayang yang terhapus dari peta.

Apakah kita siap untuk menerima kenyataan bahwa perubahan ini tidak datang tanpa harga? 

Apakah kita siap untuk mengingat bahwa setiap langkah kita menuju "kemajuan" mungkin mengorbankan sesuatu yang tak bisa kita hitung dengan angka? 

Dunia yang lebih cepat, lebih besar, dan lebih kaya mungkin adalah dunia yang lebih sepi, lebih kosong. 

Sawit telah mengubah dunia kita. Tapi mungkin juga telah mengambil sesuatu yang jauh lebih penting: relasi kita dengan bumi ini, dengan warisan yang kita tinggalkan. Dan dengan cerita-cerita yang dulu kita ceritakan pada anak cucu kita.

Jakarta, 26 April 2025

LihatTutupKomentar