Literasi Akar Rumput Dayak yang Perlu Dibangun dan Ditumbuhkembangkan

Dayak, literasi, menulis, dari dalam, critical consciousness, insider-led storytelling, Carl Bock, Davidson, literasi akar rumput, branding Dayak


pelatihan writing skill akar rumput Dayak
Pelatihan writing skill: mengembangkan dan meningkatkan keterampilan menulis dan publikasi Dayak di akar rumput. Dok. Rmsp.

Disusun oleh: Peneliti dayaktoday.com
Tanggal rilis: 5 Juni 2025

1. Pendahuluan

Narasi tentang masyarakat Dayak selama ini kerap dibentuk oleh perspektif luar yang bias, sarat mispersepsi, bahkan menyesatkan. Sejak era kolonial abad ke-17, citra Dayak dipelintir oleh tulisan-tulisan seperti karya Carl Bock, yang memberi gambaran keliru dan eksotis. 

Sisa-sisa konstruksi naratif dari sudut pandang outsider ini masih bertahan hingga kini dan memengaruhi persepsi publik, baik nasional maupun internasional.

Baca Kalimantan, Sapi Perah Republik yang Terlupakan? (In-depth reporting)

Dalam konteks tersebut, penting bagi masyarakat Dayak, untuk merebut kembali ruang narasi melalui tulisan dan publikasi dari dalam, yakni oleh Dayak sendiri untuk menghadirkan gambaran yang autentik tentang identitas, sejarah, dan budaya mereka.

Laporan ini bertujuan menguraikan urgensi pendekatan berbasis bukti (evidence-based) dalam membangun narasi Dayak yang otentik, sekaligus sebagai strategi branding Dayak modern di tengah arus globalisasi.


2. Latar Belakang: Tantangan dalam Narasi Dayak

Selama berabad-abad, pengetahuan tentang Dayak didominasi oleh narasi asing, baik dari antropolog kolonial maupun akademisi Barat. Carl Bock, misalnya, menyebut rumah panjang Dayak sebagai "kandang bebek"; suatu penggambaran yang mengabaikan keunggulan arsitektur rumah panjang sebagai adaptasi ekologis terhadap banjir dan bahaya satwa liar.

Analisis politik Jamie S. Davidson pun mencerminkan pandangan luar yang tak sepenuhnya memahami kompleksitas sosial Dayak. Akibatnya, masyarakat Dayak sering digambarkan sebagai komunitas eksotis, primitif, atau tertinggal—padahal mereka memiliki sistem sosial, pengetahuan ekologis, dan budaya yang sangat maju.

Baca The Confluence of the Sekayam River: A Stunning View and Rich Historical Legends

Narasi-narasi bias ini berdampak luas, dari kebijakan publik hingga wacana akademik, dan menciptakan pemahaman yang keliru tentang Borneo. Maka, mendesak bagi Dayak sendiri untuk menulis ulang sejarah dan narasi mereka, berdasarkan bukti dan pengalaman hidup mereka sendiri.


3. Metodologi: Pendekatan Berbasis Bukti

Penelitian ini menggunakan pendekatan evidence-based storytelling untuk membangun narasi autentik tentang masyarakat Dayak. Pendekatan ini mencakup lima jenis bukti yang saling melengkapi:

  1. Bukti Empiris
    Temuan arkeologis, etnografis, dan ekologis, misalnya studi tentang Deep Skull di Gua Niah, yang memperkuat teori migrasi awal manusia ke Borneo dan asal-usul nenek moyang Dayak.

  2. Bukti Anekdotal
    Dokumentasi cerita rakyat, legenda, dan sejarah lisan dari para tetua adat yang memuat nilai-nilai historis dan budaya yang mendalam.

  3. Bukti Statistik
    Data kuantitatif seperti populasi Dayak yang mencapai sekitar 8 juta jiwa (ICDN, 2019), serta kajian dampak koperasi dan Credit Union terhadap ekonomi masyarakat Dayak.

  4. Bukti Tekstual
    Penafsiran ulang sumber tertulis, seperti prasasti Yupa dari abad ke-4 Masehi, dan analisis kritis atas dokumen kolonial untuk mengembalikan perspektif yang lebih akurat.

  5. Bukti Logis
    Argumen ilmiah berbasis linguistik, arkeologi, dan pola migrasi Austroasiatik serta Austronesia, yang meneguhkan posisi Dayak dalam sejarah regional Asia Tenggara.


4. Hasil dan Pembahasan

Penelitian ini mengungkap suatu transformasi paradigma dalam konstruksi narasi tentang masyarakat Dayak, yaitu pergeseran dari narasi hegemonik yang didominasi oleh suara luar (outsider-centric) menuju narasi autentik berbasis suara dari dalam (insider-led storytelling). 

Perubahan ini tidak terjadi secara mendadak, melainkan merupakan akumulasi dari berbagai upaya sadar yang dilakukan oleh akademisi, peneliti, seniman, dan intelektual Dayak dalam beberapa dekade terakhir. 

Baca Hanya Institut Teknologi Keling Kumang yang Punya: Misi

Secara teoritis, ini dapat dibaca sebagai gejala pascakolonial dalam bentuk upaya dekolonisasi narasi, di mana subjek yang selama ini menjadi objek wacana kini mengambil alih ruang artikulasi.

Narasi adalah kekuasaan. Dalam perspektif Michel Foucault, wacana adalah instrumen kekuasaan sekaligus produk dari relasi kekuasaan. Oleh karena itu, ketika narasi tentang Dayak dibentuk oleh penguasa kolonial dan intelektual asing seperti Carl Bock atau Davidson, maka yang hadir bukanlah representasi yang netral, tetapi sebuah konstruksi yang sarat kepentingan, terutama dalam mendomestikasi dan menormalisasi dominasi. Mereka menulis bukan untuk memahami, tetapi untuk mengendalikan. Narasi-narasi tersebut tidak hanya menjadi arsip sejarah, tetapi juga bekerja sebagai aparat ideologis yang memengaruhi kebijakan, struktur sosial, dan bahkan cara orang Dayak memandang dirinya sendiri.

Transformasi naratif yang ditemukan dalam penelitian ini memperlihatkan munculnya kesadaran kritis (critical consciousness) dalam kalangan penulis Dayak yang mulai menolak menjadi objek eksotisme atau antropologisasi yang menyesatkan. Mereka merebut pena sejarah dan mulai menulis dengan epistemologi mereka sendiri berlandaskan pada pengalaman, memori kolektif, adat, dan cara hidup yang mereka hidupi secara langsung. Ini tidak hanya penting dalam konteks akademik, tetapi juga dalam perjuangan identitas dan keberlanjutan budaya.

Salah satu temuan penting adalah bangkitnya literasi akar rumput yang memadukan pendekatan akademik dengan warisan lisan masyarakat adat. Penulis Dayak tidak semata-mata meniru model penulisan akademik Barat, tetapi juga menghidupkan kembali cerita rakyat, mitos penciptaan, sejarah lisan tetua adat, dan pengalaman kolektif dalam menghadapi kolonialisme, peminggiran, serta eksploitasi sumber daya alam. Pendekatan ini tidak hanya memperkaya khazanah pengetahuan, tetapi juga memberikan dimensi spiritual dan emosional yang tidak bisa dicapai oleh narasi akademik konvensional.

Fenomena ini juga menunjukkan kemunculan agen epistemik di kalangan masyarakat Dayak. Agen epistemik adalah individu atau komunitas yang secara aktif menghasilkan, menyebarluaskan, dan mengklaim pengetahuan sebagai bentuk keberdaulatan intelektual. Di tengah pusaran globalisasi dan teknologi digital, para penulis Dayak memanfaatkan blog, media sosial, video dokumenter, hingga podcast untuk menyuarakan narasi mereka. Hal ini menunjukkan bahwa transformasi naratif tidak hanya bersifat tekstual, tetapi juga mediatik dan multidimensional.

Penelitian ini mencatat bahwa lima jenis bukti yang digunakan (empiris, anekdotal, statistik, tekstual, dan logis) telah berfungsi secara komplementer dalam membentuk narasi yang kokoh dan kredibel. Misalnya, bukti empiris dari arkeologi seperti temuan Deep Skull di Gua Niah telah digunakan untuk memperkuat klaim bahwa masyarakat Dayak adalah penghuni awal Borneo yang memiliki sejarah panjang jauh sebelum kolonialisme datang. Bukti anekdotal seperti kisah-kisah dari tetua adat menunjukkan kesinambungan ingatan kolektif yang menjadi tulang punggung identitas budaya Dayak. Statistik tentang populasi Dayak dan pengaruh koperasi Credit Union menunjukkan dinamika ekonomi kontemporer Dayak yang seringkali luput dari perhatian media arus utama. Analisis tekstual terhadap prasasti Yupa dan dokumen kolonial membantu merekonstruksi masa lampau dari sudut pandang yang lebih adil. Terakhir, bukti logis melalui pemetaan migrasi Austroasiatik dan Austronesia menyuguhkan kerangka ilmiah untuk memahami dinamika sejarah yang lebih luas.

Salah satu pergeseran penting dalam narasi baru ini adalah redefinisi terhadap konsep “kemajuan.” Dalam narasi kolonial dan modernis, masyarakat Dayak sering dicitrakan sebagai tertinggal atau tidak berkembang. Namun narasi baru yang dipimpin oleh orang Dayak sendiri justru menunjukkan bahwa ukuran kemajuan tidak bisa direduksi pada indikator materialistik atau industrial semata. Dalam banyak hal, kearifan lokal Dayak dalam mengelola hutan, sistem tembawang (hutan adat), dan pranata sosial komunitarian justru menawarkan model keberlanjutan yang lebih relevan dalam menghadapi krisis iklim global. Ini adalah bentuk kontra-narasi ekologis yang secara radikal menantang logika ekstraktif kapitalisme global.

Baca Simpul Tali Tepus yang Tak Putus | Cerpen Masri Sareb Putra

Secara sosiologis, narasi Dayak yang baru ini juga merupakan bentuk resistensi terhadap marginalisasi struktural. Ketika masyarakat Dayak menulis sejarah mereka sendiri, mereka tidak hanya sedang mencatat masa lalu, tetapi juga sedang membangun masa depan. Penulisan menjadi tindakan politik yang bermakna, seperti dikatakan Paulo Freire, sebagai jalan menuju pembebasan. Dalam konteks ini, branding Dayak bukan sekadar soal citra positif, tetapi juga soal pengakuan, keberdayaan, dan keadilan epistemik.

Narasi ini memiliki dimensi pedagogis yang signifikan. Ketika generasi muda Dayak membaca kisah-kisah tentang keberanian leluhur, tentang perjuangan melawan ketidakadilan, tentang keteguhan menjaga hutan dan adat, mereka tidak hanya sedang belajar sejarah, tetapi sedang membangun rasa bangga dan percaya diri. Narasi ini menjadi fondasi bagi identitas kultural yang sehat dan dinamis, yang dapat menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan akar budayanya.

Temuan penelitian juga menunjukkan adanya koalisi naratif antara intelektual kampus dan intelektual kampung, sebagaimana terlihat dalam inisiatif Hari Studi “Bertemunya Intelektual Kampus dan Intelektual Kampung.” Forum-forum ini membuktikan bahwa pengetahuan lokal (tacit knowledge) dan pengetahuan akademik (explicit knowledge) dapat dipertemukan dalam dialog yang produktif dan saling memperkaya. Ini membuka ruang baru bagi lahirnya narasi hybrid yang menggabungkan metodologi ilmiah dengan nilai-nilai budaya lokal.

Perlu ditekankan bahwa narasi autentik ini bukanlah proyek individual, melainkan gerakan kolektif yang menuntut dukungan lintas sektor: dari dunia akademik, komunitas adat, pemerintah, hingga lembaga internasional. Hanya dengan kerja kolaboratif dan berkelanjutan, narasi Dayak yang autentik dapat terus diperkuat dan diperluas ke panggung global. Dunia perlu mengenal Dayak bukan sebagai masyarakat yang tertinggal, tetapi sebagai peradaban yang tangguh, kreatif, dan visioner.


5. Kesimpulan

Narasi autentik tentang Dayak hanya dapat dibangun melalui tulisan dan publikasi oleh masyarakat Dayak sendiri. Pendekatan berbasis bukti yang mencakup dimensi empiris, anekdotal, statistik, tekstual, dan logis menjadi fondasi penting untuk membangun narasi yang valid, kuat, dan berpengaruh.

Upaya ini tidak hanya membongkar kesalahan historis, tetapi juga menjadi strategi kultural untuk memperkuat branding Dayak sebagai masyarakat yang tangguh, maju, dan relevan di era modern. Untuk itu, diperlukan konsistensi dalam riset, peningkatan literasi budaya, dan pemanfaatan teknologi digital sebagai medium utama penyebaran narasi autentik Dayak ke dunia.



Daftar Pustaka

ICDN. (2019). Data Populasi Dayak 2019. Samarinda. Munas I ICDN.

Bock, C. (1881). The Head-Hunters of Borneo. London: Sampson Low.

Davidson, J. S. (2008). From Rebellion to Riots: Collective Violence on Indonesian Borneo. Wisconsin: University Falcon.

Manser, J. (2020). “Deep Skull and the Austronesian Migration.” Journal of Archaeological Science.

Prasasti Yupa. (Abad ke-4). Koleksi Museum Nasional Indonesia.

LihatTutupKomentar