Naskah yang Ditampik dan Waktu yang Membalasnya

Harry Potter, Margaret Mitchell, J.K. Rowling, Harper Lee, Harry Potter, Kompas, Joseph Heller. Daphne du Maurier, pengarang, penerbit, Jakarta

Naskah yang semula ditampik, jadi best seller. Ist.

Pengarang, seperti juga penaksi, jika tidak mutar-mutar dan diam, akan: mati. Tidak ada order. 

Ada saat ketika sebuah naskah ditolak.

Satu kalimat pendek, tapi bisa cukup untuk membuat seorang penulis muda, atau tua, merasa dunia tak lagi punya tempat untuk kalimat-kalimatnya.

Tapi benarkah begitu?

Saya ingat, dulu, sebuah artikel saya dimuat Kompas. Tahun 1984. Saya baru saja lulus SMA. Saya tak yakin itu karena tulisan saya istimewa. Barangkali hanya karena isu itu belum banyak dibahas. Tentang bahasa dan media. Dan barangkali juga, karena belum ada pakar yang menulisnya. Maka tulisan saya pun, seperti kayu buruk yang terpaksa dipakai karena tak ada papan lain.

Tapi di luar itu, saya sadar, apa yang sering disebut sebagai “bakat” menulis, barangkali hanya nama lain dari kegigihan. Dari kerajinan. Dari kemauan untuk terus duduk di hadapan mesin tik, atau layar kosong, dan menunggu kata demi kata datang seperti burung-burung liar yang hanya bisa dipanggil dengan sabar.

***

J.K. Rowling tahu apa artinya penolakan. Dua belas penerbit menampiknya. Ia ibu muda. Tidak kaya. Menulis dengan mesin ketik tua. Di antara kehilangan dan kesedihan—ibunya meninggal sebelum sempat membaca satu kalimat pun tentang bocah berkacamata yang akhirnya kita kenal sebagai Harry Potter.

Malam-malam yang panjang itu, barangkali diisi dengan kesangsian. Apakah dunia perlu dongeng tentang sekolah sihir?

Tapi ia terus menulis. Dan menunggu. Kadang yang kita perlukan hanyalah satu mata yang percaya. Satu penerbit yang membuka pintu. Selebihnya, sejarah.

Buku itu akhirnya diterbitkan. Indennya, sebelum buku sampai ke toko, ratusan ribu. Di Jakarta, peluncurannya dilakukan tengah malam. Di Palmerah, ribuan orang antre. Hanya untuk sebuah buku.

Harry Potter, anak yang semula hidup hanya dalam bayangan seorang ibu tunggal, kini hidup di layar lebar, di rak-rak toko buku, di imajinasi jutaan anak—dan orang dewasa—di seluruh dunia. Buku yang dulu ditampik kini telah terjual lebih dari 400 juta eksemplar.

***

Tapi Rowling bukan satu-satunya.

Margaret Mitchell pernah ditolak. Gone with the Wind kemudian jadi klasik. Stephen King? Naskah pertamanya juga sempat dianggap tak layak. Joseph Heller. Daphne du Maurier. Bahkan Harper Lee pun sempat diminta menulis ulang naskahnya berkali-kali. To Kill a Mockingbird lahir dari keteguhan, bukan keberuntungan.

Mereka menunggu. Dan waktu membalasnya.

                                                    ***

Menulis, sejatinya, adalah soal percaya. Percaya pada kalimat sendiri. Pada cerita yang hendak lahir. Juga percaya bahwa penolakan bukan tanda buruk. Kadang hanya soal waktu. Atau selera. Atau ketidaksiapan dunia untuk membaca sesuatu yang belum dikenal.

Maka jika naskah Anda ditolak, jangan lekas menyimpulkan bahwa Anda tak berbakat. Mungkin naskah itu hanya datang terlalu awal. Atau ke pintu yang salah.

Terbitkan sendiri, jika perlu. Dunia telah berubah. Tak semua buku perlu lahir lewat rahim penerbit besar. Di zaman ini, banyak jalan menuju pembaca. Yang terpenting, tetap menulis.

Sebab, suatu hari nanti, bisa jadi, penerbit yang dulu menolak naskah Anda akan datang kembali. Dengan wajah ramah dan tangan terbuka. Tapi saat itu, Anda sudah punya pilihan.

Dan Anda boleh memaafkan. Atau tidak.


Dan bukankah begitu hidup? Sebagian besar dari kita ditampik dulu, sebelum dikenal. Sebelum diterima.


 

Jakarta, 21 Juni 2025


 

LihatTutupKomentar