Petrus Gunarso, Ph.D: Konservasiolog berhati Dayak yang Menolak Pensiun

hutan, konservasi, keadilan, Dayak, Kalimantan, pakar, kehutanan, DPR-RI, Komisi IV, Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia, Persaki

 

Petrus Gunarso, Ph.D: Konservasiolog berhati Dayak yang Menolak Pensiun
Petrus Gunarso, Ph.D: 

Petrus Gunarso membawa satu kalimat tajam, "Hutan dikelola di tingkat tapak tanpa menyertakan tenaga yang kompeten." 

Ada orang-orang yang hidupnya seperti sungai, tidak pernah benar-benar berhenti. Petrus Gunarso, Ph.D. barangkali adalah salah satunya. Seorang konservasiolog, seorang yang rambutnya sengaja dibiarkan memutih, tetapi matanya tetap tajam membaca bentang hutan. 

Hidupnya tidak hanya diukur dari usia, tetapi dari seberapa banyak ia bertanya, meneliti, menulis, dan berbicara, mengenai hutan.

Baca Menulis dan Menerbitkan Buku yang Sudah Dibeli

Ia pernah belajar hingga ke Australia, meraih gelar Ph.D. sembari bekerja menarik taksi untuk membiayai hidupnya sehari-hari. Ia tak malu dengan pekerjaan itu, karena ia tahu: pengetahuan kadang menuntut pengorbanan yang tidak selalu terlihat mulia di mata orang banyak. 

Bagi Gunarso, kehutanan bukanlah sekadar bidang akademik atau pilihan profesi, ini panggilan. Ia menulis dan menerbitkan lima buku yang seluruhnya ber-ISBN, sebuah pencapaian yang mungkin tak sempat dipikirkan oleh sebagian besar sarjana kehutanan. Tapi untuk Petrus, menulis adalah bagian dari kerja konservasi, menulis adalah merawat memori, mengabarkan pengalaman, dan menciptakan narasi yang tak gampang ditelan oleh statistik belaka.

Ia tidak mengenal kata "pensiun", bukan karena ia menolak tua, tetapi karena ia merasa bahwa pekerjaan belum selesai. Hutan Indonesia terlalu luas untuk ditinggalkan pada waktu yang pasif. Di usia yang mestinya telah istirahat, ia justru semakin giat bergerak dari satu forum ke forum lain, dari seminar ke ruang dengar pendapat. Ada energi yang tak kunjung habis, atau barangkali, ada kegelisahan yang tak pernah reda.


Hutan dan Kompetensi yang Dilupakan

Hari ini, 25 Juni 2025, ia duduk sebagai narasumber dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara DPR RI Komisi IV dan Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (PERSAKI)

Barangkali orang akan menyangka ini hanya sebuah formalitas, acara rapat yang membosankan, seperti banyak pertemuan lainnya. Tetapi tidak bagi Petrus. Di tangan dan pikirannya, rapat ini menjadi panggung peringatan.

Ia membawa satu kalimat tajam, "Hutan dikelola di tingkat tapak tanpa menyertakan tenaga yang kompeten." 

Satu kalimat sederhana, tetapi di baliknya, tersimpan kritik yang dalam dan serius. Di negeri yang begitu membanggakan luas hutannya, justru praktik pengelolaannya kerap diserahkan kepada orang-orang yang tak punya dasar. 

"Hutan tropis kita, yang menjadi paru-paru dunia, ditentukan nasibnya oleh ketidaktahuan, oleh birokrasi yang pincang, oleh kebijakan yang tak menghormati ilmu," paparnya.

Baca 20 Mahasiswa ITKK Terima Beasiswa dari Solidaridad

Petrus tahu, masalah hutan bukan sekadar tentang pohon, tetapi tentang manusia, tentang pengetahuan yang diabaikan, tentang generasi muda yang tak diajak, dan tentang keahlian yang dianggap sepele. Ia tahu, penyusutan hutan adalah gejala dari penyusutan akal sehat.

Ia tidak menggurui, nada bicaranya tenang, tetapi setiap kata adalah gugatan. Gugatan terhadap sistem yang lebih sibuk menghitung hektare daripada mendengarkan para ahli. Dalam forum itu, ia tidak berbicara untuk dirinya sendiri, tetapi untuk para sarjana kehutanan di seluruh Indonesia, mereka yang bekerja dalam diam, yang punya ilmu tetapi tak diberi ruang.

“Harusnya yang memperjuangkan hutan untuk dan bagi kesejahteraan masyarakat setempat orang Kalimantan,” cetusnya. “Bukan siapa-siapa. Bukan orang Jawa.” Kalimat itu bukan seruan diskriminatif, melainkan suara jernih dari jiwa yang resah. “Namun ini adalah panggilan jiwa ilmuan, yang kritis dan berkeadilan. Masa iya, pewaris hutan selama ini dipandang sebagai liyan?” kata Gunarso.

Barangkali inilah misi hidup Gunarso, menjembatani jurang antara pengetahuan dan kebijakan. Ia tidak lelah menulis, karena ia tahu bahwa kata-kata adalah satu-satunya warisan yang tak bisa ditebang. Ia tidak berhenti bicara, karena ia percaya bahwa suara yang jernih bisa menembus ruang-ruang yang penuh kepentingan.

Baca Prof. Agus Pakpahan dan Koperasi : Ketika yang Besar Belajar Belarasa dan Jujur dari yang Kecil

Seperti sungai, ia mengalir, membawa pesan. Terus mencari jalan meski bebatuan menghadang. 

Dan kita, semestinya belajar darinya, tentang ketekunan, tentang keyakinan, dan tentang hutan yang tidak akan selamat jika diserahkan pada tangan yang salah.

-- Rangkaya Bada

LihatTutupKomentar