10 Dampak Negatif Transmigrasi di Kalimantan: Ancaman terhadap Masyarakat Adat Dayak dan Lingkungan

Perlunya Moratorium Transmigrasi, Kalimantan, penduduk asli menolak Transmigrasi, konflik sosial,

10 Dampak Negatif Transmigrasi di Kalimantan
Contoh lahan Transmigrasi di Kalimantan yang diperjualberlikan. Ist.

Program transmigrasi di Kalimantan, yang awalnya dirancang untuk pemerataan penduduk, telah menimbulkan dampak serius terhadap masyarakat adat Dayak dan lingkungan. 

🌍 DAYAK TODAY  | PONTIANAK: Dari perampasan tanah hingga deforestasi, kebijakan ini meninggalkan luka sosial dan ekologis yang berkelanjutan. 

Baca Moratorium Transmigrasi: Teras Narang Dorong Evaluasi Total demi Keadilan Sosial di Kalimantan

Berikut adalah 10 dampak negatif transmigrasi di Kalimantan yang perlu dikritisi:

  1. Perampasan Tanah Adat
    Tanah ulayat masyarakat Dayak, yang diwarisi secara turun-temurun, sering dialihkan tanpa persetujuan untuk pemukiman dan pertanian transmigran. Proses ini, yang dilegalisasi negara, merusak tatanan adat dan sistem pengelolaan tanah tradisional (Li, 2014).
  2. Deforestasi dan Kehilangan Hutan Hujan Tropis
    Pembukaan lahan transmigrasi menyebabkan deforestasi besar-besaran di Kalimantan, mengancam biodiversitas dan mempercepat krisis iklim. Jutaan hektare hutan telah hilang untuk pemukiman dan pertanian (Greenpeace Indonesia, 2019; WALHI Kalimantan Barat, 2021).
  3. Konflik Sosial dan Kekerasan Horizontal
    Persaingan atas tanah dan sumber daya antara transmigran dan masyarakat lokal memicu konflik, termasuk kekerasan antarkomunitas. Banyak sengketa agraria di Kalimantan tetap belum terselesaikan (Davidson, 2008; Komnas HAM, 2020).
  4. Marginalisasi Masyarakat Adat Dayak
    Pendekatan Jawa-sentris dalam transmigrasi mengabaikan nilai budaya lokal, menyebabkan masyarakat Dayak tersisih dari pembangunan, kehilangan ruang hidup, dan terpinggirkan secara ekonomi dan politik (Li, 2014).
  5. Ketimpangan Akses Ekonomi dan Infrastruktur
    Transmigran menerima fasilitas seperti rumah, lahan, dan kredit dari negara, sementara masyarakat lokal minim dukungan. Ketimpangan ini memicu rasa ketidakadilan di kalangan masyarakat adat (Davidson, 2008; BPS Kalimantan Barat, 2023).
  6. Hilangnya Kearifan Lokal dan Pengelolaan Alam Tradisional
    Sistem tembawang, praktik pengelolaan hutan adat yang berkelanjutan, digantikan oleh pertanian monokultur yang eksploitatif, merusak ekosistem dan menghapus pengetahuan lokal masyarakat Dayak (Elmhirst, 2001).
  7. Dominasi Politik Jawa-Sentris
    Transmigrasi menjadi alat politik untuk memperluas pengaruh Jawa di Kalimantan, mengesampingkan aspirasi masyarakat lokal dan memperkuat dominasi politik pusat (Evers, 1995).
  8. Ketergantungan pada Ekonomi Pasar dan Utang
    Peralihan dari ekonomi subsisten ke ekonomi pasar mendorong transmigran dan masyarakat lokal terjerat utang kepada tengkulak dan bank, mengurangi kemandirian ekonomi (BPS Kalimantan Barat, 2023).
  9. Kerusakan Sosial dan Budaya
    Urbanisasi akibat transmigrasi menggantikan rumah panjang Dayak dengan rumah petak, melemahkan budaya gotong royong, dan mengancam identitas budaya lokal (AMAN/Walhi).
  10. Eksploitasi Lahan untuk Perkebunan Korporasi
    Lahan transmigrasi sering beralih ke perusahaan sawit, menjadikan transmigran dan masyarakat lokal sebagai buruh di tanah mereka sendiri, memperburuk ketimpangan sosial (Greenpeace Indonesia, 2019; WALHI Kalimantan Barat, 2021).


Perlunya Moratorium Transmigrasi

Dampak negatif transmigrasi menunjukkan perlunya evaluasi menyeluruh. Partisipasi masyarakat adat, pengakuan hak tanah ulayat, dan pelestarian budaya lokal harus diprioritaskan. 

Baca Aliansi Ormas Landak Tolak Transmigrasi, Desak Pelibatan Masyarakat Adat dalam RPJMN 2025–2029

Jika transmigrasi diteruskan dan dipaksakan, konflik dan kerusakan lingkungan di Kalimantan akan terus berulang.

-- Tim Peneliti dayaktoday.com


Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik Kalimantan Barat. (2023). Statistik sosial Kalimantan Barat: Dampak transmigrasi. Pontianak, Indonesia: BPS Kalimantan Barat.

Davidson, J. S. (2008). From rebellion to riots: Collective violence on Indonesian Borneo. Singapore: NUS Press.

Elmhirst, R. (2001). "Resource struggles and transmigrant politics in Central Kalimantan." Journal of Southeast Asian Studies, 32(3), 315–330.

Evers, H.-D. (1995). Pengembangan wilayah dan permukiman transmigrasi. Bielefeld, Germany: Universität Bielefeld.

Greenpeace Indonesia. (2019). Hutan Kalimantan terancam: Deforestasi, sawit, dan transmigrasi. Jakarta, Indonesia: Greenpeace Indonesia. Diakses dari https://www.greenpeace.org/indonesia/publikasi/1234/indonesias-forests-under-fire/

Komnas HAM. (2020). Laporan konflik agraria dan hak masyarakat adat di Kalimantan. Jakarta, Indonesia: Komnas HAM. Diakses dari https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2022/10/6/2337/sengketa-lahan-transmigrasi-di-kabupaten-sekadau-kalimantan-barat-menemui-titik-terang.html

Li, T. M. (2014). Land’s end: Capitalist relations on an indigenous frontier. Durham, NC: Duke University Press.

WALHI Kalimantan Barat. (2021). Laporan situasi lingkungan Kalimantan Barat. Pontianak, Indonesia: WALHI Kalimantan Barat. Diakses dari https://walhi.or.id/laporan-tahunan-2021/

LihatTutupKomentar