Analisis Manifesto Politik Partai Persatuan Daya (P.D.) dalam Konteks Sosial-Politik Awal Indonesia

Poster Partai Persatuan Daya (P.D.) dalam aksara Cina. Ist.

Pendahuluan

Tulisan ini menganalisis manifesto Partai Persatuan Daya (P.D.), sebuah dokumen politik dari era awal kemerdekaan Indonesia, yang berasal dari dekade 1940-an atau 1950-an. 

Fokus utama analisis ini adalah mengkaji pesan ideologis, strategi politik, dan relevansi sosial dari manifesto tersebut; baik dalam konteks historis maupun masa kini. Penelitian ini dilakukan pada pukul 11:56 WIB, 11 Juli 2025, sebagai bagian dari refleksi kritis atas dinamika partai-partai pasca-proklamasi.

Metodologi
Analisis dilakukan secara kualitatif berbasis isi (content analysis) terhadap teks manifesto secara menyeluruh, menggunakan pendekatan multidisipliner: sejarah, linguistik, dan ideologi politik. Pendekatan ini memungkinkan pembacaan yang lebih tajam atas wacana politik yang terkandung di dalamnya.

Hasil dan Pembahasan

1. Persatuan dan Inklusivitas: Retorika tanpa Rincian

Poin pertama manifesto menonjolkan tema besar persatuan lintas suku dan agama, dengan kalimat kunci: "tidak pandang perbedaan Suku dan Agama." Ini mencerminkan strategi inklusivitas khas era pasca-kolonial, yang bertujuan menjangkau keragaman etnis dan agama di Indonesia. Fokus pada rakjat djelata (rakyat jelata) mengisyaratkan sasaran utama: kelas pekerja, petani, dan buruh—kelompok yang kala itu paling terdampak oleh ketimpangan kolonial.

Namun, janji-janji persatuan ini disampaikan secara umum dan tidak disertai kebijakan nyata. Hal ini menunjukkan kecenderungan populis dalam bentuk retorika kosong, sebuah kelemahan serius dalam komunikasi politik. 

Dalam konteks 2025, narasi ini tetap relevan untuk menjaga kebinekaan, tetapi pendekatan P.D. tampak kurang terstruktur jika dibandingkan dengan strategi inklusif yang diterapkan partai-partai kontemporer.

2. Mandat, Perisai, dan Keadilan: Visi Kerakyatan Tanpa Rencana Operasional

Poin kedua dan ketiga dari manifesto menjanjikan "mandat dan perisai" serta "kebeneran dan keadilan". Istilah "pemberi ilak2 saudara jang azasi" (hak asasi saudara) mengisyaratkan pengaruh pemikiran hak asasi manusia yang mulai berkembang pasca-Perang Dunia II. Penekanan pada perlindungan pendidikan dan sosial adalah cermin dari semangat kesejahteraan sosial.

Namun demikian, struktur kalimat yang terputus seperti "perlingdungan/Bantuan langsung pendidikan Sosial dan..." menandakan bahwa dokumen ini kurang matang dalam penyusunan. Ini dapat disebabkan oleh keterbatasan sumber daya atau tekanan waktu. P.D. memosisikan diri sebagai pelindung kelas bawah, tetapi absennya mekanisme pelaksanaan menjadikan manifesto ini rapuh dalam aspek teknokratis. Dalam refleksi tahun 2025, hal ini mempertegas pentingnya akuntabilitas dan detail dalam politik kebijakan.

3. Fokus pada Buruh dan Pegawai: Strategi Pencitraan dan Mobilisasi

Poin keempat dan kelima menyuarakan perhatian terhadap pegawai, buruh kecil, dan petani, termasuk mereka yang "djudjur dan berkeadilan". Frasa seperti "kemadjuan baik hidup" dan "keamanan dan ketertaman dalam negeri" menunjukkan agenda pembangunan inklusif yang cocok dengan suasana politik Indonesia pasca-1945.

Fokus berulang pada inklusivitas agama dan asal-usul mencerminkan respons terhadap kekhawatiran atas diskriminasi. Dukungan kepada pegawai yang "jujur" bisa dibaca sebagai strategi merebut simpati birokrasi. Namun, dalam realitas politik yang sudah diwarnai kompetisi tajam antarpartai, strategi ini menghadapi risiko tinggi untuk gagal tanpa dukungan struktural. Pelajaran bagi politik kontemporer: pencitraan harus dibarengi dengan desain kebijakan konkret dan realistik.

4. Bahasa, Stilistika, dan Target Audiens

Manifesto menggunakan bahasa sederhana dan emosional, seperti dalam seruan "saudara sekullian" dan "hidup dan bersatuIah seluruh RAKJAT DJELATA." Ejaan lama seperti rakjat, djelata, dan madju menunjukkan konteks zaman serta target pembaca—kemungkinan besar masyarakat pedesaan atau kelas bawah perkotaan yang kurang terpapar pendidikan formal.

Bahasa yang dekat dengan rakyat ini cukup efektif dalam membangun ikatan psikologis. Namun, berbagai kesalahan gramatikal dan struktur kalimat yang lemah mencerminkan proses penulisan yang terburu-buru atau disusun oleh kelompok yang belum terlatih secara teknis. Perbandingan dengan dokumen politik modern menunjukkan pergeseran gaya komunikasi politik yang kini lebih formal dan teknokratis, tetapi juga lebih jauh dari emosi rakyat. Ini menegaskan pentingnya keseimbangan antara emosionalitas dan struktur logis dalam komunikasi politik.

5. Posisi Ideologi: Kiri Moderat dengan Aroma Populisme

Dari segi ideologis, P.D. berada di spektrum kiri moderat dengan gaya populis. Penekanannya pada keadilan sosial, perlindungan terhadap rakyat kecil, dan kritik implisit terhadap penguasa besar menegaskan arah ini. Namun, tidak ditemukan indikasi ekstremisme ideologi seperti komunisme atau nasionalisme radikal, yang cukup menonjol dalam percaturan politik era tersebut.

Ketiadaan rencana jangka panjang dan visi ekonomi menjadikan manifesto ini lebih sebagai alat mobilisasi politik daripada cetak biru pembangunan. Dalam konteks kontestasi ideologis antara kelompok nasionalis, sosialis, dan Islam pada masa itu, posisi P.D. terkesan ambigu: fleksibel tetapi rentan. Pelajaran untuk tahun 2025 adalah pentingnya arah ideologi yang jelas agar sebuah partai mampu bertahan dalam jangka panjang.

6. Konteks Sejarah dan Refleksi Zaman Kini

Manifesto P.D. lahir di tengah periode krusial transisi politik pasca-kemerdekaan, ketika partai-partai politik baru bermunculan dalam iklim ketidakstabilan ekonomi dan sosial. Dokumen ini merefleksikan kebutuhan mendesak saat itu: suara bagi rakyat kecil, janji perubahan cepat, dan pencarian identitas nasional.

Sayangnya, tidak banyak data yang menunjukkan efektivitas atau keberlanjutan partai ini dalam sejarah politik Indonesia. Namun, nilai historisnya tetap penting sebagai cermin bagaimana politik rakyat pernah dibentuk dalam kata-kata. Relevansi dengan situasi tahun 2025 cukup besar—terutama soal isu ketimpangan, intoleransi, dan janji-janji populis yang masih membayangi.

Kesimpulan

Manifesto Partai Persatuan Daya adalah artefak politik penting dari masa awal kemerdekaan yang memperlihatkan semangat populis dan inklusivitas. Retorikanya kuat, namun eksekusinya lemah. Analisis terhadap dokumen ini pada tahun 2025 menunjukkan pentingnya konkritisasi janji politik, kejelasan ideologi, dan struktur kebijakan yang realistis. 

Meski tak banyak dikenal dalam sejarah politik arus utama, P.D. tetap menyumbang pelajaran penting tentang komunikasi politik, harapan rakyat kecil, dan tantangan membangun demokrasi dari bawah.

-- Masri Sareb Putra, M.A.





LihatTutupKomentar