Identitas, Politik, dan Transformasi Sosial Dayak : Sebuah Tinjauan Kepustakaan

Dayak, politik, partai persatuan Daya, PPD, Dayak hebat, Dayak super, Dayak sakti, Dayak merdeka, Dayak melek literasi, Dayak kaya, Dayak asli Borneo

 

Kajian terhadap masyarakat Dayak tidak bisa dilepaskan dari interaksi kompleks antara sejarah, identitas politik, modernitas, dan komunikasi budaya. 

Berbagai pendekatan akademik digunakan untuk memahami dinamika masyarakat Dayak; mulai dari metodologi kualitatif, pendekatan historis, studi etnografi, hingga teori komunikasi dan politik identitas. 

Artikel ini mengureaikan kontribusi sejumlah karya penting yang memberikan fondasi konseptual dan empirik dalam membahas perubahan dan kontinuitas dalam masyarakat Dayak di Kalimantan, atau yang secara luas disebut Borneo.

Pendekatan Metodologis dalam Studi Masyarakat Adat

Kajian tentang masyarakat adat, seperti Dayak, membutuhkan pendekatan metodologis yang kontekstual, reflektif, dan peka terhadap simbol dan praktik budaya. 

👉 Baca juga Analisis Manifesto Politik Partai Persatuan Daya (P.D.) dalam Konteks Sosial-Politik Awal Indonesia

Bauer dan Gaskell (2000) menekankan pentingnya penelitian kualitatif berbasis teks, gambar, dan suara, yang memungkinkan peneliti menangkap makna simbolik dalam pengalaman sosial masyarakat. Dalam konteks Dayak, pendekatan ini membantu menggali narasi-narasi yang tidak terdokumentasi secara resmi namun hidup dalam praktik keseharian, ritual, dan seni tradisional.

Neuman (2003) menambahkan bahwa integrasi pendekatan kualitatif dan kuantitatif akan menghasilkan pemahaman holistik terhadap realitas sosial, terutama dalam konteks perubahan. Pendekatan ini menghindari reduksionisme dalam melihat masyarakat adat semata-mata sebagai objek eksotisme atau korban pembangunan.

Di sisi lain, pendekatan historis menjadi penting untuk membaca bagaimana masyarakat Dayak mengalami transformasi sejak masa kolonial. Bajai (2000) menyatakan bahwa metode sejarah harus dilihat sebagai proses interpretatif terhadap data masa lalu, yang tidak netral secara politik maupun kultural. Dengan membaca sejarah secara kritis, kita bisa memahami struktur relasi kuasa yang menempatkan masyarakat Dayak dalam posisi subordinat—baik dalam narasi kolonial maupun pascakolonial.

Catatan-catatan kolonial seperti yang ditulis oleh Bock (1985) tentang praktik berburu kepala telah membentuk stereotip global tentang Dayak sebagai masyarakat “liar”. Namun, stereotip ini kini dibaca ulang sebagai bagian dari strategi kolonial untuk membenarkan intervensi budaya dan agama. Sebaliknya, Nieuwenhuis (1994) dan van Hulten (1992) menawarkan deskripsi yang lebih kompleks dan empatik terhadap masyarakat pedalaman Kalimantan, terutama dalam hal sistem sosial, spiritualitas, dan hubungan ekologis.

Identitas, Politik Etnis, dan Konflik Sosial di Borneo

Salah satu persoalan utama yang dihadapi masyarakat Dayak dalam sejarah kontemporer adalah marginalisasi politik dan ekonomi yang berujung pada konflik sosial. 

👉 Baca juga Dayak: Origins and First Use as Indigenous Identity of Borneo 

Bertrand (2004) menunjukkan bahwa konflik etnis yang terjadi di Kalimantan bukanlah gejala spontan, tetapi hasil akumulasi marginalisasi yang dilakukan negara terhadap kelompok-kelompok etnis. Ia mengkritik proyek nasionalisme Indonesia yang homogen dan tidak memberi ruang bagi ekspresi identitas lokal.

Davidson (2003; 2008) memperdalam kajian ini dengan fokus pada dinamika Partai Persatuan Dayak (PPD). Partai ini menjadi simbol perlawanan politik terhadap dominasi kelompok luar, namun akhirnya dilemahkan oleh struktur politik nasional yang sentralistik dan tidak akomodatif. 

Dalam karya From Rebellion to Riots (2008), Davidson menjelaskan bagaimana kekecewaan atas representasi politik ini kemudian memuncak menjadi kekerasan etnis, khususnya dalam konteks konflik Dayak-Madura di Kalimantan Barat.

Feith (1999), dalam kajiannya tentang Pemilu 1955, menunjukkan bahwa representasi politik masyarakat Dayak di parlemen sangat terbatas. Sistem kepartaian yang didominasi kelompok besar tidak memberi tempat bagi ekspresi politik lokal. Hal ini sejalan dengan pemikiran Mackenzie (1978) yang melihat identitas politik sebagai arena kontestasi antara kelompok minoritas dan kekuasaan negara. Freueh (2003) menambahkan bahwa perubahan sosial menggeser konstruksi identitas, yang kemudian menuntut formasi politik baru, namun sering kali ditolak oleh sistem politik lama.

👉 Baca juga FILSAFAT DAYAK Usaha Rasional Memahami Zat Tertinggi, Penduduk Asli, Alam Semesta, dan Budaya Borneo Masa ke Masa

Konflik sosial juga menjadi tema penting dalam laporan Parry (2005) yang berjudul In the Time of Madness. Dengan pendekatan jurnalistik-naratif, Parry memberikan kesaksian langsung terhadap gejolak sosial yang terjadi di Kalimantan. Ia menggambarkan betapa rumitnya ketegangan sosial yang tidak hanya didorong oleh isu etnis, tetapi juga oleh sejarah panjang ketimpangan ekonomi, migrasi, dan ketidakadilan struktural.

Transformasi Budaya, Komunikasi, dan Agensi Lokal Dayak

Modernisasi dan intervensi pembangunan membawa dampak signifikan terhadap kebudayaan Dayak. Djuweng dan Krenak (1993) melihat bahwa proses pembangunan tidak jarang menjebak masyarakat adat dalam posisi yang lebih lemah. Mereka kehilangan kendali atas tanah, sistem ekonomi lokal, dan bahkan nilai-nilai spiritual, karena dominasi sistem eksternal yang tidak mempertimbangkan lokalitas.

Maunati (2004) lebih lanjut mengupas bagaimana kebudayaan Dayak dikomodifikasi dan dipolitisasi. Dalam arena budaya global dan pariwisata, simbol-simbol Dayak—seperti tari, ukiran, dan pakaian adat—dipresentasikan tanpa konteks spiritual dan sosialnya, hanya sebagai ornamen yang bisa dijual. Di sisi lain, elite lokal juga menggunakan simbol ini sebagai alat legitimasi politik, sehingga budaya menjadi instrumen kekuasaan, bukan ekspresi otentik masyarakat.

👉 Baca juga Rekonstruksi Realitas Sosial dan Dekolonisasi Narasi Dayak dalam Perspektif Teori Berger & Luckmann

Putra (2010) menawarkan pendekatan semiotik dalam melihat proses konversi agama masyarakat Dayak Jangkang dari sistem kepercayaan tradisional menuju Katolik. Ia menunjukkan bahwa transformasi ini bukan pemutusan, melainkan proses negosiasi makna. Simbol-simbol lama tidak serta-merta ditinggalkan, tetapi dipadukan dalam bentuk ekspresi baru, menciptakan identitas religius yang tetap mengakar pada budaya lokal.

Dalam ranah teori komunikasi, Littlejohn dan Foss (2008; 2009) menjelaskan bahwa komunikasi adalah proses penciptaan dan pertukaran makna yang selalu terjadi dalam konteks sosial. Dalam masyarakat seperti Dayak, yang mengalami tekanan dari modernitas, globalisasi, dan politik identitas, komunikasi menjadi medan penting untuk membangun resistensi simbolik dan mereformulasi identitas. Chesebro (2009) menekankan pentingnya membaca komunikasi sebagai praktik budaya yang melibatkan memori, narasi, dan politik makna.

Etnografi Sellato (2002) juga penting dalam memahami aspek budaya Dayak dari dalam. Ia menekankan bahwa hubungan masyarakat Dayak dengan lingkungan bukan sekadar relasi ekonomi, tetapi juga spiritual. Hutan, sungai, dan tanah dianggap sebagai bagian dari sistem kepercayaan yang integral. Dengan eksploitasi sumber daya yang masif, tidak hanya aspek ekologis yang rusak, tetapi juga struktur nilai masyarakat.

Catatan Riwut (1979) sebagai tokoh lokal, memberikan pemahaman dari dalam terhadap kebudayaan dan alam Kalimantan. Ia menegaskan bahwa pembangunan harus berangkat dari pemahaman terhadap kekayaan lokal dan tidak meminggirkan masyarakat adat. Pandangan ini penting dalam era di mana pembangunan sering kali bersifat eksploitatif terhadap wilayah-wilayah adat.

👉 Baca juga Dekolonisasi Narasi Identitas: Warisan Kolonial dan Rekonstruksi Identitas Dayak di Borneo

Kkarya van Hulten (1992) sebagai misionaris yang hidup puluhan tahun di antara masyarakat Dayak menunjukkan bagaimana pendekatan empatik dan dialogis menghasilkan transformasi yang lebih harmonis. Interaksi antarbudaya yang tidak hegemonik justru memungkinkan masyarakat lokal mempertahankan jati dirinya sembari membuka diri pada perubahan.

Pontianak, 11 Juli 2025


Daftar Pustaka 

Bajai, S.K., 2000. Research Methodology in History. New Delhi: Anmol Publications PVT, Ltd.

Bauer, M.W. and Gaskell, G., 2000. Qualitative Researching with Text, Image and Sound. London: Sage Publications.

Bertrand, J., 2004. Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia. Cambridge Asia-Pacific Studies. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Bock, C., 1985. The Headhunters of Borneo. Reprint. Singapore: Oxford University Press.

Chesebro, J., 2009. A Century of Transformation: Studies in Honor of the 100th Anniversary of the Eastern Communication Association. Oxford: Oxford University Press.

Davidson, J.S., 2003. ‘"Primitive" Politics: The Rise and Fall of the Dayak Unity Party in West Kalimantan, Indonesia’, ARI Working Paper Series. Singapore: National University of Singapore.

Davidson, J.S., 2008. From Rebellion to Riots: Collective Violence on Indonesian Borneo. Madison: The University of Wisconsin Press.

Djuweng, S. and Krenak, W., 1993. Manusia Dayak: Orang Kecil yang Terperangkap Modernisasi. Pontianak: Institute of Dayakology Research and Development.

Feith, H., 1999. Pemilihan Umum 1955. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Freueh, J., 2003. Political Identity and Social Change. New York: State University of New York Press.

Jenkins, D., 1978. ‘Indonesia: The Politics of Violence’, Far Eastern Economic Review, June.

Littlejohn, S.W. and Foss, K.A., 2008. Theories of Human Communication. Belmont: Thomson Wadsworth.

Littlejohn, S.W. and Foss, K.A., eds., 2009. Encyclopedia of Communication Theory. Los Angeles: Sage.

Mackenzie, W.J.M., 1978. Political Identity. Manchester: Manchester University Press.

Maunati, Y., 2004. Identitas Dayak: Komodifikasi & Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LKiS.

Neuman, W.L., 2003. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Boston, MA: Allyn and Bacon.

Nieuwenhuis, A.W., 1994. Di Pedalaman Borneo: Perjalanan dari Pontianak ke Samarinda 1894. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Parry, R.L., 2005. In The Time of Madness. New York: Grove Press.

Putra, R.M.S., 2010. Dayak DjangkangFrom Headhunters to Catholic. Tangerang: UMN Press.

Riwut, T., 1979. Kalimantan Membangun: Alam dan Kebudayaan. Jakarta: P.T. Jayakarta Agung.

Sellato, B., 2002. Innermost Borneo: Studies in Dayak Cultures. Paris-Singapore: SevenOrients-Singapore University Press.

van Hulten, H.J., 1992. Hidupku di Antara Suku Daya. Jakarta: PT Grasindo.

LihatTutupKomentar