Dekolonisasi Narasi Identitas: Warisan Kolonial dan Rekonstruksi Identitas Dayak di Borneo
Dayak kini membreanding diri sendiri: Dayak menulis dari dalam. Maju bukan berarti meninggallkan dan menanggalkan seluruh warian adat, budaya, dan tradisi. Ist. |
Peneliti dan penulis: Masri Sareb Putra, M.A.
Tanggal rilis: 5 Juni 2025
Kolonialisme Kompeni Hindia Belanda di Borneo tidak hanya menaklukkan secara fisik, tetapi juga membangun dominasi epistemik melalui kebijakan administratif yang sarat muatan ideologis. Sejak abad ke-18, pemerintah kolonial secara sistematis membentuk dikotomi antara "Dayak pedalaman" dan "Melayu pesisir," sebagaimana tercermin dalam laporan Hogendorph (1757). Klasifikasi ini bukanlah hasil kajian etnografis objektif, melainkan strategi kekuasaan untuk memecah potensi solidaritas lokal.
Dekolonisasi adalah upaya memulihkan martabat Dayak dengan memberi ruang untuk mendefinisikan identitas dan masa depannya sendiri. Relasi Dayak dan Melayu perlu dipulihkan sebagai kemitraan historis, bukan dikotomi warisan kolonial.
1. Latar Belakang
Penelitian ini dilandasi oleh keyakinan bahwa narasi adalah alat dominasi yang sangat kuat dalam konteks kolonialisme. Di Borneo (Kalimantan), warisan kolonial tidak hanya mengubah lanskap politik dan ekonomi, tetapi secara mendalam membentuk dan mendistorsi identitas suku Dayak.
Kolonisasi oleh Kompeni Hindia Belanda telah menggunakan narasi etnis sebagai strategi divide et impera membelah dan menguasai dengan menciptakan dikotomi palsu antara Dayak dan Melayu.
👉 Baca juga Rekonstruksi Realitas Sosial dan Dekolonisasi Narasi Dayak dalam Perspektif Teori Berger & Luckmann
Melalui klasifikasi sosial yang direkayasa, kekuasaan kolonial menciptakan kategori yang menyederhanakan dan menyesatkan kompleksitas sosial masyarakat lokal. Proyek ini bukan sekadar pendataan etnografis, melainkan bagian dari manajemen kekuasaan. Dengan narasi tersebut, Dayak direduksi menjadi identitas yang ‘liar’ dan ‘primitif’, sedangkan Melayu diposisikan sebagai ‘beradab’ dan lebih dapat dijadikan mitra dalam pemerintahan kolonial. Upaya ini telah memengaruhi struktur sosial dan pemaknaan identitas yang bertahan hingga kini.
2. Rumusan Masalah
Bagaimana kolonial Belanda merekayasa dikotomi antara Dayak dan Melayu di Borneo?
Apa dampak epistemik dan sosial dari narasi kolonial tersebut terhadap identitas Dayak?
Bagaimana pendekatan ilmiah dan narasi lokal dapat digunakan untuk merekonstruksi dan mendekolonisasi identitas Dayak?
3. Tujuan Penelitian
Mengungkap strategi kolonial dalam membentuk identitas Dayak secara artifisial.
Menganalisis warisan narasi kolonial yang memengaruhi posisi sosial Dayak di masa kini.
Menyajikan argumen berbasis ilmiah dan lokal untuk meneguhkan status Dayak sebagai penduduk asli (indigenous) Borneo.
4. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan historis-kritis dan interdisipliner:
Studi Arsip Kolonial: Analisis dokumen kolonial, termasuk laporan Hogendorph (1757) dari Banjarmasin.
Kajian Genetik dan Arkeologi: Merujuk pada temuan dari Gua Niah dan riset DNA mitokondrial (Manser, 2023).
Analisis Linguistik: Merujuk pada karya Adelaar & Collins (2019).
Studi Naratif dan Tradisi Lisan: Analisis hermeneutik terhadap mitos, ritual, dan narasi migrasi Dayak.
Observasi Lapangan: Studi kasus Credit Union Keling Kumang di Kalimantan Barat.
5. Hasil dan Pembahasan
5.1. Strategi Kolonial dalam Rekayasa Identitas Dayak
Kolonialisme Belanda di Borneo merupakan proyek kekuasaan yang kompleks, tidak hanya menaklukkan secara fisik tetapi juga secara epistemik.
Melalui kebijakan administratif yang dirancang dengan presisi ideologis, pemerintah kolonial membentuk konstruksi sosial yang memisahkan antara "Dayak pedalaman" dan "Melayu pesisir."
Strategi ini sudah berlangsung sejak abad ke-18, sebagaimana tercermin dalam laporan Hogendorph (1757), yang mengklasifikasikan komunitas pedalaman sebagai binnenlanders, sementara masyarakat pesisir, termasuk sub-etnis Dayak seperti Senganan—dimasukkan dalam kategori "Melayu." Kategorisasi ini bukan hasil studi etnografis yang objektif, melainkan alat kekuasaan untuk memecah dan melemahkan potensi aliansi lokal.
Hubungan Dayak-Melayu sejatinya bersifat cair dan interaktif: mereka berdagang, menikah antar-etnis, dan bersama-sama membentuk sistem pemerintahan kesultanan. Banyak pemimpin Dayak yang menduduki posisi penasihat di istana Melayu. Fakta ini disederhanakan oleh narasi kolonial demi pembenaran dominasi.
5.2. Stigmatisasi dan Reduksi Budaya Dayak
Strategi kolonial berikutnya adalah pelabelan budaya Dayak sebagai "primitif." Praktik ngayau (pengayauan), misalnya, dijadikan simbol kebiadaban. Padahal, dalam struktur adat Dayak, ngayau adalah ritus sosial-spiritual yang dijalankan dalam konteks balas dendam terhormat, pemulihan keseimbangan kosmik, atau perlindungan kampung.
Kolonialisme mereduksi praktik ini menjadi kekerasan tak bermoral. Teks misionaris Kristen awal memperkuat narasi ini, menggambarkan Dayak sebagai "kafir" yang harus diselamatkan. Proses kristenisasi awal pun menggantikan budaya lokal dengan nilai-nilai Eropa.
Melalui narasi ini, kolonialisme menggugat martabat kolektif Dayak, menjadikan mereka masyarakat yang harus terus membela eksistensinya di hadapan kekuasaan luar.
5.3. Penjajahan Epistemik dan Kekuasaan atas Pengetahuan
Warisan paling destruktif dari kolonialisme adalah dominasi epistemik—kekuasaan untuk mendefinisikan siapa Dayak dan bagaimana mereka dilihat. Mereka menjadi "subjek yang didefinisikan," bukan "subjek yang mendefinisikan." Catatan kolonial, laporan misi Kristen, dan interpretasi antropolog Eropa menjadi narasi dominan.
Dominasi ini membuat Dayak berada dalam posisi defensif: membuktikan bahwa mereka bukan biadab, bukan inferior. Rekonstruksi identitas menjadi sulit karena sumber sejarah dikurasi oleh kekuasaan eksternal. Dekolonisasi narasi menjadi keharusan untuk membongkar kerangka pengetahuan kolonial tersebut.
Dekolonisasi narasi merupakan upaya kritis untuk membongkar konstruksi identitas yang selama ini dibentuk oleh kekuasaan kolonial. Dalam konteks masyarakat Dayak di Borneo, warisan kolonial telah menempatkan mereka dalam posisi pasif, sering kali direduksi menjadi objek folkloris tanpa agensi budaya. Narasi eksternal yang dibangun oleh kaum kolonial, antropolog asing, dan birokrat modern telah menempatkan "Dayak" sebagai kategori statis, primitif, dan terbelakang. Kini, terjadi pergeseran epistemologis penting: orang Dayak sendiri mengambil alih pena sejarah dan menulis dari dalam, bukan lagi sebagai objek yang diamati, tetapi sebagai subjek yang berbicara.
👉 Baca juga The Classification of Dayak Ethnic Groups
Dalam proses rebranding identitas ini, orang Dayak tidak serta-merta menanggalkan warisan adat, budaya, dan tradisi leluhur mereka. Justru, mereka menunjukkan bahwa kemajuan tidak harus bersifat dekulturalisasi.
Rekonstruksi identitas Dayak kontemporer bergerak dalam bingkai dialektika antara modernitas dan kearifan lokal, antara teknologi dan tradisi. Tradisi bukanlah beban masa lalu, melainkan sumber daya kultural yang dapat dikontekstualisasi ulang dalam lanskap sosial-politik dan ekonomi kekinian. Kesadaran historis dan kebudayaan ini menjadi fondasi resistensi kultural terhadap hegemoni narasi luar.
Oleh karena itu, dekolonisasi narasi bukan hanya proyek intelektual, tetapi juga praksis pembebasan identitas. Ketika orang Dayak mulai menulis, merekam, dan mempublikasikan kisah-kisah mereka sendiri, mereka sedang meruntuhkan kolonialitas pengetahuan yang telah lama membungkam suara lokal. Dalam konteks ini, narasi menjadi medan kontestasi kuasa: siapa yang berhak bicara, siapa yang membentuk makna, dan siapa yang menentukan arah masa depan. Dayak menulis dari dalam berarti merebut kembali otonomi representasi, memulihkan martabat budaya, dan menegaskan bahwa identitas tidak diwariskan secara pasif, melainkan dibangun secara aktif melalui refleksi kritis dan tindakan kolektif.
5.4. Konfirmasi Ilmiah atas Status Pribumi Dayak
Arkeologi dan genetika memberikan bukti tak terbantahkan atas keaslian Dayak sebagai penduduk asli Borneo. Gua Niah di Sarawak menunjukkan keberadaan manusia sejak 40.000 tahun lalu. Riset Jessica Manser (2023) dalam paleogenetik menunjukkan kesinambungan DNA mitokondrial dari sisa-sisa tersebut dengan populasi Dayak modern. Dalam studi populasi Dayak, penelusuran mtDNA dapat membantu mengungkap migrasi leluhur perempuan mereka, asal-usul sub-suku, atau keterkaitan dengan populasi Austronesia atau Austroasiatik.
Analisis linguistik oleh Adelaar dan Collins (2019) menunjukkan keragaman fonologis dan morfologis antar-subbahasa Dayak yang menandakan evolusi ribuan tahun. Bahasa adalah cermin sejarah yang tidak bisa direkayasa.
Tradisi lisan Dayak, jika dianalisis secara hermeneutik, mengandung memori kolektif yang konsisten dengan temuan ilmiah. Mitos asal-usul, cerita migrasi, dan ritual adat membuktikan legitimasi identitas dan sejarah panjang Dayak di Borneo.
5.5. Restorasi dan Reposisi Identitas: Dekolonisasi Narasi
Dengan bukti ilmiah dan semangat lokal, narasi Borneo harus ditulis ulang oleh tangan pribumi. Ini bukan untuk menghapus sejarah Melayu, melainkan merestorasi keseimbangan narasi.
Dekolonisasi adalah proses pemulihan martabat: memberi ruang bagi Dayak untuk mendefinisikan diri, menentukan sejarah, dan masa depannya. Dayak dan Melayu harus diposisikan kembali sebagai mitra historis, bukan musuh bentukan kolonial.
5.6. Studi Kasus: CU Keling Kumang sebagai Gerakan Dekolonial
Credit Union Keling Kumang (CUKK) di Kalimantan Barat menjadi contoh nyata rekonstruksi identitas. Ia bukan hanya lembaga keuangan, tapi juga alat perlawanan epistemik. Nilai adat Dayak seperti musyawarah dan gotong royong dikombinasikan dengan etika Kristen.
👉 Baca juga Bank Dayak Itu Bernama Credit Union
CUKK membentuk realitas sosial baru, sejalan dengan teori konstruksi sosial Berger dan Luckmann (1966). Melalui pendidikan keuangan dan pelatihan budaya, serta digitalisasi cerita rakyat, CUKK menjadi laboratorium dekolonial di pedalaman Borneo.
CUKK menunjukkan bahwa dekolonisasi bukan utopia, melainkan praksis nyata dari komunitas kecil. Di era digital, narasi Dayak dapat melintasi batas geografis dan membentuk opini global tentang siapa mereka.
6. Simpulan
Kolonialisme Belanda merekayasa narasi identitas Dayak dan Melayu demi kepentingan kekuasaan.
Narasi ini menciptakan stigmatisasi dan dominasi epistemik yang bertahan hingga kini.
Bukti ilmiah dari arkeologi, genetika, dan linguistik membuktikan keaslian Dayak sebagai penduduk asli.
Dekolonisasi narasi adalah jalan menuju pemulihan martabat dan kedaulatan identitas.
Gerakan seperti CU Keling Kumang menjadi contoh praksis dekolonial yang konkret.
7. Rekomendasi
Rekonstruksi kurikulum sejarah lokal yang merepresentasikan perspektif pribumi.
Digitalisasi tradisi lisan Dayak untuk pendidikan dan dokumentasi.
Penguatan institusi adat berbasis ekonomi dan budaya.
Penulisan sejarah kolaboratif antara Dayak dan Melayu sebagai rekonsiliasi naratif.
Untuk menyibak wawasan, 👉 Baca Sistem Pertanian Sawah Organik Terintegrasi dengan Kerbau pada Suku Dayak Kaharingan dan Lundayeh
Daftar Pustaka
Adelaar, K.A. & Collins, J.T. (2019). The Languages of Borneo: Phonetic and Morphological Diversity. Jakarta: LIPI Press.
Berger, Peter L. & Luckmann, Thomas. (1966). The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. Anchor Books.
Hogendorph, J. (1757). Report from Banjarmasin. Arsip Nasional Belanda dalam King dan Ave.
Manser, Jessica. (2023). Paleogenetic Continuity in Borneo: Mitochondrial DNA from Gua Niah to Modern Dayak. Cambridge Journal of Human Origins.
Putra, Masri Sareb. (2025). Dekolonisasi Narasi Dayak. Sekadau: Dayak Research Center Press.