Rekonstruksi Realitas Sosial dan Dekolonisasi Narasi Dayak dalam Perspektif Teori Berger & Luckmann
Konstruksi Dayak hari ini: tajir, maju, beradab, dan educated. Dayak harus merebut narasi di berbagai platform media. Ist. |
Peneliti: Masri Sareb Putra, M.A.
Lokasi Penelitian: Kalimantan Barat (Sintang, Sanggau, Sekadau)
Waktu Penelitian: Januari – Maret 2025
1. Latar Belakang Masalah
Sejak masa kolonial, masyarakat Dayak telah dikonstruksi dalam narasi dominan sebagai kelompok "pedalaman", "non-Muslim", dan "primitif".
Narasi ini berkembang bukan dari dalam komunitas Dayak sendiri, tetapi dari aparat kolonial Belanda dan Inggris yang memiliki kepentingan politis untuk memisahkan Dayak dari kelompok Melayu pesisir. Konstruksi identitas ini merupakan bentuk dari rekayasa sosial yang secara sadar dilakukan untuk mempermudah kontrol kolonial melalui strategi divide et impera.
Sebagaimana dijelaskan oleh Berger dan Luckmann dalam buku klasik mereka The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (Anchor Books, 1966), realitas sosial adalah hasil konstruksi intersubjektif yang dilembagakan dan diwariskan. Dalam konteks ini, narasi tentang siapa itu Dayak tidak lahir dari ruang-ruang internal komunitas Dayak, tetapi dari kekuasaan eksternal yang memiliki otoritas menulis, mengarsip, dan menyebarluaskan definisi.
Problem utama dari kondisi ini adalah: masyarakat Dayak secara historis belum memiliki tradisi literasi tertulis yang kuat pada masa kolonial. Ketidakhadiran dalam sistem dokumentasi dan arsip menyebabkan suara mereka tidak tercatat, sehingga identitas Dayak terwakili oleh narasi pihak luar. Hal ini melahirkan distorsi pemahaman publik terhadap sejarah, budaya, dan identitas Dayak.
2. Rumusan Masalah
Bagaimana identitas Dayak dikonstruksi dalam narasi kolonial?
Apa dampak dari absennya tradisi literasi tertulis dalam komunitas Dayak terhadap narasi sosial?
Bagaimana teori Berger & Luckmann digunakan untuk membaca ulang proses rekonstruksi realitas sosial Dayak?
Bagaimana upaya kontemporer masyarakat Dayak dalam membangun narasi tandingan melalui literasi?
3. Tujuan Penelitian
Mengidentifikasi dan menganalisis narasi kolonial yang membentuk identitas Dayak.
Menggunakan pendekatan konstruksionisme sosial Berger & Luckmann sebagai pisau analisis.
Menilai peran literasi modern dalam upaya dekolonisasi narasi Dayak.
Memberikan kontribusi teoritis dan praktis terhadap studi identitas lokal dan pembentukan wacana dari bawah (bottom-up narrative).
4. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif dengan studi kasus di tiga wilayah utama: Sintang, Sanggau, dan Sekadau. Metode pengumpulan data mencakup:
Wawancara mendalam dengan tokoh adat, penulis Dayak, akademisi lokal.
Observasi partisipatif dalam acara budaya dan kegiatan komunitas literasi Dayak.
Analisis teks terhadap dokumen kolonial, laporan misi, serta naskah dan publikasi Dayak kontemporer.
Analisis data dilakukan dengan teknik content analysis dan kerangka teori Berger & Luckmann, yaitu proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi dalam pembentukan realitas sosial.
5. Hasil dan Pembahasan
5.1 Konstruksi Kolonial terhadap Identitas Dayak
Narasi kolonial mengklasifikasikan masyarakat Borneo dalam dikotomi Dayak vs. Melayu. Dayak diasosiasikan dengan hutan, animisme, dan kekerasan (ngayau), sementara Melayu diasosiasikan dengan kota, Islam, dan peradaban.
👉 Baca juga Bank Dayak Itu Bernama Credit Union
Sumber-sumber kompeni Hindia Belanda dan Inggris dari abad ke-19 hingga awal abad ke-20 menunjukkan upaya sistematis untuk membakukan identitas berdasarkan geografis dan agama.
Konstruksi ini tidak mencerminkan realitas sosial lokal, sebab identitas etnis dan agama di Borneo bersifat cair dan adaptif. Seorang Dayak bisa menjadi Muslim tanpa kehilangan adatnya, atau tinggal di pesisir tanpa menjadi Melayu. Namun dikotomi yang dibangun kolonial melekat kuat dalam sistem administrasi dan pendidikan hingga hari ini.
5.2 Absennya Tradisi Literasi Dayak
Salah satu alasan dominannya narasi luar adalah ketiadaan tradisi tulis di kalangan Dayak saat itu. Pengetahuan diturunkan melalui cerita lisan, ritus adat, dan simbol-simbol visual. Hal ini menjadikan komunitas Dayak rentan terhadap distorsi narasi karena tidak memiliki instrumen untuk mengoreksi atau melawan dalam medium yang diakui kolonial: tulisan.
Untuk menyibak wawasan, 👉 Baca Sistem Pertanian Sawah Organik Terintegrasi dengan Kerbau pada Suku Dayak Kaharingan dan Lundayeh
Sebagaimana dikatakan Berger & Luckmann, siapa yang menguasai institusi dan arsip, menguasai realitas. Dalam konteks ini, otoritas kolonial tidak hanya menguasai wilayah fisik, tetapi juga ruang simbolik dan epistemologis.
5.3 Rekonstruksi Realitas Dayak: Suatu Upaya dari Dalam
Kini, ketika generasi Dayak telah mengakses pendidikan tinggi dan memiliki kemampuan menulis, muncul gelombang baru: reclaiming the narrative. Melalui buku, jurnal, media digital, dan dokumentasi budaya, orang Dayak mulai menulis kembali sejarah mereka sendiri. Upaya ini tidak dimaksudkan untuk menyerang narasi lama, tetapi untuk menambahkan dimensi yang dahulu absen.
Praktik seperti ngayau, yang selama ini distigmatisasi sebagai kekejaman, ditafsir ulang sebagai bagian dari sistem hukum adat dan spiritualitas Dayak. Istilah “primitif” dibongkar maknanya dan diganti dengan istilah “kompleks secara kultural”. Identitas Dayak tidak lagi diposisikan sebagai antitesis Melayu, tetapi sebagai entitas dengan sejarah dan dinamika sendiri.
Rekonstruksi ini adalah wujud proses eksternalisasi baru: pengalaman Dayak dituangkan ke dalam bentuk narasi, lalu diobjektifikasi melalui institusi; lembaga adat, universitas lokal, komunitas penulis; dan kemudian diinternalisasi kembali oleh masyarakat Dayak sebagai kenyataan baru yang lebih otentik.
5.4 Berger & Luckmann dalam Konteks Borneo
Kerangka Berger dan Luckmann sangat relevan karena menjelaskan bagaimana definisi sosial bisa direbut kembali. Proses rekonstruksi realitas tidak bersifat konfrontatif, tetapi reflektif dan kultural. Ia melibatkan refleksi atas masa lalu, penguasaan media naratif, dan pendirian institusi lokal untuk memperkuat otoritas makna.
Untuk menyibak wawasan, 👉 Baca The Classification of Dayak Ethnic Groups
Rekonstruksi ini juga adalah bentuk dekolonisasi epistemologis: menantang dominasi narasi Barat dengan menyuguhkan epistemologi lokal yang setara dan sah.
Perspektif ini sangat relevan dalam membaca proses dekolonisasi narasi dan rekonstruksi identitas Dayak, khususnya dalam konteks transformasi budaya dan epistemologis di era modern. Sebelum tahun 1990-an, narasi mengenai masyarakat Dayak sebagian besar disusun oleh pihak luar, kolonialis, misionaris, atau etnografer Barat, yang cenderung membingkai Dayak sebagai kelompok “primitif”, “terpencil”, atau “ketinggalan zaman”. Citra tersebut tidak hanya menyederhanakan kenyataan kompleks masyarakat Dayak, tetapi juga mengabaikan kekayaan sistem sosial seperti rumah panjang, nilai gotong royong, praktik musyawarah, serta hubungan ekologis yang harmonis dengan alam. Dengan demikian, narasi-narasi tersebut mencerminkan dominasi epistemologis kolonial yang berupaya membentuk realitas sosial Dayak melalui lensa eksogen, dan bukan dari perspektif internal komunitas itu sendiri.
Kerangka Berger dan Luckmann menyoroti bahwa realitas sosial bukanlah entitas objektif yang tetap, melainkan hasil konstruksi manusia melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Dalam konteks Dayak, institusi kolonial seperti sekolah, arsip, dan media massa telah berperan dalam mengobjektivasi identitas Dayak menurut paradigma Barat. Hal ini berdampak pada internalisasi identitas inferior oleh generasi Dayak sendiri. Namun sejak dekade 1990-an, terutama ketika generasi muda Dayak mulai mengakses pendidikan tinggi dan media digital, terjadi perubahan signifikan. Terbukanya ruang ekspresi budaya memungkinkan munculnya gelombang reclaiming the narrative, yaitu proses penyusunan ulang narasi historis dan kultural dari dalam oleh masyarakat Dayak sendiri. Mereka tidak lagi menjadi objek penelitian, tetapi menjadi subjek yang aktif menyusun, mendokumentasikan, dan menyebarluaskan pengetahuan tentang diri mereka.
👉 Baca juga Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah
Reklamasi narasi ini bersifat reflektif dan kultural, bukan konfrontatif. Tujuannya bukan untuk menyerang narasi lama yang ditulis pihak luar, melainkan melengkapi dimensi yang selama ini dihilangkan atau diabaikan, seperti peran perempuan dalam pewarisan tradisi, praktik spiritualitas lokal yang kompleks, hingga resistensi terhadap eksploitasi kolonial. Ini sejalan dengan klaim Berger dan Luckmann bahwa penguasaan atas institusi pengetahuan seperti arsip, kurikulum pendidikan, dan media adalah bentuk dominasi atas realitas. Maka, dengan membangun institusi-institusi lokal seperti komunitas literasi, museum adat, dan arsip digital berbasis komunitas, masyarakat Dayak mulai mengklaim kembali otoritas epistemik mereka.
Contoh konkret dari strategi dekolonisasi ini tampak dalam peran lembaga keuangan berbasis komunitas di Kalimantan Barat, yakni Credit Union (CU). Lembaga ini tidak hanya menjalankan fungsi keuangan, tetapi juga fungsi edukasi dan kultural. Pendidikan anggota tidak sekadar tentang literasi finansial, tetapi juga penguatan identitas budaya Dayak Jangkang melalui integrasi nilai-nilai lokal, seperti gotong royong (bedurok), musyawarah (panyanggahan), dan solidaritas rumah panjang, dengan prinsip etika Kristiani seperti keadilan, pelayanan, dan integritas, sebagaimana tercermin dalam Amsal 11:3. Dengan demikian, lembaga tersebut menjadi ruang simbolik baru yang merepresentasikan otonomi Dayak dalam mendefinisikan realitas sosial dan ekonomi mereka sendiri.
Transformasi ini juga terlihat dalam upaya dokumentasi tradisi lisan dan sejarah lokal yang selama ini tidak ditulis. Cerita tentang asal-usul rumah panjang, sistem pengobatan tradisional, praktik agrikultur berkelanjutan, serta kisah-kisah leluhur kini dikemas dalam bentuk buku, video dokumenter, situs web komunitas, hingga konten media sosial. Proses ini mencerminkan dinamika dialektika antara objektivasi dan internalisasi sebagaimana dijelaskan oleh Berger dan Luckmann. Ketika realitas sosial yang sebelumnya didominasi oleh representasi asing mulai ditantang melalui produksi narasi lokal, terjadi reorientasi makna yang berujung pada otonomi kultural.
Dengan menguasai media digital dan institusi lokal, masyarakat Dayak kini bukan hanya membangun narasi tandingan, melainkan mereposisi dirinya dalam lanskap pengetahuan global. Inilah bentuk epistemological liberation, yaitu pembebasan dari ketergantungan pada definisi realitas yang dibentuk oleh kekuatan eksternal. Pada titik ini, narasi bukan lagi sekadar representasi, tetapi alat perjuangan, merekonstruksi memori kolektif, merevitalisasi identitas, dan meneguhkan posisi Dayak sebagai subjek historis.
👉 Juga baca Niah Cave: Dayak Heritage in Borneo’s Majestic Landscape
Konsep epistemological liberation, yang merujuk pada pembebasan dari ketergantungan pada definisi realitas yang dibentuk oleh kekuatan eksternal, sangat relevan dengan perkembangan masyarakat Dayak saat ini. Epistemological liberation menekankan pada kemampuan suatu komunitas untuk mendefinisikan realitas, identitas, dan masa depan mereka sendiri, bebas dari narasi atau struktur yang diterapkan oleh pihak luar, seperti kolonialisme, dominasi budaya, atau sistem ekonomi yang menindas. Dalam konteks masyarakat Dayak, hal ini tercermin dalam berbagai capaian yang menunjukkan kemandirian dan pemberdayaan, baik secara ekonomi, pendidikan, maupun politik. Berikut adalah kaitan konsep ini dengan tiga contoh yang disebutkan:
- Pembebasan dari Kemiskinan Struktural lewat Gerakan Credit Union
Gerakan Credit Union di kalangan masyarakat Dayak merupakan wujud nyata dari epistemological liberation dalam ranah ekonomi. Kemiskinan struktural sering kali merupakan hasil dari sistem ekonomi yang dirancang oleh kekuatan eksternal, misalnya, eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan besar atau kebijakan yang tidak inklusif. Credit Union, sebagai lembaga keuangan berbasis komunitas, memungkinkan masyarakat Dayak untuk mengelola sumber daya ekonomi secara mandiri, mengurangi ketergantungan pada institusi keuangan eksternal yang sering kali tidak memahami kebutuhan lokal. Dengan mengembangkan sistem keuangan yang berpusat pada nilai gotong royong dan kemandirian, masyarakat Dayak menciptakan definisi baru tentang kesejahteraan ekonomi yang sesuai dengan realitas dan budaya mereka sendiri, alih-alih mengikuti model ekonomi yang diterapkan dari luar. - Kemajuan Pendidikan: Sarjana, Master, Doktor, dan Institut Teknologi Keing Kumang
Capaian pendidikan masyarakat Dayak, dengan banyaknya sarjana, magister, doktor, dan bahkan 37 profesor, serta pendirian Institut Teknologi Keing Kumang, adalah bentuk epistemological liberation dalam ranah pengetahuan. Pendidikan yang tinggi memungkinkan masyarakat Dayak untuk menghasilkan pengetahuan yang berakar pada perspektif mereka sendiri, bukan hanya menerima narasi atau ilmu pengetahuan yang didefinisikan oleh pihak eksternal. Institut Teknologi Keing Kumang, sebagai institusi pendidikan tinggi milik masyarakat Dayak, menjadi simbol kemandirian intelektual. Institusi ini memungkinkan penciptaan kurikulum dan penelitian yang relevan dengan kebutuhan dan budaya lokal, sehingga membebaskan masyarakat Dayak dari ketergantungan pada sistem pendidikan yang didominasi oleh perspektif luar. Dengan memiliki cendekiawan dan akademisi dari kalangan mereka sendiri, masyarakat Dayak dapat mendefinisikan realitas sosial, budaya, dan teknologi mereka secara otonom. - Keberhasilan Politik: DPR Pusat, Ketua DPR Provinsi, Gubernur, Wakil Gubernur, dan Bupati
Dalam ranah politik, kehadiran tokoh-tokoh Dayak di DPR Pusat, sebagai ketua DPR provinsi, gubernur, wakil gubernur, dan belasan bupati menunjukkan kemampuan masyarakat Dayak untuk mengambil alih kendali atas narasi politik mereka. Secara historis, kekuatan eksternal sering kali mendefinisikan struktur politik yang marginalisasi komunitas adat seperti Dayak. Dengan menduduki posisi-posisi strategis ini, masyarakat Dayak tidak hanya berpartisipasi dalam sistem politik, tetapi juga mendefinisikan agenda politik yang mencerminkan aspirasi dan identitas mereka. Ini adalah bentuk pembebasan epistemologis karena mereka tidak lagi sekadar menjadi objek dalam sistem politik yang dirancang oleh pihak lain, tetapi menjadi subjek yang aktif membentuk kebijakan dan realitas politik sesuai dengan kepentingan komunitas mereka.
Ketiga contoh ini, Credit Union, kemajuan pendidikan, dan keberhasilan politik, menunjukkan bahwa masyarakat Dayak telah berhasil membebaskan diri dari definisi realitas yang dulu diterapkan oleh kekuatan eksternal, seperti sistem ekonomi kolonial, pendidikan yang tidak inklusif, atau politik yang meminggirkan. Melalui gerakan ini, mereka menciptakan realitas baru yang berpusat pada kemandirian, identitas budaya, dan pemberdayaan komunitas. Epistemological liberation dalam konteks ini berarti masyarakat Dayak tidak hanya menolak narasi yang memarginalkan, tetapi juga secara aktif membangun narasi baru yang memperkuat posisi mereka dalam masyarakat Indonesia modern, dengan tetap berpijak pada nilai-nilai budaya dan kearifan lokal mereka.
👉 Jangan tertinggal baca ini Sejarah Asal usul Dayak Berdasarkan Bukti Arkeologis
Hingga Juli 2025, proses ini terus berkembang, didukung oleh generasi muda Dayak yang semakin literat, kritis, dan terhubung dengan dunia global. Penguasaan atas narasi menjadi medan kontestasi baru pascakolonial. Dalam medan ini, suara komunitas lokal bukan hanya penting, melainkan menentukan. Sebagaimana ditegaskan Berger dan Luckmann, siapa yang menguasai institusi simbolik, dialah yang mendefinisikan kenyataan. Dalam konteks ini, masyarakat Dayak tengah membuktikan bahwa mereka tidak hanya mampu bertahan dalam sejarah, tetapi juga menulis ulang sejarah itu sendiri.
6. Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa narasi tentang masyarakat Dayak selama ini dikonstruksi secara sepihak oleh kekuatan kolonial, dengan menggunakan otoritas literasi dan klasifikasi administratif. Ketidakhadiran suara Dayak dalam arsip kolonial adalah akibat dari struktur kekuasaan dan bukan karena ketidakadaan pengetahuan lokal.
👉 Baca juga Dayak di Titik Hijau Pulau Kalimantan
Kini, dengan tumbuhnya literasi dan kesadaran sejarah, masyarakat Dayak tengah membangun narasi alternatif yang lebih otentik dan kontekstual. Teori Berger dan Luckmann memberikan landasan konseptual untuk memahami proses ini sebagai rekonstruksi realitas sosial: dari eksternalisasi pengalaman Dayak, ke objektivasi dalam lembaga pengetahuan lokal, hingga internalisasi dalam kesadaran kolektif komunitas.
Dengan demikian, rekonstruksi realitas sosial bukan hanya mungkin, tetapi juga mendesak agar sejarah dan identitas masyarakat Dayak tidak lagi dilihat dari kacamata luar, melainkan dituturkan sendiri oleh mereka yang menghidupinya.
Daftar Pustaka (ringkas)
Berger, Peter L. & Luckmann, Thomas. (1966). The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. New York: Anchor Books.
Tiwi Etika and Masri. (2025). Agama Asli Suku Dayak: Dahulu, Kini, Masa Depan. Jakarta: Penerbit Lembaga Literasi Dayak.
- Tiwi Etika, et al. (2025). Filsafat Dayak. Jakarta: Penerbit Lembaga Literasi Dayak.
Tsing, Anna. (2005). Friction: An Ethnography of Global Connection. Princeton University Press.
Said, Edward. (1978). Orientalism. Pantheon Books.