Berhati-hatilah dengan novel perdana

novel perdana, karya pertama penulis, novel Indonesia, Flamboyan Kembali Berbunga, Jawa Pos,

 

Hati-hati dengan novel perdana! PepNews.

PONTIANAK: DAYAK TODAYDi Karawaci, senja telah menyentuh bumi. Hari itu 22 Juni 2021. 

Orang-orang datang. Bilangannya lebih dari tiga puluh. Mereka membawa keingintahuan dan barangkali segumpal harap. Di tengah ruang sederhana itu, Alena diperkenalkan ke dunia. Sebuah nama, sebuah novel. Sebuah permulaan.

Baca Happy Ending, Ciri Novel Pop Indonesia

Saya berbicara di sana. Tentang sesuatu yang mungkin tampak remeh, tapi sesungguhnya adalah anak tangga pertama menuju gedung tinggi bernama kepengarangannya. Saya bilang: “Hati-hati dengan novel perdana!”

Hati-hati dengan novel perdana.
Saya dan Pepih Nugraha (kanan) ketika novel Alena diperkenalkan ke dunia.

Bukan karena saya ingin menakut-nakuti. Tapi karena novel pertama adalah cermin. Ia membentuk bayang-bayang pertama tentang siapa Anda sebagai pengarang. Seperti bau tanah setelah hujan pertama, novel perdana meninggalkan kesan yang sukar dihapuskan.

Kesan itu bisa menggoda, bisa juga menggerus. Tergantung bagaimana ia ditulis dan bagaimana ia dikenang. Tapi satu hal pasti: novel perdana adalah lonceng yang berdentang pertama. Suaranya akan memantul lama, bahkan saat loncengnya sudah tak lagi tampak.

Baca Setting Kampus

Saya bilang pada Kang Pepih: biarkan Alena berjalan dulu. Biarkan orang mengenalmu lewat dia. Seperti orang mengenal pematung dari patung pertamanya yang membuat orang tertegun, tak bertanya siapa namanya, tapi mengingat wajah karyanya.

Di hari-hari sesudahnya, kau akan tercengang. Ada pembaca yang tahu bukan hanya judul bukumu, tapi bisa menyebut nama tokoh-tokohnya tanpa ragu, mengutip dialognya seakan pernah hidup di dalamnya. Saat itulah kau tahu: novelmu telah hidup di luar dirimu.

Pengalaman itu bukan milik Kang Pepih saja. Tahun 1987, saya juga mengalaminya. Ketika Flamboyan Kembali Berbunga muncul sebagai cerita bersambung di Jawa Pos, saya menerima banyak surat. Dari pembaca yang marah, yang tersedu, yang jatuh cinta pada tokoh yang saya ciptakan. 

Surat-surat itu seperti daun gugur dari langit yang jauh. Jatuh satu-satu, tapi tiap lembar membawa gema.

Barangkali karena novel pertama ditulis tanpa tenggat, tanpa paksaan. Ia lahir dari perenungan yang lama, dari luka yang disimpan, dari rasa yang tak sempat dijelaskan. 

Novel kedua, ketiga, dan seterusnya, kadang hanya menjadi bayang-bayang dari yang pertama: tergesa, terpacu, tergoda untuk memenuhi ekspektasi pasar.

Tak heran bila sejarah mencatat:

  1. Karmila membawa nama Marga T. seperti cahaya membawa matahari.

  2. Upacara menjadikan Korrie Layun Rampan dikenang.

  3. Cintaku di Kampus Biru mengukuhkan Ashadi Siregar.

  4. Dari Lembah ke Coolibah menempatkan Titis Basino pada ranah sastranya.

  5. Supernova adalah semburan awal Dee yang tak bisa diulang sembarangan.

  6. Saman adalah sihir Ayu Utami.

  7. Jendela-jendela memikat pembaca untuk mengenal Fira Basuki.

  8. Miss Jutek memunculkan Yennie Hardiwidjaja dengan gaya khasnya.

  9. Perempuan Lain menandai pesona awal Kristy Nelwan.

  10. 5 Cm menjadi lompatan awal Donny Dhirgantoro yang mencengangkan.

Dan anehnya, banyak yang tak mampu mengulang nyala itu.

Mengapa begitu? Belum ada riset yang sungguh-sungguh meneliti. Tapi saya percaya: novel perdana ditulis dengan hati yang belum terkontaminasi harap pasar. Ia murni, seperti mata bayi yang pertama kali melihat dunia. Dan seperti semua hal yang murni, ia menyentuh jauh ke dalam.

Baca Orang-Orang Hakka di Sanggau dalam Sebuah Novel-Sejarah

Namun, keberhasilan juga jebakan. Penerbit datang. Pesanan berderet. Anda menulis bukan karena ada cerita yang menuntut keluar, tapi karena ada tenggat yang harus dipenuhi.

Di situlah kemungkinan kerusakan dimulai. Antara menjadi pengarang sejati atau sekadar pengisi rak toko buku.

Maka saya ulangi:
Berhati-hatilah dengan novel perdana.
Karena ia bukan hanya karya pertama Anda. Novel perdana adalah janji.

Dan pembaca, seperti halnya cinta pertama. Tak mudah melupakan janji yang pertama kali mengguncangkan hati mereka.

Puskhat,  Pontianak,14 Juli 2025.



LihatTutupKomentar