Orang-Orang Hakka di Sanggau dalam Sebuah Novel-Sejarah
Judul Buku : Orang-Orang Hakka di Sanggau
Tebal : 645 halaman
Penulis : Masri Sareb Putra
Penerbit : Lembaga Literasi Dayak, Tangerang - Banten, Januari 2025.
Peresensi : Amon Stefanus
Orang-Orang Hakka di Sanggau adalah sebuah novel sejarah karya Masri Sareb Putra yang diterbitkan oleh Lembaga Literasi Dayak pada tahun 2025.
Novel ini mengisahkan perjalanan komunitas Hakka yang tiba di tepian Sungai Kapuas pada pertengahan abad ke-18, dipimpin oleh Kwee Seng Ong, yang kemudian dikenal sebagai Ban Theng Thua.
Baca Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra
Para imigran pertama Hakka ke Sanggau ini menghadapi tantangan alam seperti arus deras Pancur Aji dan mendirikan pemukiman di dekat muara Sungai Sekayam, lokasi yang kini menjadi Vihara Tridharma di Jalan Kartini, Sanggau,Kalimantan Barat.
Gelombang migrasi besar-besaran orang Hakka ke Borneo Barat dipicu oleh konflik di Tiongkok, termasuk perang saudara antara Chiang Kai-shek dan Mao Zedong.
Dalam perjalanan sejarah, tokoh-tokoh Hakka seperti Ban Theng Thua, Kwee Seng Ong, Liu Shan, Tong Guan, dan Loh Tian Hui berdampingan dengan tokoh lokal seperti Daranante, Babai Cinga, Lampon, Macan Luar, Macan Gaing, dan Panglima Kumbang.
Kisah Penuh Konflik
Kisah orang-orang Hakka pertama dan kemudian tahun 1960-an menenun sejarah penuh konflik, adaptasi, dan harmoni, membentuk mosaik kebudayaan yang kaya di Sanggau.
Namun, babak kelam sejarah tiba pada tahun 1967. PP No. 10 Tahun 1959 dan Instruksi Presiden No. 14/1967 memaksa komunitas Tionghoa, termasuk Hakka di Sanggau, meninggalkan pedalaman. Tragisnya, masyarakat Dayak yang semula dijadikan alat oleh kekuasaan, pada akhirnya turut menjadi korban tersulut api provokasi dan politik adu-domba.
Melalui riset mendalam dan catatan kaki yang kaya, novel ini mengungkap sisi yang jarang disentuh: konflik, kebijaksanaan, dan perjuangan komunitas dalam menghadapi perubahan zaman.
Novel-sejarah Orang-Orang Hakka di Sanggau mengajak pembaca merenungkan ulang hubungan manusia, tanah, dan sejarah, sesuai dengan pepatah Latin "Historia vero testis temporum"—sejarah adalah saksi zaman.
Secara keseluruhan, novel ini menawarkan perspektif yang mendalam tentang interaksi antara komunitas Hakka dan masyarakat lokal di Sanggau, serta dinamika sosial-politik yang mempengaruhi mereka sepanjang sejarah.
Dengan narasi yang kaya dan penelitian yang komprehensif, Orang-Orang Hakka di Sanggau layak menjadi menu gizi bacaan bagi mereka yang tertarik pada sejarah, budaya, dan hubungan antar komunitas di Indonesia.
Beberapa Kelebihan
Novel ini memiliki beberapa kelebihan antara lain:
Pertama, menggunakan riset yang mendalam. Buku ini didasarkan pada penelitian yang kuat, dengan banyak catatan kaki dan sumber sejarah yang memperkaya narasi.
Baca The Vibrancy of Dayak Publications and Literacy from Higher Education Institutions
Kedua, Gaya penceritaan yang menarik. Meskipun berbasis sejarah, penyampaiannya tetap mengalir dan mudah dipahami, membuat pembaca merasa seolah-olah menyaksikan peristiwa secara langsung.
Ketiga, mengungkap sisi yang jarang dibahas. Buku ini tidak hanya mengisahkan migrasi orang Hakka ke Sanggau, tetapi juga menyentuh aspek politik, konflik sosial, dan kebijakan pemerintah yang mempengaruhi komunitas ini.
Keempat, menyajikan perspektif multikultural. Kehadiran tokoh-tokoh Dayak dan interaksi mereka dengan komunitas Hakka memperlihatkan dinamika hubungan antaretnis di Kalimantan Barat.
Kelima, relevan dengan konteks kekinian. Tema diskriminasi, integrasi budaya, dan konflik sosial yang diangkat dalam buku ini masih relevan dengan situasi di Indonesia saat ini.
Usulan pembaca agar makin sempurna
Ada beberapa usulan yang mungkin dapat membuat buku ini makin sempurna.
Baca Dayak Sukubangsa yang Jujur
Pertama, detail sejarah yang kompleks. Bagi pembaca yang tidak terbiasa dengan sejarah komunitas Hakka atau sejarah Kalimantan Barat, beberapa bagian mungkin terasa berat dan membutuhkan referensi tambahan.
Kedua, buku ini tidak menyertakan peta Sanggau dan kurangnya foto-foto. Hal ini mungkin membuat pembaca kesulitan membayangkan lokasi dan tokoh yang diceritakan.
Ketiga, terbatas pada wilayah Sanggau. Meskipun fokus pada komunitas Hakka di Sanggau, pembaca yang ingin memahami sejarah orang Hakka secara lebih luas di Kalimantan mungkin merasa cakupannya terlalu sempit.
Namun menurut pandangan saya, secara keseluruhan, buku ini sangat berharga bagi mereka yang tertarik pada sejarah lokal, interaksi budaya, dan dinamika sosial di Kalimantan Barat, meskipun membutuhkan perhatian ekstra dalam memahami konteks sejarahnya***
-- Amon Stefanus