Dorman : Tentang Rekening Bank yang Sepihak

Dorman : Tentang Rekening yang Sepihak.
Oleh: Apai Deraman
Saya pikir menyimpan uang di bank adalah tindakan aman dan waras dalam sistem ekonomi modern.
Uang saya akan terdata, terlindungi, dan sewaktu-waktu bisa saya akses kembali. Begitulah keyakinan yang ditanamkan kepada kita sejak kecil: bank adalah penjaga yang baik hati.
Namun ternyata, bahkan penjaga bisa menjadi penjagal. Saya baru saja mengalami satu babak yang membuat saya mengernyitkan dahi: rekening saya dinyatakan dorman, tidak aktif, lalu dibatasi fungsinya: tanpa pemberitahuan yang layak, tanpa aba-aba. Tapi anehnya, uang dari pihak lain masih bisa masuk ke rekening itu. Uang saya, ada di sana. Tapi saya sendiri tak bisa menyentuhnya.
Ini bukan dongeng Kafka. Ini Indonesia 2025.
Bank menyebutnya rekening dorman. Istilah sopan untuk sebuah tindakan sepihak: membekukan sebagian fungsi rekening karena tidak ada aktivitas selama periode tertentu: tiga bulan, enam bulan, atau satu tahun, tergantung selera bank masing-masing. Mereka tidak menyampaikan secara aktif bahwa rekening itu akan dibekukan. Mereka hanya menunggu kita lalai, lalu mengambil alih.
Yang lebih ironis, rekening dorman tetap bisa menerima uang dari luar. Orang lain bisa transfer ke rekening itu, dan uang akan masuk. Tapi sang pemilik sah, Anda dan saya, justru tidak bisa menariknya, memindahkannya, atau bahkan memastikannya kecuali datang langsung ke kantor cabang.
Apa yang terjadi di sini?
Bank menjadikan kita sebagai nasabah pasif, sambil terus memperlakukan rekening kita sebagai wadah transaksi aktif. Ini menciptakan situasi ganjil: bank tetap bisa menampung dana masuk (yang berarti uang terus berputar dalam sistem mereka), tapi pemilik dana dibatasi haknya sendiri. Seperti punya rumah yang digembok dari luar oleh orang lain, sementara tamu masih bisa keluar-masuk lewat jendela belakang.
Lebih parah lagi, dalam banyak kasus, rekening dorman dikenai biaya administrasi dormansi.
Uang kita dipotong diam-diam, bulanan. Uang kita tetap diam di sana, tak disentuh kita, tapi perlahan-lahan habis oleh potongan yang tak kita izinkan.
Bukankah ini praktik predatorik yang disamarkan oleh administrasi?
Jika bank mengklaim bahwa rekening dorman dibuat untuk menjaga keamanan dan efisiensi, maka pertanyaannya: kenapa tidak ada sistem peringatan? Kenapa tidak dikirimkan pesan, notifikasi, atau email resmi? Mengapa prosedur reaktivasi harus seribet itu, padahal kita sendiri yang menyimpan uang?
Mereka bilang ini protokol. Tapi di mata nasabah, ini bentuk arogansi sistem keuangan modern, yang menjadikan pelanggan sebagai objek pasif, bukan mitra setara.
Dan ironisnya, kita terus dijejali narasi tentang literasi keuangan, tentang pentingnya menabung di bank, tentang keamanan transaksi digital. Tapi kenyataannya, hak-hak dasar nasabah bisa dikerdilkan dengan selembar aturan kecil yang tidak kita sepakati secara sadar.
Kita yang menyetor, kita yang menyimpan, tapi justru bukan kita yang menentukan kapan dan bagaimana uang kita bisa diakses.
Saya menulis ini bukan sekadar karena kesal. Tapi karena ada sesuatu yang tidak beres, dan terus dibiarkan. Seakan-akan sistem keuangan ini punya kuasa penuh atas dana kita, dan kita hanya penonton dari lalu lintas uang yang seharusnya milik kita sendiri.
Rekening dorman hanyalah satu contoh dari banyak praktik lembaga keuangan yang perlu dikritisi, bukan hanya diterima. Kita perlu mendefinisikan ulang hubungan antara bank dan nasabah, antara penyimpanan dan kepercayaan.
Karena jika kepercayaan sudah disalahgunakan, maka uang bukan lagi soal nilai, tapi soal kendali. Dan jika kendali itu bukan di tangan kita, yang menyetor, yang menyimpan, yang mempercayai, maka sistem itu telah berubah menjadi sangkar.
Uang Anda bisa masuk. Tapi tak bisa keluar. Persis seperti perangkap.
Dan itu, bagi saya, adalah pengkhianatan yang paling tenang dan paling keji.
2 Juli 2025