Indonesia Menggugat sebagai Inspirasi "Dayak Menggugat"

Dayak menggugat, UU Minerba, UU Cipta Kerja, food estate, memperlihatkan wajah hukum yang berpihak pada pemodal, penjaga hutan dan tanah

 

Indonesia Menggugat  sebagai Inspirasi "Dayak Menggugat"
Indonesia Menggugat  sebagai Inspirasi "Dayak Menggugat". Ist.


Indonesia Menggugat adalah judul pidato pembelaan yang disampaikan oleh Ir. Soekarno (Bung Karno) pada tahun 1930 di hadapan pengadilan kolonial Belanda di Bandung. 

Pidato Bung Karno disampaikan dalam sidang pengadilan terhadap dirinya atas tuduhan melakukan kegiatan subversif melalui keanggotaannya di Partai Nasional Indonesia (PNI), yang dianggap mengancam ketertiban kolonial. 

Latar Belakang

Pada akhir 1920-an, Soekarno aktif dalam perjuangan kemerdekaan melalui PNI, organisasi yang ia pimpin untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Aktivitasnya, termasuk pidato-pidato politiknya yang menggugah semangat nasionalisme, membuat pemerintah kolonial Belanda khawatir. 

Baca FILSAFAT DAYAK Usaha Rasional Memahami Zat Tertinggi, Penduduk Asli, Alam Semesta, dan Budaya Borneo Masa ke Masa

Pada tahun 1929, Soekarno ditangkap dan dibawa ke pengadilan di Bandung. Di sana, ia memanfaatkan sidang sebagai panggung untuk menyampaikan gagasan-gagasan nasionalismenya. 

Isi Pidato "Indonesia Menggugat"

Pidato Indonesia Menggugat merupakan pembelaan yang sangat terkenal karena tidak hanya sekadar membela diri, tetapi juga menjadi kritik tajam terhadap kolonialisme Belanda. Dalam pidatonya, Soekarno:

 Menggugat Kolonialisme: Ia menyoroti eksploitasi ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan oleh pemerintah kolonial terhadap rakyat Indonesia.

Semangat Nasionalisme: Soekarno menegaskan bahwa perjuangan kemerdekaan adalah hak rakyat Indonesia dan bagian dari gelombang perjuangan rakyat tertindas di seluruh dunia.

Analisis Sejarah: Ia menjelaskan bagaimana penjajahan telah merampas hak-hak rakyat Indonesia dan menghambat kemajuan bangsa.

Visi Kemerdekaan: Soekarno menggambarkan cita-cita Indonesia merdeka yang berdaulat, adil, dan makmur.

Pidato ini disampaikan dengan penuh semangat, logis, dan berapi-api, sehingga tidak hanya memukau hadirin di pengadilan, tetapi juga menjadi inspirasi bagi para pejuang kemerdekaan lainnya. 

Pembukuan

Setelah sidang, teks pidato Indonesia Menggugat dibukukan dan diterbitkan, menjadi salah satu dokumen bersejarah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Buku ini berisi transkrip lengkap pembelaan Soekarno dan menjadi salah satu karya penting yang menggambarkan visi nasionalismenya. Teks ini juga diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan menyebar luas, memperkuat semangat perjuangan rakyat Indonesia. 

Makna dan Warisan

Indonesia Menggugat bukan sekadar pembelaan hukum, tetapi juga manifesto politik yang menegaskan tekad bangsa Indonesia untuk merdeka. 

Pidato ini menunjukkan kecerdasan Soekarno dalam mengemas perjuangan kemerdekaan dalam argumen yang kuat dan menggugah. Hingga kini, Indonesia Menggugat tetap menjadi salah satu karya monumental dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia dan sering dijadikan referensi untuk memahami pemikiran nasionalisme Soekarno. 

Dari “Indonesia Menggugat” Menuju “Dayak Menggugat”: Menghidupkan Perlawanan Melawan Penindasan Baru

Pidato "Indonesia Menggugat" yang disampaikan Soekarno pada tahun 1930 bukanlah sekadar pembelaan di muka hukum kolonial, melainkan sebuah manifesto perlawanan terhadap penindasan sistemik. Ia menyingkap wajah penjajahan yang bukan hanya mengambil tanah dan hasil bumi, tetapi juga menindas harga diri bangsa. 

Baca Moratorium Transmigrasi: Teras Narang Dorong Evaluasi Total demi Keadilan Sosial di Kalimantan

Kini, hampir seabad kemudian, semangat pidato itu menemukan gaungnya kembali dalam perlawanan "Dayak Menggugat": sebuah gerakan yang lahir dari luka sejarah, keberlangsungan eksploitasi sumber daya alam, dan ketimpangan yang dilegalisasi oleh negara sendiri atas nama pembangunan.

Konektivitas antara “Indonesia Menggugat” dan “Dayak Menggugat” terletak pada perlawanan terhadap dominasi struktural. Jika pada masa Soekarno musuhnya adalah kolonialisme Belanda, maka pada era ini Dayak menghadapi bentuk kolonialisme baru—oligarki sumber daya: pengusaha tambang, raksasa sawit, dan korporasi HTI yang mengeruk hutan-hutan Borneo tanpa meminta izin kepada pemilik sah tanah-tanah ulayat, yaitu masyarakat adat Dayak. 

Negara tidak hanya memfasilitasi perampasan itu melalui izin konsesi dan proyek strategis nasional, tetapi juga seringkali menjadi pelindung kekuasaan modal. Dalam banyak kasus, konflik sosial dan ekologis muncul karena pengabaian terhadap prinsip keadilan restoratif dan partisipatif.

"Indonesia Menggugat" menjadi relevan kembali karena ia memberi kita cara membaca situasi hari ini: hukum bisa dipakai bukan untuk melindungi rakyat, tapi justru menindasnya. Dalam aktualisasi Dayak Menggugat, kita menyaksikan bagaimana undang-undang seperti UU Minerba, UU Cipta Kerja, hingga kebijakan food estate, memperlihatkan wajah hukum yang berpihak pada pemodal dan bukan pada penjaga hutan dan tanah: masyarakat adat. 

Atas nama pembangunan, penduduk setempat dipinggirkan dari tanah kelahirannya sendiri. Atas nama investasi, mereka kehilangan ruang hidup, hutan keramat, sungai leluhur, dan warisan budaya yang tak ternilai.

Namun, seperti halnya Soekarno tidak hanya menggugat, tetapi juga menginspirasi, maka Dayak Menggugat bukan semata-mata tentang perlawanan, tapi juga tentang cita-cita masa depan. 

Dari pidato Soekarno, kita belajar bahwa kekuatan narasi bisa menjadi senjata. Maka Dayak juga harus mulai menggugat bukan hanya lewat demonstrasi atau lobi politik, tapi juga lewat tulisan, arsip, video, dokumentasi, dan pendidikan kritis. Ini bukan sekadar soal mempertahankan identitas, tapi juga membangun masa depan yang berdaulat secara ekologis, mandiri secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya.

  1. "Indonesia Menggugat" adalah suara yang menolak tunduk di bawah kekuasaan asing.
  2. "Dayak Menggugat" adalah suara yang menolak tunduk pada kekuasaan rakus elite lokal dan korporasi global.

Keduanya lahir dari keberanian yang sama: menolak untuk diam di hadapan ketidakadilan yang dilembagakan.

Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah: Ini Bukti Ilmiah Uji-karbon 40.000 Tahun Silam

Kini, saat Dayak Menggugat membentangkan narasinya, ia tidak berdiri sendirian. Ia menyambung napas panjang para leluhur dan para pejuang bangsa yang pernah berdiri di hadapan pengadilan kolonial dan berkata:

“Saya bukan penjahat. Saya menggugat sistem yang menindas rakyat saya.”

Demikian pula hari ini, masyarakat adat Dayak tidak meminta belas kasihan. Mereka menggugat, bukan sekadar demi tanah, hutan, dan sungai, tetapi demi kehormatan, demi martabat, dan demi hak untuk menentukan masa depan mereka sendiri. 

Dan di sinilah semangat Indonesia Menggugat hidup kembali. Bukan di ruang sidang kolonial, tapi di tanah Borneo yang dijarah atas nama kemajuan.

 -- Masri Sareb Putra, M.A.

LihatTutupKomentar