Lepas dari Cengkeraman Leviathan

Leviathan, negara dan oligarki, Gerakan Keling Kumang, desa mengepung kota, literasi akar-rumput, ekonomi komunitas, tetes air cadas, oligarkii

Negara Leviathan - Thomas Hobbes. Ilustrasi by Grok.

Kita hidup dalam dunia yang dikendalikan raksasa. Ia tidak berwajah, tapi hadir di mana-mana. 

Raksasa itu bernama negara. Ia menjelma dalam dokumen yang tebal dan rapat, dalam peta-peta konsesi, dalam pidato pejabat, dan pasal-pasal hukum. Ia masuk ke meja makan kita, ke ladang, ke sungai, ke hutan tempat moyang pernah menanam nyanyian.

Thomas Hobbes menyebutnya Leviathan, makhluk besar yang dibentuk oleh kontrak sosial, demi ketertiban dan perdamaian. Tapi tak pernah dijelaskan dengan jujur, ketertiban siapa, perdamaian bagi siapa? Meski jelas merujuk ke: penguasa, dan tentu saja, oligarki.

Di republik ini, seperti di banyak tempat lain, Leviathan bukan hanya satu tubuh. Ia kini bertangan banyak, negara, oligarki, perusahaan, aparat, bank, dan janji-janji yang berubah jadi jaring. Mereka bekerja sama, bergantian menekan, memeluk dan mencekik.

Gerakan Keling Kumang tidak memilih bertarung dalam gelanggang raksasa itu. Ia tidak memanjat menara kekuasaan untuk mengganti bendera. Ia tidak meminta kursi di istana, atau kuota dalam pemilu. Sebaliknya, ia menepi. Ia memilih jalan lain, membangun rumah sendiri. Bukan dalam arti literal, tapi dalam makna peradaban. Peradaban yang ditanam dari desa, tumbuh dari akar, bergerak dalam diam, dan bernapas panjang.

GKK tidak mengutuk sistem, ia membentuk sistemnya sendiri. Ia membangun koperasi bukan sebagai proyek ekonomi, tapi sebagai bentuk kedaulatan. 

GKK menghidupkan literasi bukan demi gelar akademik, tapi agar orang kampung tahu mencatat sejarahnya sendiri. Ia menciptakan sekolah, perguruan tinggi, lembaga pelatihan untuk mengasah serta meningkatkan berbagai skill aktivis dan mendirikan sekolah kepemimpinan, lembaga keuangan milik komunitas, rumah panjang modern, media alternatif:  semua itu bukan karena ingin bersaing dengan negara, tetapi karena ingin bebas dari cengkeraman Leviathan.

Lepas dari cengkeraman Leviathan bukanlah revolusi. Ia tidak terjadi dalam sehari. Ia tidak bersenjata. Ia seperti tetesan air yang jatuh pada batu cadas keras, pelan, hening, tapi tak berhenti. 

Satu tetes tak berarti. Namun, jutaan tetes bisa mengubah permukaan cadas.

Sebab itulah kekuatan gerakan ini, ia tidak menjanjikan kecepatan. Ia tak tergoda popularitas. Ia bekerja dalam waktu yang panjang, dalam kesabaran yang nyaris tak masuk akal bagi logika politik elektoral. Ia memilih jalannya sendiri, menolak bertanding dalam aturan permainan yang telah disetel untuk kalah.

Kota-kota sibuk membangun menara dan pusat perbelanjaan. Tapi di desa, pelan-pelan orang belajar menghitung hasil panen, menulis kisah orang tua mereka, menyusun anggaran komunitas, mendidik anak-anak mereka sendiri, dan memulihkan ingatan pada tanah. Desa tidak mengepung kota dengan pasukan, tapi dengan gagasan, dengan keberanian untuk bertumbuh tanpa izin.

Barangkali inilah bentuk baru dari politik, bukan tentang merebut kekuasaan, tapi mencipta ruang aman untuk hidup. Bukan tentang oposisi, tapi tentang otonomi. Bukan tentang melawan, tapi tentang melepaskan diri. Gerakan ini tidak ingin duduk di ruang sidang, tapi membangun tenda di luar pagar. Karena tenda itu, bagaimana pun sederhananya, bisa menjadi rumah yang sungguh-sungguh.

Leviathan akan tetap ada. Ia akan tetap menerbitkan izin. Ia akan menyebut dirinya pelindung. Tapi kita tahu, pelindung yang baik bukan yang mengambil alih hidup orang lain. Kita tahu, perlindungan sejati datang dari kekuatan yang dibangun bersama.

Air itu masih menetes. 

Sementara batu itu, suatu hari, akan retak. Bahkan tembus.

Jakarta, 27 Juli 2025


LihatTutupKomentar