Narasi dan Identitas Dayak dalam Konteks Kolonial dan Gerakan Literasi Modern

Dayak, Melayu, asli, Literasi Dayak, Penerbit Lembaga Literasi Dayak, LLD, WAG Literasi Dayak,

 

Narasi dan Identitas Dayak dalam konteks kolonial dan Gerakan Literasi Modern by Grok.
Narasi dan Identitas Dayak dalam konteks kolonial dan Gerakan Literasi Modern by Grok.

Peneliti: Masri Sareb Putra, M.A.
Tanggal rilis: 06 Juli 2025


Pendahuluan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan narasi dan identitas masyarakat Dayak dalam konteks sejarah kolonial serta respons modern melalui gerakan literasi. 

Fokus penelitian mencakup tiga aspek utama:

  1.  ketiadaan tradisi tulis sebagai faktor dominasi narasi luar,
  2.  konstruksi identitas oleh kolonial yang tidak selaras dengan realitas sosial lokal, dan 
  3. kebangkitan gerakan literasi Dayak sejak 1990-an hingga perkembangan terkini pada 2023.

Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah dan sosiologis dengan sumber data dari dokumen kolonial, literatur akademik, serta laporan perkembangan literasi Dayak modern dan kontemporer.

Latar Belakang

Masyarakat Dayak, sebagai salah satu komunitas adat terbesar di Borneo, memiliki sejarah panjang dalam mempertahankan identitas budaya mereka di tengah tekanan eksternal. 

👉 Baca juga FILSAFAT DAYAK Usaha Rasional Memahami Zat Tertinggi, Penduduk Asli, Alam Semesta, dan Budaya Borneo Masa ke Masa

Selama periode kolonial, narasi tentang Dayak dibentuk oleh pihak luar, terutama melalui dokumen-dokumen Belanda dan Inggris. Namun, sejak akhir abad ke-20, muncul upaya dari dalam komunitas Dayak untuk merebut kembali narasi mereka melalui tradisi tulis modern.

Temuan Penelitian

1. Ketiadaan Tradisi Tulis dan Dominasi Narasi Luar

Salah satu faktor fundamental yang menyebabkan terpinggirkannya suara masyarakat Dayak dalam konstruksi narasi sejarah dan identitas budaya mereka adalah ketiadaan tradisi tulis pada masa pra-kolonial hingga kolonial. Pada periode tersebut, masyarakat Dayak memiliki sistem pengetahuan yang sangat kaya dan berakar kuat dalam tradisi lisan. Pengetahuan, nilai-nilai leluhur, dan sejarah komunitas ditransmisikan dari generasi ke generasi melalui cerita rakyat, mitos, ritus adat, nyanyian, serta simbol-simbol visual seperti ukiran kayu, lukisan gua, dan tato tubuh. Sistem ini, meskipun kompleks dan penuh makna, tidak diterima sebagai bentuk legitimasi pengetahuan dalam kerangka epistemologis Barat yang menjunjung tinggi budaya tulis.

Dominasi kekuatan kolonial yang memperkenalkan sistem administrasi berbasis tulisan dan dokumentasi formal telah secara sistematis mengabaikan, bahkan menyingkirkan, sistem pengetahuan lokal yang berbasis lisan. Dalam konteks ini, tulisan menjadi alat kekuasaan yang menentukan apa yang dianggap sah dan layak dicatat sebagai sejarah. Masyarakat Dayak, yang tidak memiliki infrastruktur atau tradisi menulis yang terdokumentasi, kehilangan hak untuk menarasikan dirinya sendiri dalam panggung sejarah tertulis. Hal ini membuka ruang yang luas bagi pihak luar—terutama para administrator kolonial, misionaris, dan peneliti asing—untuk menulis dan menyebarluaskan narasi tentang Dayak dari sudut pandang mereka sendiri.

Banyak dari narasi kolonial tersebut bersifat bias dan reduktif. Misalnya, dalam sejumlah laporan kolonial maupun tulisan akademik awal abad ke-20, masyarakat Dayak kerap dilukiskan sebagai komunitas "primitif," "liar," atau "terbelakang" (Heidhues, 2003). Representasi tersebut tidak hanya menyederhanakan realitas sosial Dayak, tetapi juga berfungsi sebagai legitimasi untuk berbagai bentuk intervensi politik, ekonomi, dan religius atas nama “peradaban” atau “modernisasi.” Lebih dari itu, ketiadaan sarana dokumentasi tertulis di kalangan masyarakat Dayak membuat mereka tidak memiliki instrumen untuk membantah atau mengoreksi representasi yang menyimpang tersebut.

Situasi ini menimbulkan implikasi jangka panjang terhadap konstruksi identitas Dayak dalam diskursus nasional maupun global. Hingga kini, warisan dari dominasi narasi luar tersebut masih terasa, baik dalam buku-buku sejarah resmi, kurikulum pendidikan, maupun dalam media massa. Upaya untuk membangun literasi dan dokumentasi dari dalam—dari masyarakat Dayak sendiri—baru mulai menggeliat beberapa dekade terakhir, terutama dengan hadirnya lembaga-lembaga seperti Lembaga Literasi Dayak dan gerakan literasi berbasis komunitas.

👉 Baca juga Bank Dayak Itu Bernama Credit Union

Tantangan utama yang dihadapi masyarakat Dayak bukan semata persoalan masa lalu, melainkan bagaimana mereka secara kolektif merebut kembali hak naratifnya. Ini mencakup penguatan literasi, pengarsipan sejarah lisan, dan penulisan ulang sejarah dari sudut pandang internal. Kesadaran ini menandai awal dari sebuah proses dekonstruksi dan rekonstruksi identitas Dayak yang lebih otentik dan berakar pada pengalaman historis serta kearifan lokal mereka sendiri.

Meskipun kaya makna, medium ini tidak diakui dalam sistem administrasi kolonial yang mengandalkan tulisan sebagai alat otoritas. Akibatnya, narasi tentang Dayak sering kali ditulis oleh pihak kolonial, yang cenderung mendistorsi realitas sosial dan budaya lokal. Misalnya, laporan kolonial sering menggambarkan Dayak sebagai kelompok "primitif" atau "terbelakang," yang tidak mencerminkan kompleksitas budaya mereka (Heidhues, 2003). Ketiadaan instrumen tulis membuat komunitas Dayak sulit mengoreksi atau melawan narasi tersebut.

2. Konstruksi Identitas Kolonial

Konstruksi Identitas oleh Kolonialisme dan Warisan Dikotomis di Borneo

Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, sumber-sumber kolonial dari Kompeni Hindia Belanda dan Inggris memperlihatkan adanya upaya sistematis dalam membakukan identitas masyarakat Borneo (Kalimantan) berdasarkan klasifikasi geografis dan religius. Klasifikasi ini membentuk dikotomi-dikotomi yang kaku dan reduktif, seperti pembagian antara masyarakat pedalaman (inlanders) dan masyarakat pesisir, serta antara kelompok Muslim dan non-Muslim. Dalam kerangka ini, istilah "Dayak" mulai digunakan secara luas oleh aparat kolonial untuk merujuk pada masyarakat non-Muslim yang tinggal di pedalaman, sementara istilah "Melayu" merujuk pada masyarakat Muslim yang tinggal di wilayah pesisir dan kota-kota pelabuhan.

Konstruksi semacam ini merupakan bentuk simplifikasi atas kompleksitas sosial dan budaya masyarakat Borneo. Identitas Dayak dan Melayu tidaklah bersifat esensial atau mutlak, melainkan bersifat cair dan adaptif, sebagaimana ditunjukkan oleh King (1993). Dalam praktik sosial, tidak jarang seseorang yang berasal dari komunitas adat Dayak memeluk Islam tanpa serta-merta menghapus identitas kultural Dayaknya. Demikian pula, seseorang yang tinggal di wilayah pesisir dan berinteraksi dengan komunitas Melayu tidak otomatis terasimilasi secara penuh dalam kategori sosial-religius "Melayu" versi kolonial. Realitas sosial di Borneo menunjukkan tingkat fleksibilitas identitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan cara pandang kolonial yang cenderung membekukan perbedaan dalam kategori tetap.

Dikotomi yang dibangun oleh pemerintah kolonial ini tidak hanya mempengaruhi persepsi luar terhadap masyarakat lokal, tetapi juga turut membentuk cara masyarakat Borneo memahami diri mereka sendiri. Melalui sistem administrasi kolonial, klasifikasi ini dilembagakan dalam berbagai bentuk, seperti sensus penduduk, pendidikan formal, hukum adat, serta kebijakan pengelompokan etnis dalam struktur pemerintahan lokal. Sekolah-sekolah kolonial, misalnya, mengajarkan identitas melalui kurikulum yang menyematkan nilai-nilai "peradaban" kepada masyarakat Melayu pesisir, dan menggambarkan masyarakat pedalaman sebagai “masih dalam proses menuju kemajuan.”

Dampak dari pembekuan identitas ini terus bergaung hingga era modern. Banyak kebijakan pemerintah pascakemerdekaan Indonesia secara implisit masih menggunakan warisan dikotomis tersebut, misalnya dalam pemetaan sosial, pengelompokan etnik dalam statistik, dan program-program pembangunan yang membedakan wilayah “terbelakang” pedalaman dari wilayah “maju” pesisir. Dalam tataran sosial, stereotip terhadap kelompok Dayak sebagai masyarakat adat yang terisolasi dan belum berkembang masih kerap muncul dalam wacana publik, baik secara implisit maupun eksplisit.

Oleh karena itu, perlu ada dekonstruksi terhadap warisan kolonial dalam pemahaman identitas etnis dan religius di Borneo. Penelitian etnografi kontemporer dan upaya penulisan sejarah dari perspektif lokal dapat membantu membuka ruang bagi pengakuan terhadap keberagaman dan fleksibilitas identitas masyarakat Borneo. Dengan demikian, masyarakat Dayak maupun Melayu dapat dilihat sebagai entitas yang dinamis dan saling berinteraksi, bukan sebagai kutub-kutub yang terpisah secara mutlak.

3. Kebangkitan Gerakan Literasi Dayak

Sejak dekade 1990-an, muncul suatu gerakan penting di kalangan masyarakat Dayak yang dikenal sebagai gerakan “Dayak menulis dari dalam.” Gerakan ini merupakan respons kritis terhadap dominasi narasi luar—terutama narasi kolonial, akademik luar, dan media arus utama—yang selama ini merepresentasikan identitas dan budaya Dayak secara bias, stereotipikal, atau bahkan keliru. Inisiatif ini berangkat dari kesadaran bahwa selama berabad-abad, masyarakat Dayak lebih banyak menjadi objek tulisan ketimbang menjadi subjek yang menarasikan dirinya sendiri.

Tujuan utama dari gerakan ini adalah untuk mendokumentasikan sejarah, budaya, adat, kosmologi, dan nilai-nilai masyarakat Dayak melalui lensa orang Dayak sendiri. Dengan menulis dari dalam, pengetahuan yang selama ini hidup dalam bentuk lisan dan praksis komunitas mulai dituangkan ke dalam bentuk tulisan yang dapat diwariskan lintas generasi dan menjangkau khalayak lebih luas. Puncak penting dari gerakan ini terjadi pada tahun 2015 dengan berdirinya Penerbit Lembaga Literasi Dayak (LLD). Hingga tahun 2025, LLD telah menerbitkan 305 judul buku ber-ISBN, mencakup tema-tema sejarah lokal, biografi tokoh adat, hukum adat, hingga sastra Dayak. Gerakan ini menjadi tonggak penting dalam merebut kembali hak naratif masyarakat Dayak atas dirinya sendiri.

👉 Baca Sistem Pertanian Sawah Organik Terintegrasi dengan Kerbau pada Suku Dayak Kaharingan dan Lundayeh

Buku-buku yang ditulis oleh penulis Dayak “dari dalam” mencerminkan kekayaan dan keragaman perspektif masyarakat adat dalam merekam dan merefleksikan pengalaman mereka sendiri. Tema-tema yang diangkat sangat beragam, mulai dari sejarah adat dan sistem pemerintahan tradisional, hukum adat, kisah-kisah mitologis, hingga karya sastra seperti puisi, cerpen, dan novel. Tidak hanya itu, isu-isu kontemporer seperti dampak industri ekstraktif (perkebunan sawit, tambang), perubahan iklim, pendidikan, hak tanah ulayat, dan relasi antaragama juga menjadi perhatian serius. Penulis-penulis Dayak menulis dengan pendekatan kontekstual dan reflektif, menggabungkan pengalaman hidup, pengetahuan lokal, dan nalar akademik untuk menyuarakan realitas komunitas mereka (WAG Literasi Dayak, 2025).

Sejak tahun 2023, geliat literasi Dayak semakin menguat melalui terbentuknya komunitas daring bernama WhatsApp Group (WAG) Literasi Dayak. Grup ini menjadi ruang virtual penting bagi para penulis, akademisi, pegiat budaya, dan generasi muda Dayak untuk berbagi gagasan, mendiskusikan karya, serta menginisiasi berbagai kegiatan seperti bedah buku, lokakarya penulisan, hingga sayembara sastra. Salah satu capaian strategis dari komunitas ini adalah pemetaan dan dokumentasi terhadap lebih dari 1.500 judul buku yang ditulis oleh penulis Dayak, baik yang telah diterbitkan maupun yang masih dalam proses penulisan. Pemetaan ini membantu mengarsipkan kekayaan literasi Dayak kontemporer, sekaligus menjadi basis data penting untuk riset, pendidikan, dan advokasi budaya (Lembaga Literasi Dayak, 2023).

7 butir perbedaan antara narasi dan identitas Dayak dalam konteks kolonial dan gerakan literasi Dayak modern dalam tabel:

No. Aspek Konteks Kolonial Gerakan Literasi Modern
1. Subjek Naratif Orang luar (kolonial Belanda, Inggris, misionaris, akademisi asing) Orang Dayak sendiri (penulis lokal, akademisi Dayak, komunitas literasi Dayak)
2. Media Utama Dokumen administrasi kolonial, laporan etnografi, misi Kristen Buku ber-ISBN, artikel, puisi, cerpen, dokumentasi sejarah lisan
3. Perspektif Identitas Reduktif dan dikotomis: Dayak = pedalaman & non-Muslim, Melayu = pesisir & Muslim Inklusif dan reflektif: Identitas Dayak beragam, cair, dan adaptif
4. Tujuan Narasi Mengontrol, mengklasifikasi, dan membenarkan intervensi kolonial Memberdayakan, menyuarakan identitas, dan merebut hak naratif
5. Status Pengetahuan Lokal Diabaikan, dianggap "primitif" karena non-tulis Diakui dan ditransformasikan ke dalam bentuk tulis dan digital
6. Dampak terhadap Masyarakat Dayak Marginalisasi identitas, stereotip, dan kehilangan kendali atas sejarah sendiri Kebangkitan kesadaran kultural, penguatan literasi, dan identitas yang lebih otentik
7. Produksi Pengetahuan Terpusat pada lembaga kolonial dan universitas asing Terdesentralisasi melalui Lembaga Literasi Dayak, komunitas WAG Literasi Dayak, dll.

Dengan demikian, gerakan literasi Dayak bukan hanya bentuk ekspresi budaya, tetapi juga instrumen penting dalam perjuangan identitas, hak atas pengetahuan, dan kedaulatan naratif masyarakat Dayak di era modern.

Kesimpulan

  1. Penelitian ini menunjukkan bahwa ketiadaan tradisi tulis pada masa kolonial menyebabkan dominasi narasi luar yang mendistorsi identitas Dayak. 
  2. Konstruksi identitas kolonial yang kaku juga tidak mencerminkan realitas sosial yang cair di Borneo. Namun, gerakan literasi Dayak sejak 1990-an, yang diperkuat oleh berdirinya LLD dan WAG "Literasi Dayak," telah berhasil merebut kembali narasi budaya Dayak dari dalam. 
  3. Gerakan "Dayak menulis dari dalam" dan publikasi  tidak hanya memperkuat identitas Dayak, tetapi juga memperkaya wacana budaya nasional melalui produksi literatur yang signifikan.

👉 Baca The Classification of Dayak Ethnic Groups


Daftar Pustaka

  • Collins, J.T. (2010). Borneo and the Homeland of the Austronesian Languages. In J.T. Collins (ed.) Studies in Austronesian Linguistics, pp. 15–30. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
  • Etika, T. & Masri. (2025). Agama Asli Suku Dayak: Dahulu, Kini, Masa Depan. Jakarta: Penerbit Lembaga Literasi Dayak.

  • Etika, T. et al. (2025). Filsafat Dayak. Jakarta: Penerbit Lembaga Literasi Dayak.

  • Heidhues, M.F. (2003). Golddiggers, Farmers, and Traders in the "Chinese Districts" of West Kalimantan, Indonesia. Leiden: KITLV Press.
  • King, V.T. (1993). The Peoples of Borneo. Oxford: Blackwell Publishers.
  • Lembaga Literasi Dayak. (2023). Laporan Tahunan Literasi Dayak 2023. Pontianak: Penerbit LLD.
  • Lontaan, J.U. (1975). Sejarah, Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. Pontianak: Pemda Tingkat I Kalbar.
  • Putra, Masri Sareb. 2022. Jejak literasi Dayak masa ke masa : dari Tjilik Riwut hingga Batu Ruyud Writing Camp 2022. Jakarta: Penerbit LLD. ISBN 978-623-5890-23-4.

LihatTutupKomentar