Paradoks Pangan di Kalimantan: Beras Mahal, Petani Dayak Justru Menjerit
Orang Dayaj perlu menyadari tidak bisa (lagi) bergantung dan dimanjakan alam. Harus smart di dalam mengelola alam dan uang. Jangan beli sayur mayur dan beras pada Trans. Its.
Ketika harga beras naik, logikanya petani bersyukur. Tapi di pedalaman Kalimantan, terutama di komunitas Dayak, justru terdengar keluhan. Petani menjerit. Mereka bukan menikmati keuntungan, melainkan membeli beras, sayur, dan lauk dari luar.
Ironi ini menggambarkan realitas pahit di tanah yang subur.
Tanah Dayak kaya air, kayu, dan ladang. Tapi, kemandirian pangan melemah.
Ketergantungan pada pedagang keliling—kebanyakan dari luar komunitas, semakin
kuat.
1. Tanah Subur, Tapi Sayur Dibeli
Kalimantan dikenal sebagai tanah yang kaya. Di sana,
masyarakat Dayak terbiasa hidup dari ladang dan kebun. Mereka menanam padi
ladang, memetik sayur dari hutan, dan memancing ikan di sungai. Tapi kini,
banyak dari mereka harus membeli sayuran, telur, bahkan ikan dari penjual
keliling bermotor.
Baca Krisis Energi Global dan Dampaknya terhadap Industri Batubara di Indonesia: Perspektif Borneo
“Setiap pagi ada yang jualan pakai motor. Sayur, telur, ikan asin, sampai cabai. Hampir semua orang beli,” ujar seorang ibu di pinggir Sungai Sekadau.
Kondisi ini umum terjadi. Komunitas Dayak yang dulu mandiri
kini menjadi pasar konsumtif.
Harga beras nasional kini mencapai lebih dari Rp15.000 per
kg. Tapi banyak petani Dayak justru tidak punya cadangan beras. Mereka terpaksa
membeli dari luar. Ini paradoks: petani di daerah subur justru menjadi pembeli.
2. Terlalu Dimanjakan Alam, Kalah Ulet dari Pendatang
Mengapa hal ini terjadi? Salah satu jawabannya: orang Dayak
terbiasa dimanjakan oleh alam. Ketika semuanya tersedia secara alami, dorongan
untuk bertani intensif menjadi rendah. Berbeda dengan para pendatang atau warga
transmigran yang lebih ulet dan tekun berusaha.
Baca Dekolonisasi Narasi Identitas: Warisan Kolonial dan Rekonstruksi Identitas Dayak di Borneo
Setiap hari, pedagang motor datang dengan barang kebutuhan
rumah tangga. Masyarakat lokal tinggal membeli. Akibatnya, ladang banyak yang
ditinggalkan. Generasi muda lebih suka kerja proyek atau nongkrong di kota.
“Kalau ada hasil, makan. Kalau tidak ada, ya beli,” begitu
kata yang sering terdengar. Pola pikir ini jadi ancaman serius bagi ketahanan
pangan lokal.
3. Perlu Edukasi dan Revolusi Kemandirian Pangan
Saatnya ada pendekatan baru. Kemandirian pangan Dayak harus
dibangun ulang, mulai dari perubahan pola pikir. Edukasi bertani tidak cukup
secara teknis. Harus menyentuh aspek budaya, identitas, dan harga diri.
Baca Masyarakat Dayak Intu Lingau Tuntut Penghentian Investasi Sawit Nakal
Program pelatihan bertani organik, revitalisasi kebun
kampung, sekolah tani lokal, dan edukasi remaja tentang pertanian perlu
digalakkan. Tidak cukup hanya membagi bibit atau pupuk. Harus dibangun
kesadaran: tanah adalah kehidupan, bukan beban.
Kemandirian pangan bukan sekadar ekonomi, tetapi kehormatan.
Orang Dayak tidak boleh selamanya menjadi pembeli di tanahnya sendiri. Alam
yang kaya harus kembali menjadi sumber kehidupan.
Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah: Ini Bukti Ilmiah Uji-karbon 40.000 Tahun Silam
Paradoks pangan di Kalimantan bukan soal kemiskinan, tapi soal arah.
Orang Dayak perlu kembali ke tanah, ke ladang, dan ke kebun.
Membangun kemandirian pangan adalah langkah strategis untuk masa depan yang
berdaulat.