Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (19)

Hakka, Sanggau, Khek, Tionghoa, Macan Gaikng, Kalimantan Barat, Vihara, toapekong, migrasi, Fujian, Cina, Tiongkok, Borneo, Varuna-dvipa, Kalimantan

 

Kredit gambar: Matius Mardani.

5

 Dalam Gua Bertemu Babai Cinga[1] 

Pada senjakala akan masuk pintu malam yang begitu gulita pada waktu itu.[2] 

Bulan tampak sepotong saja. Hanya sebuah noktah sebagai bayang-bayang yang samar. 

Baca Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (18)

Hutan perawan yang mencekam menyelimuti seluruh dunia di sekelilingnya. Macan Gaikng, keturunan Babae Cinga, merasakan getaran yang datang dari jauh. 

Getaran itu bukan sekadar getaran fisik, melainkan sesuatu yang lebih mendalam, yang menyentuh inti jiwanya. Seperti kabut yang menggerayangi pikiran, mengubah segala sesuatu menjadi kabur dan tak terjangkau. Dalam diam, Macan Gaikng merasakan panggilan yang lebih tua dari dirinya, suara yang menyusup melalui dinding-dinding waktu. 

Suara itu datang, seperti angin yang datang dengan harapan dan keputusasaan yang bersamaan. Ia mengalir melalui darahnya, mengingatkan pada sebuah takdir yang terlupakan oleh waktu. Takdir yang berakar pada sejarah yang jauh, tertinggal dalam lorong-lorong kehidupan manusia. 

"Keturunan Babae Cinga, dengarlah bisikan kami!" suara itu bergetar lembut, namun menggema dalam hati Macan Gaikng. "Tanah ini adalah ladang yang telah dibajak oleh waktu." 

Kata-kata itu bergetar seperti ombak yang menghantam karang, tak terhentikan. 

"Keturunan Babae Cinga, tanah ini tak pernah mati," lanjut suara itu lagi. "Tanah ini adalah saksi bisu perjalanan waktu, tempat segala perasaan manusia terukir. Meski dihancurkan, ia akan kembali tumbuh, meski perlahan. Tugasmu adalah menanam benih yang hilang. Menumbuhkan kembali pohon-pohon yang runtuh, yang pernah meneduhkan banyak jiwa."

Suara itu mengalir seperti sungai yang tak pernah berhenti, memaksa Macan Gaikng untuk mendengarkan dan merenung lebih dalam. 

Baca Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (1)

Macan Gaikng merasa dirinya terhanyut dalam dunia yang tak tampak. Ia berdiri, mendengar dengan hati yang berat. Meski mendengar, namun ia tak dapat melihat siapa yang berbicara. Hanya hutan yang membisu, gelap dan kosong. 

Tiba-tiba saja, suara itu kembali menggema, lebih keras, lebih dalam. 

"Gua[3] ini adalah cermin waktu, tempat di mana masa lalu dan masa depan bertemu. Di sini, segala yang terlupakan akan ditemukan kembali." Suara itu bergetar seperti gemuruh petir, menggetarkan seluruh tubuhnya. 

Ia melangkah maju, setiap langkahnya menggema di dalam gua. Setiap langkah itu bagaikan dentuman hati yang penuh kecemasan, melangkah menuju jawaban yang tak pasti. 

Gua Pasap Nyulor Timol Tongolam adalah tempat di ambang waktu, sebuah tempat di mana realitas dan fantasi bertemu[4]. Gua ini bukan sekadar ruang, melainkan waktu yang terhenti, sebuah tempat di mana tak ada yang bisa melarikan diri. 

Setiap dinding gua seakan menyimpan rahasia, memegang janji-janji yang terlupakan. Setiap batu di sana mengingatkan pada dosa-dosa yang belum terbayar, pada kesalahan yang belum dimaafkan. 

Macan Gaikng berjalan lebih dalam, semakin jauh dari dunia luar, semakin dekat dengan kenyataan yang sulit diterima. Batu besar di depannya menyinarkan cahaya yang misterius, menanti untuk diletakkan pada tempatnya. Batu itu tak hanya batu, melainkan simbol dari kekuatan yang tak terlihat, kekuatan yang mengatur semesta alam. 

Ketika ia melangkah lebih dalam lagi, roh-roh leluhur mulai muncul dari kegelapan yang paling gulita. Mereka tidak datang dalam bentuk jasad, tetapi sebagai bayangan yang mengalir tanpa wujud, seperti angin yang membawa cerita lama. Suara mereka datang tidak dari mulut mereka, tetapi dari udara yang mengalir, dari nisbi[5], suatu hampa dari kekosongan yang tercipta oleh waktu. 

"Keturunan Babae Cinga, tanah ini terluka," suara mereka bergetar, menembus keheningan gua. "Bumi ini bukan hanya tanah yang kita pijak, melainkan tempat kita bernapas. Namun, ia telah dicabik oleh tangan-tangan yang rakus, yang hanya mengejar kekuasaan dan harta. Keseimbangan alam telah rusak, dan kini saatnya untuk memperbaikinya."

Suara itu menggelegar, menggetarkan seluruh tubuh Macan Gaikng. 

"Tanah ini bukan sekadar tanah, ia adalah tubuh yang hidup. Ia merasakan setiap luka, setiap robekan yang ditinggalkan oleh manusia. Jika tanah ini dihancurkan lebih jauh, kehidupan akan mati, seperti ladang yang tak pernah ditanami, dan sungai yang mengering di tengah musim hujan." 

Baca Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (9)

Suara itu menggetarkan hatinya, seakan mengingatkannya pada kebodohan umat manusia yang selalu melupakan alam, yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa melihat lebih jauh ke depan.


Catatan kaki:

[1] Babai Cinga adalah tokoh nyata, bukan legenda. Ia dipercaya sebagai penduduk asli, first nation, belantara Varuna-dvipa, jadi jauh hari sebelum nama Borneo diperkenalkan oleh para pelancong dan penulis barat. Semua referensi, dan narasi, terkait menyatakan bahwa Babai Cinga berasal dan tinggal di Tampun Juah yang diyakini masyarakat Dayak sebagai “tanah semula jadi”. Kini berada di wilayah Lubuk Sabuk, Sekayam, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. Referensi tepercaya yang menulis Babai Cinga adalah pendiri kerajaan Sanggau bersama Daranante adalah silsilah raja-raja Sanggau oleh Lontaan (1975: 170-171). Silsilah Kerajaan Sanggau pun menyebut, bahkan menempatkan Babai Cinga sebagai ko-pendidiri Kerajaan Sanggau bersama Dara Nante. 

[2] "Pada waktu itu" di sini disepadankan dengan frasa "In illo tempore" dalam bahasa Latin yang secara harfiah berarti "pada masa itu."

 Dalam konteks sastra, frasa ini sering digunakan untuk merujuk pada waktu atau periode tertentu yang sudah berlalu, seringkali dengan nuansa sejarah atau mitologis. Istilah ini memberi kesan bahwa peristiwa yang terjadi berada dalam latar waktu yang jauh dan sudah menjadi bagian dari masa lalu, yang sering digunakan dalam narasi untuk menciptakan suasana yang lebih mendalam atau dramatis.

Penggunaan "in illo tempore" dalam sastra klasik, seperti dalam karya-karya Latin terbaik, bisa ditemukan dalam teks-teks seperti karya-karya Vergilius (seperti Aeneid), Ovidius, atau dalam karya-karya lain yang memanfaatkan mitos dan sejarah untuk menggambarkan kejadian-kejadian yang berlangsung pada zaman kuno atau dalam dunia yang jauh dari kehidupan sehari-hari pembaca. Frasa ini sering berfungsi untuk memperkenalkan cerita yang berakar pada zaman yang dianggap lebih kuno atau mistis, memperkuat perasaan keagungan, keabadian, atau pentingnya peristiwa yang sedang diceritakan. 

Contoh penggunaan frasa ini dalam sastra bisa seperti berikut: "In illo tempore, the gods walked among men," yang bisa diterjemahkan menjadi, "Pada masa itu, para dewa berjalan di antara manusia." Ini menunjukkan bahwa peristiwa yang terjadi berada dalam sebuah waktu legendaris atau luar biasa. 

Pendeknya, frasa "in illo tempore" memberikan rasa kedalaman dan kejayaan sejarah dalam karya sastra klasik. 

[3] Gua sesungguhnya bukan hanya sebuah lorong gelap biasa, namun adalah Representasi Kosmologi Dayak, tempat yang menghubungkan dunia fisik dan dunia spiritual dalam tradisi mereka. Dalam pandangan kosmologi Dayak, gua sering kali dianggap sebagai simbol kedalaman alam semesta, sebuah ruang transendental yang melampaui batasan fisik. Di dalam gua, terdapat pemahaman tentang alam semesta yang terbagi dalam tiga lapisan utama: dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah, yang masing-masing memiliki makna dan kekuatan yang berbeda. Gua menjadi tempat pertemuan antara dunia manusia dengan dunia roh, yang menciptakan dimensi sakral yang dalam dalam kehidupan masyarakat Dayak. Setiap langkah memasuki gua bukan hanya sekadar memasuki sebuah ruang fisik, melainkan juga perjalanan spiritual yang mengandung filosofi yang dalam tentang asal-usul, kehidupan, dan kematian.

Lebih dari sekadar tempat persembunyian atau perlindungan, gua juga menjadi simbol bagi proses transformasi, penyucian, dan pencarian pengetahuan dalam tradisi Dayak. Beberapa gua, seperti yang ada di kalangan suku Dayak Iban atau Dayak Ngaju, memiliki peran penting dalam ritual-ritual keagamaan dan adat, tempat di mana para pemimpin spiritual melakukan perjalanan menuju kesadaran yang lebih tinggi atau komunikasi dengan leluhur. Gua menjadi penanda transisi, dari dunia yang nyata menuju dunia yang lebih tinggi dan lebih halus, tempat di mana manusia dapat berinteraksi dengan kekuatan yang lebih besar dari dirinya. Dengan demikian, gua dalam kosmologi Dayak bukan hanya ruang fisik, tetapi juga sebuah simbol kehidupan spiritual yang mencerminkan hubungan manusia dengan alam semesta dan kekuatan-kekuatan tak terlihat yang mengaturnya.

Dalam konteks agama asli Indonesia, sebagaimana dikemukakan oleh Anton Bakker (Agama Asli Indonesia, 1971), memiliki inti ajaran yang menekankan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan dunia gaib. Gua sering kali dipandang sebagai tempat suci yang melambangkan rahim ibu pertiwi, sebuah ruang di mana kehidupan bermula dan rahasia alam tersimpan. Dalam hal ini, gua yang terhubung dengan Pancur Aji dan Sungai Sekayam mencerminkan axis mundi (poros dunia) dalam kepercayaan lokal, di mana dunia atas (langit), dunia tengah (bumi), dan dunia bawah (alam gaib) saling berinteraksi.

Adapun dalam konteks lokus “Muara Sungai Sekayam” di sini kedalaman kosmologinya bermakna Pemisahan Niat Baik dan Buruk. Muara Sungai Sekayam, dengan airnya yang tampak terpisah antara jernih dan keruh, menjadi metafora kuat dalam kosmologi tradisional Dayak. Dalam agama asli, fenomena alam sering kali dianggap sebagai pesan ilahi. Air jernih melambangkan niat baik, kejujuran, dan kesucian, sedangkan air keruh mencerminkan niat buruk, keserakahan, dan pelanggaran terhadap tatanan kosmis. Tenggelamnya kapal kompeni Hindia Belanda, Nederland Indie Rubber (NIRUB), di muara ini bukanlah peristiwa kebetulan, melainkan konsekuensi dari pelanggaran terhadap hukum moral alam semesta. Dalam kepercayaan lokal, segala tindakan manusia memiliki resonansi dalam alam semesta, sebagaimana dijelaskan oleh Bakker, bahwa "segala sesuatu di dunia ini saling berkait dalam jaringan harmoni yang sakral."

 Sedangkan “Pancur Aji” yang dikisahkan pada bab bab di muka adalah Simbol Pemurnian dan Penebusan.

Terhubungnya gua misterius dengan Pancur Aji menegaskan peran air sebagai elemen pemurnian dalam agama asli Indonesia. Pancur Aji, yang dalam banyak tradisi lokal dianggap sebagai tempat suci, merupakan simbol ritus lustrasi atau penyucian diri. Air yang mengalir dari Pancur Aji diyakini memiliki kekuatan untuk membersihkan dosa dan memperbaharui hubungan manusia dengan kekuatan ilahi. Hal ini sesuai dengan pandangan Bakker bahwa dalam agama asli, ritus pemurnian bertujuan untuk memulihkan keharmonisan antara individu, komunitas, dan alam semesta. 

[4] Ungkapan ini bersinggungan dengan pemikiran tentang bagaimana realitas dan fantasi tidak selalu terpisah secara kaku, melainkan berinteraksi dalam cara yang memperkaya pemahaman kita tentang dunia, baik dalam konteks filsafat, seni, atau bahkan pengalaman sehari-hari. Setiap filsuf ini melihat pertemuan antara realitas dan fantasi dengan cara yang berbeda, tetapi semuanya sepakat bahwa keduanya saling mempengaruhi dan membentuk pengalaman manusia. Plato – Dalam karya terkenalnya Politeia, Plato berbicara tentang dunia ide atau dunia Forms, yang dianggap sebagai realitas sejati. Dunia fisik yang kita lihat, menurut Plato, hanyalah bayangan atau salinan dari dunia ide tersebut. Dalam pandangannya, ada hubungan yang erat antara realitas (dunia nyata) dan dunia fantasi (dunia ide), dan manusia berusaha untuk mengejar pemahaman akan dunia ide sebagai bentuk kebenaran sejati. Filsuf lainnya yang mengupas hal ini, antara lain: Gilles Deleuze dan Félix Guattari, Immanuel Kant, Jean-Paul Sartre, dan René Descartes.

[5] Dalam filsafat, sesuatu yang nisbi berarti keberadaannya tidak absolut dan hanya memiliki makna atau kebenaran jika dibandingkan dengan hal lain. Contohnya, nilai moral atau keindahan sering kali dianggap nisbi, karena bergantung pada budaya, waktu, atau individu yang menilainya.

(BERSAMBUNG)

LihatTutupKomentar