Anagata (Masa Depan) Agama Asli Indonesia: Bagamana Kaharingan?

Dayak, Hindu, Ngaju, Kaharingan, Tiwah, tremendum et fascinosum, Alokton, autokton, Scharer, Otto

Anagata (Masa Depan) Agama Asli Indonesia: Bagamana Kaharingan?
Orang Dayak dalam sebuah ritual adat di Pisang, Kecamatan Jangkang, Kalimantan Barat. Dok. MSP.

🌍 DAYAK TODAY  | PONTIANAK :  Kaharingan merupakan salah satu agama asli yang dianut oleh masyarakat Dayak di Kalimantan. 

Kepercayaan asli ini tidak memiliki pendiri tunggal dan berkembang secara organik dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat Dayak. 
Baca Autochthonous sebagai Sistem Kepercayaan Asli Orang Dayak

Dalam sistem religi ini, manusia, alam, dan dunia spiritual terhubung dalam satu kesatuan yang harmonis. Konsep utama dalam Kaharingan adalah keyakinan kepada Ranying Hatalla Langit, sebagai Sang Pencipta dan sumber kehidupan.

Sejarah dan Perkembangan Kaharingan

Secara historis, Kaharingan telah ada jauh sebelum masuknya agama-agama besar seperti Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen ke Nusantara. Kaharingan berkembang sebagai bentuk spiritualitas masyarakat Dayak yang berlandaskan kepercayaan kepada roh leluhur, keseimbangan alam, dan ritual-ritual adat.

Pada era kolonialisme, misionaris Kristen dan penyebar Islam berupaya mengonversi masyarakat Dayak dengan pendekatan pendidikan dan dakwah. 

Kaharingan mengalami tekanan akibat modernisasi dan kebijakan pemerintah Indonesia yang mengharuskan warganya menganut salah satu dari enam agama yang diakui negara (Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu). 

Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah

Untuk menghindari diskriminasi administratif, Kaharingan akhirnya dilebur ke dalam Hindu dengan nama Hindu Kaharingan pada tahun 1980 (Tjilik Riwut, 1993). Hal ini memungkinkan penganut Kaharingan tetap menjalankan ritual mereka secara legal di bawah payung agama yang diakui negara.

Namun, ada perdebatan di kalangan akademisi dan masyarakat Dayak sendiri mengenai apakah peleburan ini menguntungkan atau justru mereduksi identitas asli Kaharingan. 

Menurut penelitian King (1993), kebijakan tersebut membuat sebagian masyarakat Dayak merasa kehilangan identitas asli mereka, karena Kaharingan tidak sepenuhnya selaras dengan konsep Hindu yang berasal dari India.

Konsep Ketuhanan dalam Kaharingan

Dalam Kaharingan, terdapat konsep ketuhanan yang mendalam, di mana Sang Ada (Ranying Hatalla Langit) diyakini sebagai pencipta kehidupan. Kepercayaan ini menekankan keseimbangan antara manusia dan alam sebagai bentuk penghormatan kepada Sang Ada.

Ritual-ritual seperti Tiwah, yaitu upacara kematian yang bertujuan untuk mengantarkan roh ke alam baka, menjadi bukti betapa kuatnya hubungan antara dunia manusia dan roh leluhur dalam Kaharingan. Ritual ini tidak hanya bersifat spiritual tetapi juga mempererat hubungan sosial di antara komunitas Dayak (Scharer, 1963).

Agama dan Tradisi: Relasi Manusia dengan Sang Ada

Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta āgama, yang berarti "tradisi". Dalam bahasa Latin, "religio" berasal dari kata kerja re-ligere, yang berarti "mengikat kembali". Dalam konteks kepercayaan asli Indonesia, agama tidak hanya berkaitan dengan ibadah kepada Tuhan, tetapi juga mencerminkan hubungan manusia dengan alam dan roh leluhur.

Menurut Otto (1917), pengalaman religius manusia terdiri atas dua aspek utama: tremendum et fascinosum, yaitu rasa takut sekaligus kagum terhadap sesuatu yang transenden. Ini terlihat dalam kepercayaan masyarakat Dayak yang meyakini bahwa alam dipenuhi roh-roh yang memiliki kekuatan luar biasa.

Agama asli Indonesia bersifat autokton (berasal dari tempat itu sendiri), berbeda dengan agama alokton (impor dari luar). Kepercayaan asli memiliki ciri khas:

  1. Berasal dari lingkungan lokal - tidak memiliki pendiri tunggal, tetapi berkembang secara turun-temurun.

  2. Terintegrasi dengan kehidupan sosial - upacara dan ritual memiliki peran sosial yang kuat.

  3. Bersifat animistik dan dinamistik - mempercayai adanya roh dalam benda-benda alam.

Kepercayaan seperti Sunda Wiwitan di Jawa Barat, Parmalim di Sumatera Utara, dan Tolotang di Sulawesi Selatan adalah contoh agama asli yang masih bertahan hingga kini (Koentjaraningrat, 1985).

Perspektif Peneliti Asing terhadap Agama Asli Dayak

Agama asli Dayak telah menjadi subjek penelitian para akademisi Barat sejak awal abad ke-20. Beberapa penelitian utama meliputi:

  1. Schadee (1979) yang meneliti sistem kepercayaan masyarakat Tayan dan Landak di Kalimantan Barat. Ia menyebut kepercayaan ini sebagai bentuk "shamanisme", di mana seorang syaman berfungsi sebagai perantara antara dunia manusia dan dunia roh.

  2. Scharer (1963) dalam bukunya Ngaju Religion, yang membahas konsep spiritualitas Dayak Ngaju dan hubungan mereka dengan alam gaib.

  3. King (1993) meneliti bagaimana masyarakat Dayak beradaptasi dengan modernisasi dan tantangan yang dihadapi dalam mempertahankan identitas Kaharingan.

Kepercayaan asli menghadapi tantangan besar akibat globalisasi, modernisasi, dan tekanan dari agama-agama besar. Namun, ada gerakan baru dari masyarakat adat yang berupaya melestarikan agama asli mereka. Beberapa langkah yang dilakukan antara lain:

  1. Pencatatan dan dokumentasi tradisi - dilakukan oleh akademisi dan komunitas adat.

  2. Advokasi hukum - untuk mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah.

  3. Pendidikan dan revitalisasi budaya - melalui pendidikan berbasis budaya lokal.

Di masa depan, penguatan identitas agama asli Indonesia dapat terjadi melalui pendekatan akademik, pengakuan hukum, serta keterlibatan aktif masyarakat adat dalam mempertahankan warisan spiritual mereka.

Agama Asli Indonesia Menurut F.L. Bakker

Agama asli Indonesia mengacu pada kepercayaan dan sistem religi yang telah ada di Nusantara sebelum masuknya agama-agama besar seperti Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen. Dalam kajian ilmiah, terutama dalam pemikiran Frederik Lambertus Bakker, agama asli Indonesia dipahami sebagai sistem kepercayaan yang berkembang secara turun-temurun dalam masyarakat adat dan memiliki hubungan erat dengan alam serta leluhur.


Orang Dayak menulis dengan hati, dengan pemahaman bahwa setiap kata yang tertuang adalah cerminan dari identitas kolektif yang harus dijaga dan diwariskan. Mereka tidak hanya mendokumentasikan, tetapi juga merasakan makna di balik setiap kisah, mitos, dan praktik budaya yang mereka teliti. Dalam narasi para penulis "dari dalam", kebudayaan Dayak tidak hanya ditampilkan sebagai objek studi, tetapi sebagai sebuah dunia yang hidup, dinamis, dan terus berkembang seiring waktu.

Bakker menekankan bahwa agama asli Indonesia bukan sekadar "agama" dalam pengertian formal sebagaimana agama-agama dunia, tetapi lebih sebagai pandangan hidup dan spiritualitas masyarakat adat. Agama ini memiliki beberapa karakteristik utama:

  1. Kepercayaan kepada Roh dan Leluhur
    Masyarakat adat meyakini bahwa roh leluhur masih memiliki pengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Mereka dihormati dan diberi persembahan agar tetap memberikan perlindungan dan berkat bagi keturunannya.

  2. Sakralitas Alam dan Animisme
    Alam dipandang sebagai sesuatu yang suci dan dihuni oleh roh-roh. Gunung, sungai, pohon, dan batu besar sering dianggap sebagai tempat keramat yang dihuni oleh roh penjaga atau makhluk halus.

  3. Tidak Ada Kitab Suci Tertulis
    Berbeda dengan agama-agama dunia yang memiliki kitab suci, agama asli Indonesia diwariskan melalui tradisi lisan dalam bentuk mitos, legenda, dan upacara adat.

  4. Upacara dan Ritual sebagai Sarana Komunikasi dengan Dunia Gaib
    Ritual adat seperti upacara panen, pesta kematian (Tiwah dalam tradisi Dayak Kaharingan), atau sesajen kepada roh dilakukan sebagai bentuk komunikasi dengan dunia spiritual.

  5. Sinkretisme dengan Agama Lain
    Ketika agama-agama besar masuk ke Nusantara, banyak unsur agama asli yang tetap bertahan dan bercampur dengan ajaran baru. Misalnya, dalam Islam Kejawen atau Hindu-Bali masih terdapat unsur-unsur kepercayaan asli.

  6. Kehidupan Sosial yang Religius
    Agama asli tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan atau roh, tetapi juga menata hubungan sosial dalam komunitas. Norma dan hukum adat sering kali bersumber dari ajaran leluhur.

Beberapa agama asli yang masih diakui dan dipraktikkan hingga sekarang antara lain Kaharingan (Dayak – Kalimantan), Marapu (Sumba), Parmalim (Batak – Sumatera Utara), Tolotang (Bugis – Sulawesi Selatan), Wetu Telu (Lombok), dan Kepercayaan Kejawen (Jawa).

Bakker menilai bahwa agama asli Indonesia tetap memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat, meskipun sering kali tidak diakui sebagai "agama resmi" dalam sistem hukum negara. Namun, pasca keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2017, penghayat kepercayaan mendapat pengakuan resmi dalam administrasi kependudukan, meskipun tetap tidak dianggap sebagai agama dalam pengertian yang sama dengan enam agama resmi negara.

Baca Pengelolaan Koperasi: Belajar Jujur dari Credit Union

Dalam perspektif F.L. Bakker, agama asli Indonesia lebih merupakan sistem spiritual yang hidup dan melekat dalam budaya masyarakat. Ia tidak hanya sebatas kepercayaan pada dewa atau roh, tetapi juga mencerminkan cara hidup, hubungan sosial, dan penghormatan terhadap alam serta leluhur. Meskipun agama-agama besar telah mendominasi Nusantara, warisan kepercayaan asli ini tetap bertahan dan beradaptasi dalam kehidupan masyarakat hingga sekarang.

Bias para penulis non-Dayak

Namanya juga peneliti "asing," para peneliti dan penulis non-Dayak hanya mencatat apa yang mereka inderai tentang Dayak, tanpa mengalami kehidupan sebagai orang Dayak sejak lahir. Mereka mengamati dari luar, bukan dari dalam, sehingga tak jarang terjadi bias dalam pemahaman dan interpretasi mereka. Bias ini semakin kentara ketika membahas aspek-aspek mendalam seperti sistem kepercayaan atau agama asli Dayak.

Baca Rekam Jejak Pleistosen di Gua Niah: Dari Manusia Purba ke Masyarakat Dayak

Kepercayaan dan spiritualitas Dayak bukan sekadar objek studi yang bisa dipahami melalui teori dan observasi semata. Ia adalah pengalaman yang hidup, melekat dalam keseharian, diwariskan turun-temurun, dan menyatu dalam identitas serta cara pandang orang Dayak terhadap alam dan kehidupan. Memahami saja tidak cukup—mengalami adalah kunci utama.

Hanya para penulis dan peneliti Dayak yang benar-benar dapat menggali, menafsirkan, dan menyampaikan esensi kebudayaan Dayak dengan otentik. Sebagai bagian dari masyarakatnya, mereka tidak hanya memahami adat dan tradisi secara tekstual, tetapi juga secara kontekstual. Mereka hidup dalam denyut nadi kebudayaan itu sendiri, mengalami langsung setiap ritual, hukum adat, seni, dan nilai-nilai yang diwariskan turun-temurun. Dengan demikian, tulisan mereka bukan sekadar hasil observasi akademik, tetapi refleksi mendalam yang menggambarkan realitas sebagaimana adanya, tanpa distorsi atau reduksi yang sering muncul dalam perspektif luar.

Lebih dari sekadar pencatat, para penulis dan peneliti Dayak membawa warisan budaya ke dalam tulisan mereka dengan cara yang lebih bernyawa. 

Orang Dayak menulis dengan hati, dengan pemahaman bahwa setiap kata yang tertuang adalah cerminan dari identitas kolektif yang harus dijaga dan diwariskan. Mereka tidak hanya mendokumentasikan, tetapi juga merasakan makna di balik setiap kisah, mitos, dan praktik budaya yang mereka teliti. 

Dalam narasi para penulis "dari dalam", kebudayaan Dayak tidak hanya ditampilkan sebagai objek studi, tetapi sebagai sebuah dunia yang hidup, dinamis, dan terus berkembang seiring waktu.

Baca Melacak Jejak Pemakaman Prasejarah Gua Niah: Penan atau Ibankah Sang Pewaris?

Inilah yang membedakan narasi yang ditulis oleh orang luar dan orang dalam. Tulisan yang lahir dari pengamatan semata sering kali hanya menangkap permukaan, tanpa memahami ruh yang menghidupi kebudayaan itu. 

Sementara itu, tulisan yang lahir dari pengalaman langsung menawarkan perspektif yang lebih kaya dan autentik. Narasi yang dibangun oleh penulis dan peneliti Dayak bukan hanya tentang melihat, tetapi tentang mengalami; bukan hanya tentang mendeskripsikan, tetapi juga tentang memahami. Inilah pentingnya peran mereka dalam memastikan bahwa kebudayaan Dayak diceritakan dengan suara yang benar, dari mereka yang benar-benar menghayatinya.

-- Masri Sareb Putra, M.A.


Daftar Pustaka

Bakker, F.L. (1972). Agama Asli di Indonesia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Etika, Tiwi. Penuturan Simbolik Konsep Panca Sraddha dalam kitab suci Panaturan. Tangerang : An1mage, 2017.

King, V.T. (1993). The Peoples of Borneo. Oxford: Blackwell.

Koentjaraningrat. (1985). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia

Otto, R. (1917). Das Heilige. Breslau: Trewendt & Granier.

Riwut, Tjilik. (1993). Kalimantan Membangun. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Schadee, J. (1979). Shamanisme di Kalimantan Barat. Leiden: KITLV Press.

Scharer, H. (1963). Ngaju Religion: The Conception of God among a South Borneo People. The Hague: Martinus Nijhoff.

LihatTutupKomentar