Batu Tabau: Jejak Peradaban Manusia Dayak di Krayan

Dayak, warisan, budaya, teknologi, pertanian, tacit knowledge, Krayan, Lundayeh, Long Mutan, pertanian, ladang

Jejak peradaban manusia Sungai Krayan: Batu Tabau
Yansen TP dan Masri Sareb (kedua dan ketiga dari kiri), peneliti sekaligus penulis di situs bersejarah Batu Tabau, tinggalan nenek moyang manusia Krayan di Long Mutan. Dokpri Msp.

BA' BINUANG, KRAYAN - dayaktoday.comBatu Tabau merupakan salah satu bukti tinggalan peradaban manusia di Krayan yang masih dapat ditemukan di Desa Long Mutan. 

Batu Tabau, yang tergeletak utuh di puncak sebuah bukit kecil di Kecamatan Krayan Tengah, bukan sekadar bongkahan batu biasa, melainkan saksi bisu perjalanan panjang peradaban di wilayah perbatasan.

Bagaimana mencapai situs Batu Tabau?

Untuk mencapai situs bersejarah ini, para pelancong dan peneliti harus menapaki jalur setapak sejauh kurang lebih 300 meter dari tebing sungai Krayan yang deras mengalirkan kehidupan alami. Jalur ini membawa mereka menyusuri lekuk alam Krayan yang masih perawan, dengan hijaunya hutan dan sejuknya udara pegunungan yang menyambut di setiap langkah.

Baca Jejak Kerajan Dayak

Di puncak bukit, Batu Tabau berdiri kokoh, seolah menjaga rahasia masa lampau. Masyarakat setempat meyakini bahwa batu ini bukan sekadar benda mati, melainkan bagian dari warisan yang mengajarkan tentang siklus pertanian, pergerakan musim, dan harmoni dengan alam. Keberadaannya mencerminkan kecerdasan nenek moyang dalam membaca tanda-tanda alam, suatu keterampilan yang diwariskan turun-temurun hingga kini.

Sebagai salah satu situs budaya yang masih jarang tersentuh arus modernisasi, Batu Tabau menyimpan potensi besar untuk penelitian sejarah dan kearifan lokal. Pemerhati budaya dan arkeolog mulai melirik situs ini sebagai bagian penting dari jejak peradaban Dayak Lundayeh, yang telah lama hidup berdampingan dengan alam Krayan.

Baca Rekam Jejak Pleistosen di Gua Niah: Dari Manusia Purba ke Masyarakat Dayak

Batu Tabau memiliki nilai sejarah yang luar biasa, sebab ia menggambarkan budaya pertanian nenek moyang yang telah diwariskan secara turun-temurun. 

Batu Tabau terdiri dari dua bagian utama: bagian pertama berfungsi sebagai alat penunjuk arah matahari, yang digunakan untuk menentukan musim bercocok tanam, sementara bagian kedua merupakan tempat duduk sang penunggu, yang bertugas mengamati dan menentukan saat yang tepat bagi masyarakat untuk menebas lahan, membakar, serta menanam. 

Batu Tabau dapat dianggap sebagai teknologi pertanian tradisional yang memandu siklus pertanian masyarakat Sungai Krayan.

Teknologi tradisional berbasis pengetahuan

Batu Tabau bukan sekadar artefak peninggalan masa lalu, tetapi juga cerminan kecerdasan masyarakat Krayan dalam mengembangkan teknologi pertanian berbasis pengetahuan astronomi. Dibangun melalui pengalaman bertahun-tahun, siklus pertanian yang didasarkan pada arah matahari terbukti efektif dalam meningkatkan hasil panen. 

Warga-masyarakat yang mengikuti petunjuk Batu Tabau cenderung memperoleh hasil pertanian yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang tidak mengikuti pola yang telah ditetapkan.

Reka-bentuk Batu Tabau dalam situasi kondisi pada waktu ini oleh AI berdasarkan input data yang diberikan.

Salah satu misteri yang menyelimuti Batu Tabau adalah asal-usul materialnya. Tidak ditemukan batu serupa di sekitar area situs, baik di puncak bukit maupun di pinggiran sungai, sehingga timbul pertanyaan: dari mana asal batu ini? 

Dugaan kuat menyebutkan bahwa material Batu Tabau diangkut dari tempat yang jauh, seperti Rueb Beneh (nama Giram), yang terletak di alur hulu Sungai Krayan. Batu pilihan ini memiliki karakteristik keras dan tidak mudah retak, dengan ukuran yang cukup besar. Proses pemindahan batu tersebut ke puncak bukit kemungkinan dilakukan secara bergotong royong, atau dalam istilah lokal disebut Ruyud.

Bukti Peradaban dan Pemahaman Astronomi

Batu Tabau bukan hanya sekadar peninggalan fisik, tetapi juga representasi dari peradaban yang memiliki tingkat kreativitas serta kecerdasan tinggi. 

Masyarakat Krayan pada masa itu memahami pentingnya keteraturan dalam bercocok tanam. Mereka menyadari bahwa penentuan waktu tanam yang tidak seragam dapat menyebabkan kegagalan panen akibat serangan hama dan penyakit. Pengalaman ini kemudian dikaji dan didiskusikan bersama, hingga akhirnya mereka menemukan pola terbaik untuk bercocok tanam berdasarkan posisi matahari dan siklus musim.

Baca Dayak: Origins and First Use as Indigenous Identity of Borneo

Dari pemahaman tersebut, masyarakat menyusun sistem bercocok tanam yang lebih seragam dan terorganisir. Ladang yang digarap secara serempak cenderung lebih berhasil dibandingkan ladang yang dikelola secara terpisah. Mereka menemukan bahwa musim tanam terbaik adalah ketika curah hujan cukup, yakni pada bulan-bulan yang berujung huruf 'r' (September, Oktober, November, Desember) hingga bulan Januari dan Februari. Kesadaran ini menunjukkan bahwa masyarakat Krayan di masa lalu memiliki pengetahuan yang mendalam tentang pola cuaca dan astronomi, meskipun tanpa teknologi modern.

Batu Tabau merupakan warisan budaya Dayak

Batu Tabau merupakan warisan budaya yang tidak hanya menjadi penanda sejarah, tetapi juga bukti nyata dari kecerdasan masyarakat Krayan dalam mengembangkan sistem pertanian berbasis astronomi. 

Keberadaan tinggalan Batu Tabau mengajarkan kita tentang bagaimana nenek moyang memahami siklus alam dan menggunakannya untuk keberlangsungan hidup. Dengan menjaga dan melestarikan Batu Tabau, kita tidak hanya merawat peninggalan sejarah, tetapi juga menghormati warisan pengetahuan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.

-- Masri Sareb Putra

LihatTutupKomentar